Hingga saat ini Indonesia, yang sudah 74 tahun merdeka,
masih menggunakan hukum pidana produk Pemerintah Kolonial Belanda. Sudah sejak puluhan
tahun muncul keinginan agar bangsa Indonesia mempunyai produk hukum pidananya sendiri.
Akan tetapi, ketika rancangan undang-undang KUHP hendak disahkan oleh DPR, aksi
penolakan begitu kuat. (RUU-KUHP bisa dibaca di sini). Demikian pula dengan rancangan undang-undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (PKS; RUU-PKS dapat dibaca di sini). Ada beberapa pasal yang dinilai menuai kontroversial. Salah
satunya adalah persoalan kehadiran negara pada ranah pribadi.
Persoalan kehadiran negara pada ranah pribadi ini tampak
dalam beberapa pasal. Yang paling menonjol adalah soal suami memperkosa istri,
yang dapat dihukum maksimal 12 tahun penjara. Kami sendiri belum menemukan
pasal dengan klausul perkosaan suami terhadap istri. Akan tetapi, di media sosial
persoalan ini ramai dibicarakan para netizen. Mungkin yang dimaksud adalah pasal 597 RKUHP. Pada umumnya netizen bersikap
negatif terhadap pasal tersebut, dan menilai pasal tersebut berlebihan.
Sebelum kita membahas persoalan ini, terlebih dahulu kita
harus memahami apa yang dimaksud dengan perkosaan suami terhadap istri. Umumnya
perkosaan dipahami dengan pemaksaan dalam berhubungan seks; dan yang melakukan pemaksaan
itu adalah suami, sedangkan istri sebenarnya menolak. Atau, mengutip pasal 16
RUU PKS, perkosaan adalah “kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk
kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi
seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan
seksual.” Jadi, dalam konteks ini, suami memaksa istrinya untuk melakukan hubungan
seks, padahal istri tidak setuju, atau tidak siap atau tidak lagi mood dengan berbagai macam alasan.
Di sinilah kebanyakan orang tidak bisa menerima persoalan
perkosaan suami terhadap istri, lalu mengaitkan dengan kehadiran negara dalam kehidupan
ranjang suami istri. Orang menilai negara terlalu mencampuri urusan pribadi suami
istri, yaitu masalah ranjang. Karena itu, mereka menolak pasal yang mengatur hal
itu.
Benarkah negara tidak boleh hadir dalam kehidupan pribadi
warganya? Kehadiran negara di sini harus dimaknai sebagai upaya negara melindungi
warganya dari tindakan yang tidak menyenangkan. Pada kasus perkosaan dalam rumah
tangga, negara hadir untuk melindungi pihak istri. Hal ini sama seperti kehadiran
negara dalam kasus kekerasan terhadap anak, baik itu di rumah maupun sekolah.
Kenapa dalam kasus ini negara harus hadir? Dalam kasus ini
negara hendak memberi kesadaran kepada para pelaku kekerasan dalam seksualitas,
bahwa hubungan seks suami istri harus dilakukan dengan sikap saling menghormati
satu sama lain. Hubungan seks merupakan “komunikasi” timbal balik antara suami dan
istri. Seorang pria tidak bisa berlaku seenaknya saja terhadap istrinya dengan alasan
“saya sudah bayar mas kawinnya.” Dalam hubungan seks harus ada sikap saling menghormati
dan menghargai.
Akan tetapi, para pembuat undang-undang ini (DPR dan juga
pemerintah) perlu juga memperhatikan aspek lain yang terkait dengan pasal ini.
Persoalan perkosaan suami terhadap istri jangan hanya ditinjau dari sisi hukum,
psikologi, sosial dan kemanusiaan saja, tetapi harus dilihat juga dari aspek
agama. Kiranya hal inilah yang menjadi motivasi tersembunyi penolakan pasal perkosaan
suami terhadap istri. Memperkarakan kasus suami memperkosa istri dapat berdampak
pada masalah penghinaan agama. Kenapa demikian?
Suara paling kuat menolak pasal ini dapat dikatakan berasal
dari umat islam, karena dalam ajaran agama islam istri dapat diperlakukan apa saja
sesuai kemauan suami. Setiap umat beragama, termasuk umat islam, terpanggil untuk
menghidupi apa yang diajarkan oleh agamanya. Untuk islam, sumber ajaran agamanya
ada dalam Al-Qur’an, yang merupakan wahyu Allah, dan Hadis, yang berisi perkataan,
sikap dan perbuatan Nabi Muhammad. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an berasal dari
Allah (QS. as-Sajdah: 2; dan QS. az-Zumar: 1 – 2, 41),
sehingga ia merupakan kebenaran yang meyakinkan (QS. al-Haqqah: 51). Sementara itu,
Nabi Muhammad dilihat sebagai teladan tingkah laku yang sempurna (QS. al-Ahzab:
21).
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa “Para suami mempunyai kelebihan di atas mereka
(istri)” (QS. al-Baqarah: 228). Dengan dasar ini, maka suami dapat melakukan apa
saja terhadap istrinya, termasuk dalam hubungan seks. “Istri-istrimu adalah ladang
bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai
…” (QS. al-Baqarah: 223). Karena itu, Hadis Sahih Bukhari menulis cerita dari Abu Huraira bahwa Nabi Muhammad bersabda:
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya,
maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HS Bukhari 7: 121; bdk. HS
Muslim 8: 3368, 3366, 3367). Malah ada hadis mengatakan bahwa Nabi Allah
berkata, “Jika seorang pria memanggil isterinya untuk memuaskan nafsu birahinya,
wanita itu harus segera datang pada suaminya, meskipun dia saat itu sedang sibuk
di dapur.” (Hadis Mahkat al-Masabih).
Dengan pendasaran tersebut,
dapatlah dikatakan haram bagi istri yang menolak keinginan suami untuk melakukan
hubungan seks. Dengan kata lain, istri wajib melayani hasrat seksual suami,
sekalipun dia tidak dalam posisi suka. Syaikul islam berkata, “Seorang suami berhak
untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak memberikan
dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu yang lebih wajib,
jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus memenuhinya.” Malah
Al-Qur’an menyatakan suami boleh memukul istrinya (QS. an-Nisa: 34), salah satu
asalannya jika istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami. Nabi Muhammad
sendiri pernah melakukan hal itu terhadap istri favoritnya, yaitu Aisyah. (HS Muslim
4: 2127).
Jadi, agama islam membolehkan
suami melakukan apa saja yang dia sukai, termasuk dalam urusan seks, dan istri harus
memenuhinya. Ini merupakan perintah Allah dan teladan Nabi. Al-Qur’an berkata, “...taatlah
kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS. an-Anfal:
1). Bagaimana mungkin orang mau mewujudkan imannya, malah diperkarakan dengan hukum
pidana? Bukankah ini merupakan bentuk kriminalisasi agama, dan dapat juga dilihat
sebagai penghinaan terhadap agama?
Di sinilah problema soal
perkosaan suami terhadap istri. Memang agama-agama lain tidak mempersoalkan hal
ini karena memang tidak ada ajaran agamanya tentang hal ini. Malah agama
melarang suami bertindak kasar terhadap istrinya, termasuk dalam urusan
ranjang. Namun tidak dengan agama islam. Ajaran agama islam memungkinkan adanya
tindak perkosaan suami terhadap istri. Karena itu, undang-undang harus
mengakomodir semua kebutuhan ini.
Dan para pembuat
undang-undang hendaknya bijak dalam menyikapi hal ini. Sekedar perbandingan,
kita dapat bercermin dari kasus monogami dan poligami dalam undang-undang no. 1
tahun 1974 tentang perkawinan. Sebenarnya undang-undang mengakui perkawinan
yang bersifat monogami. Hal ini terdapat dalam pasal 1, yang kemudian tegaskan
dalam pasal 3, ayat 1. Klausul “Pada asasnya” menunjukkan bahwa pada hakikinya
perkawinan itu hanya terjadi pada satu pria dan satu wanita. Hal ini sejalan
dengan ajaran Gereja Katolik. Akan tetapi, Indonesia tidak hanya ada umat
katolik saja, melainkan ada umat agama lain yang membolehkan berpoligami
(misalnya, islam). Karena itulah, undang-undang perkawinan akhirnya
mengakomodir hal tersebut, yang kemudian terlihat dalam ayat 2 pasal 3 dan juga
pasal 4 dan 5.
Bisa tidak masalah suami
memperkosa istri tetap masuk dalam undang-undang tanpa mengkriminalisasi umat
islam? Inilah yang menjadi tantangan bagi pembuat undang-undang.
Dabo, 5 Oktober 2019
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar