BEBERAPA
minggu lalu ramai di jagat media sosial diskusi tentang istilah “wisata halal”.
Hal ini berangkat dari selentingan dua destinasi wisata Bali dan Danau Toba,
yang dilabeli wisata halal. Pro kontra pun ramai. Beberapa orang (dari kubu pro) menilai bahwa mereka yang menolak
pelabelan itu telah salah paham soal istilah “wisata halal”. Lalu muncullah
penilaian-penilaian aneh lainnya, seperti islam phobia dan intoleran.
Akan
tetapi, mereka yang menilai orang salah memahami makna wisata halal seharusnya
terlebih dahulu memahami persoalan yang ada di balik label “wisata halal”.
Persoalan yang ada itu bukan menyangkut umat non muslim, tetapi lebih ditujukan
kepada umat islam sendiri.
Pada
umumnya, ketika mendengar istilah “halal” orang langsung mengaitkannya dengan
agama islam. Hal ini dapat dimaklumi, karena setiap produk makanan harus
mempunyai sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena itulah,
setiap kali melihat produk makanan dengan label halal, orang lantas memahaminya
dengan agama islam. Maka, label “wisata halal” juga dikaitkan dengan umat
islam.
Selain dengan agama islam, istilah “halal” juga selalu dikonfrontasikan dengan istilah
“haram”, yang juga berhubungan dengan agama islam. Dapat dikatakan sesuatu yang
halal berarti tidak haram bagi umat islam; atau sesuatu yang diharamkan dalam
agama islam berarti tidak halal bagi umat islam. Sesuatu yang telah dinyatakan
halal berarti tidak haram bagi umat islam, sehingga umat dapat menggunakannya.
Sebaliknya, jika dinyatakan haram maka itu tidak halal bagi umat islam.
Karena istilah “halal” selalu dikaitkan dengan agama/umat islam, maka istilah “wisata halal” dapat dipastikan lebih ditujukan kepada umat islam; untuk menjawab kepentingan umat islam. Dengan “wisata halal” dimaksudkan bahwa tempat wisata tersebut, sekalipun bukan merupakan daerah islam, layak dan ramah bagi umat islam. Misalnya, Bali, Danau Toba, Danau Kelimutu atau Negara Jepang. Dengan memberi label “wisata halal” hal ini menunjukkan bahwa tempat-tempat wisata tersebut layak bagi umat islam dan penduduknya ramah terhadap umat islam. Misalnya, tersedianya rumah makan yang menyediakan makanan yang boleh dikonsumsi umat islam, tersedia rumah ibadah sehingga umat islam dapat menjalani kewajiban sholatnya, dan hal-hal lainnya yang menjawab kebutuhan umat islam.
Lantas apa persoalan di balik label “wisata halal”? Hal ini perlu mendapat tanggapan bijak dari umat islam sendiri, terkhusus para ulamanya, karena hal ini terkait dengan citra islam sendiri. Setidaknya ada 2 problematika istilah “wisata halal”.
Pertama, seperti yang sudah diutarakan di atas, istilah halal biasanya langsung dikonfrontasikan dengan istilah haram. Dengan menetapkan satu daerah atau satu negara sebagai wisata halal, secara implisit hendak dikatakan bahwa daerah atau negara lain yang tidak memiliki label itu merupakan wisata haram. Atau ketika ada kepala daerah menolak label “wisata halal” untuk daerahnya, secara tersirat berarti daerah itu adalah haram bagi umat islam. Dari sini dapat dikatakan bahwa islam tidak hanya sekedar membedakan orang: kafir dan islam atau membedakan makanan halal dan haram, tetapi juga membedakan tempat: halal dan haram. Agama islam tidak cuma mengkafir-kafirkan orang yang berbeda dengannya, tetapi juga mengharam-haramkan daerah atau negara yang tidak memperhatikan kepentingannya.
Ada kesan arogan dalam agama islam. Padahal selalu didengungkan bahwa islam itu agama toleran dan menghormati perbedaan. Akan tetapi, dalam kasus ini terlihat arogansi islam, yang memaksakan kehendaknya. Jika orang tidak percaya pada ajaran islam maka ia akan dilabeli kafir, atau jika suatu daerah wisata tidak memperhatikan dan memenuhi kebutuhan/kepentingan umat islam maka daerah itu, secara tak langsung, dilabeli haram.
Kedua, dengan label “wisata halal” pada suatu daerah wisata, sekalipun daerah itu bukan merupakan daerah islam, berarti mau dikatakan bahwa daerah wisata itu layak dan ramah bagi umat islam. Daerah tersebut memperhatikan kepentingan dan kebutuhan umat islam. Karena itu, ketika ada daerah wisata yang tidak mempunyai label “wisata halal” atau ketika kepada daerahnya menolak label tersebut, maka dapat dikatakan bahwa daerah wisata itu tidak layak dan tidak ramah sehingga umat islam tidak boleh mengunjunginya. Secara tidak langsung menuduh warga tempat yang tidak diberi label “wisata halal” memusuhi umat islam. Dan dengan mudah umat islam lantas mengatakan bahwa penduduk daerah itu tidak toleran.
DEMIKIANLAH 2 masalah di balik label “wisata halal”. Terlihat jelas bahwa kedua masalah tersebut dapat merusak citra agama islam. Orang dapat menilai agama islam sebagai agama arogan, yang menuntut pihak lain memperhatikan dirinya saja. Hal ini seakan membenarkan sebuah slogan yang berbunyi, “Bagiku agamaku, bagimu agamamu; tapi engkau harus ikut aturan agamaku.”
Tak jarang juga ada umat islam menilai bahwa orang atau daerah yang menolak label “wisata halal” adalah intoleran. Orang atau daerah tersebut tidak toleran terhadap umat islam hanya karena kebutuhan dan kepentingan umat islam tidak diperhatikan atau dipenuhi. Ini juga merupakan sebuah bentuk arogansi. Menuntut pihak lain untuk memperhatikan dan menghormatinya. Sementara itu, bagaimana jika cara pandang islam ini dikenakan kepada dirinya sendiri?
Mari kita melihat daerah wisata di wilayah islam dengan menggunakan cara pandang islam. Misalnya, Aceh, Padang, Lombok dan daerah-daerah islam lainnya. Bolehkah daerah-daerah wisata yang ada di sana diberi label “wisata haram”, yang dapat dimaknai daerah itu layak dan ramah bagi wisatawan non muslim, baik wisatawan dalam maupun luar negeri. Artinya, kebutuhan bagi wisatawan yang non muslim tersedia. Misalnya, ada rumah makan yang menyediakan masakan daging babi atau anjing, ada rumah ibadahnya, ada dijual minuman beralkohol dan ada jaminan umat non muslim menikmati kenyamanan tanpa diganggu kebisingan suara TOA masjid.
Dapat bisa dipastikan bahwa semua itu TIDAK mungkin ada. Jangankan meminta dibangunkan rumah ibadah bagi wisatawan, orang kristen yang ada di sana saja sulit untuk membangun gereja. Jangankan meminta tersedianya masakan daging babi/anjing bagi wisatawan, warga non muslim di sana saja tak boleh masak daging babi. Jangankan menuntut bebas dari kebisingan suara TOA masjid, warga setempat yang meminta volume suara TOA dikecilkan saja malah dipidana karena penistaan agama.
Di daerah tujuan wisata, yang penduduknya mayoritas beragama islam, tidak mungkin menyediakan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan wisatawan non muslim. Malah mereka akan “memaksa” wisatawan non muslim untuk mengikuti ketentuan yang berlaku di daerah itu. Karena itu, adilkah bila kita meminta pihak lain memperhatikan dan memenuhi kebutuhan kita sementara kita sendiri tidak bisa melakukannya? Adilkah bila kita menuntut orang lain menghargai dan menghormati kita sementara kita sendiri tak bisa menghargai dan menghormati mereka?
HAL inilah yang perlu disadari umat islam sebelum menilai orang lain salah paham soal “wisata halal”. Label “wisata halal” justru menimbulkan penilaian ketidak-adilan dan arogansi agama islam. Terlihat jelas islam tidak menghargai perbedaan. Padahal Allah SWT telah berfirman, “Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan mereka satu umat, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya.” (QS 42: 8). Apakah Tuhan memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya agar supaya umat islam dapat mengkafir-kafirkan dan mengharam-haramkan? Karenanya, benarlah apa yang dikatakan slogan ini: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku; tapi engkau harus ikut aturan agamaku.”
Lingga, 26 Nov 2019
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar