Senin, 14 Oktober 2019

DARI KASUS UAS HINGGA MASALAH RADIKALISME


Beberapa bulan lalu publik Indonesia disemarakkan dengan video viral Ustadz Abdul Somad (UAS), yang menghina salah satu atribut atau simbol iman orang Kristen (katolik dan protestan). Dalam video tersebut UAS sedang memberikan ceramah keagamaan (tausiyah) di Masjid An-Nur di Pekanbaru. Ceramah itu sendiri sudah terjadi sekitar 3 tahun lalu atau di tahun 2016. Dalam ceramah, yang menjawab salah satu persoalan yang dihadapi seorang pendengar tentang salib, keluarlah pernyataan UAS yang dinilai telah menista agama Kristen. Pernyataan itu adalah: “di salib itu ada jin kafir” dan “di dalam patung itu ada jin kafir”.
Ketika muncul aksi protes dari segelintir umat Kristen, UAS memberi klarifikasi untuk membela diri. Bertempat di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, UAS menjelaskan pembelaannya. Setidaknya ada 4 poin penting dalam klarifikasi itu, yaitu:
1.    Konteks video itu adalah menjawab persoalan seorang audiens.
2.    Ceramah itu bersifat tertutup, hanya untuk peserta yang hadir di masjid itu saja; tidak bersifat terbuka seperti di lapangan terbuka atau di televisi.
3.    Apa yang disampaikan merupakan aqidah islam; adalah kewajibannya untuk menyampaikan aqidah itu.
4.    Ceramah keagamaan itu terjadi 3 tahun lalu.
Lewat klarifikasi itu, UAS menyatakan dirinya tidak bersalah. MUI pun meng-amin-i pernyataan tersebut. Maratua Simanjuntak, wakil ketua MUI SUMUT, menegaskan, “Semua ulama telah sepakat bahwa isi ceramah itu tidak bermasalah.” Dapat diartikan bahwa isi ceramah UAS benar-benar sesuai dengan ajaran (aqidah) islam, yang fondasinya ada dalam Al-Qur’an dan hadis.

MUI tidak hanya sekedar meng-amin-i pernyataan UAS, yang dinilai telah melakukan penghinaan agama, tetapi juga membela UAS. Hal ini terlihat dari lobi MUI ke 2 lembaga agama Kristen, yaitu Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), yang meminta supaya kasus UAS tidak dibawa ke ranah hukum. Kenapa MUI membela UAS? Mungkin karena apa yang dilakukan UAS sudah sesuai dengan aqidah islam. Jika memang demikian, logika sederhananya adalah menghina agama lain masuk dalam aqidah islam.
Bagaimana sikap MUI terhadap radikalisme. Belum lama ini seorang dosen di IPB ditangkap. Penangkapan tersebut langsung dikaitkan dengan paham radikalisme. Karena itu, berita-berita di televisi tidak hanya menyoroti soal penangkapan itu, tetapi juga menyinggung masalah paham radikalisme. Satu hal yang disinggung adalah paham radikal sudah masuk ke perguruan-perguruan tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya mahasiswa yang sudah terkontaminasi oleh paham radikal. Oleh pemerintah hal ini dianggap berbahaya. Karena itu, ada program de-radikalisasi terhadap orang-orang yang memang telah terpapar paham itu.
Ketika membahas soal radikalisme, orang harus memahami bahwa radikalisme itu menyasar pada kelompok islam. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa paham radikalisme yang menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia adalah paham yang berakar pada ajaran agama islam. Dua poin indikasi dari paham radikalisme adalah kilafah dan sikap intoleran, menganggap diri benar dan yang lain (yang tidak sealiran dengannya) salah. Sikap intoleran ini membuat mereka menjadi tertutup atau ekslusif.
Jika dicermati baik-baik, ada kesamaan antara kasus UAS dengan kelompok radikal. Keduanya sama-sama menjalankan ajaran agama islam dengan arah perjuangan yang berbeda. Baik UAS maupun kelompok radikal sama-sama berpegang pada aqidah islam, dan dalam menjalankan aqidah itu UAS masuk kategori radikal. UAS setia pada aqidah islam dan berpegang teguh padanya sehingga UAS tidak mau meminta maaf kepada umat kristiani. Baik UAS maupun kelompok radikal sama-sama taat pada aqidah islam dan mendasarkan aqidahnya pada Al-Qur’an dan Hadis.
Ketika memberikan kajian islam tentang salib, UAS mendasarkan dirinya pada Hadis Sahih Muslim. Dalam hadis itu dikatakan “Angels do not enter a house in which there is a dog or a statue.” (HS Muslim 24: 5250). Kutipan ini merupakan perkataan Nabi Muhammad yang dilaporkan oleh Abu Talha. Dari kutipan ini muncul semacam larangan bagi umat islam untuk memiliki, menyimpan atau memajang patung (memelihara anjing) di rumah. Dan UAS setia pada aqidah islam ini. Berhubung dirinya adalah ustadz, dan salah satu tugasnya adalah menyampaikan aqidah islam, apakah salah jika dia menyampaikan ada jin kafir dalam patung?
Lantas bagaimana dengan kelompok radikal? Sebenarnya sama saja, hanya beda konsep. Orang-orang, yang oleh pemerintah dinilai sudah terpapar paham radikalisme, ini adalah orang yang setia pada ajaran islam. Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa ada 2 poin indikasi dari paham radikalisme, yaitu kilafah dan sikap intoleran, menganggap diri benar dan yang lain (yang tidak sejalan dengannya) salah. Pendasaran dari 2 indikasi tersebut ada dalam Al-Qur’an. Jadi, jika dalam kasus UAS aqidah islam didasarkan pada hadis, pada kasus radikalisme aqidah islamnya ada dalam Al-Qur’an.
Tentang konsep kilafah, kelompok radikal mendasarkan diri pada firman Allah SWT kepada malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (QS. al-Baqarah: 30). Sangat jelas, ini adalah kehendak Allah. Membaca ini maka umat islam wajib melaksanakan kehendak Allah ini. Hal inilah yang akan selalu disampaikan kelompok radikal kepada calon baru; dan penyampaian itu dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi agar tidak bisa dijerat hukum. Bukankah pakar hukum juga membenarkan perbuatan UAS lantaran kajian islamnya yang menyinggung agama Kristen itu dilakukan secara tertutup? Artinya, dari sisi hukum, perbuatan UAS yang menghina agama Kristen tidak dapat dipidana. Karena itu, kelompok radikal ini akan menyampaikan aqidah islam ini kepada umat islam lainnya dan berusaha melaksanakannya.
Tentang sikap intoleran, yang menilai orang lain yang tak sejalan dengannya adalah salah, orang yang “salah” ini di mata kelompok radikal dikenal sebagai kaum munafik, fasik dan juga kafir. Terhadap ketiga kaum ini (kafir, fasik dan munafik), oleh kelompok radikal harus diperangi. Dasarnya ada dalam QS. at-Taubah: 73 dan QS. at-Tahrim: 9. Ketiga kaum ini juga harus dijauhi dan dimusuhi, sebab mereka dapat membawa umat islam ke neraka. Logikanya begini: ada dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah akan membinasakan mereka (QS. al-Ahzab: 24; QS. al-Fath: 6; QS. al-Munafiqun: 4); dan tempat mereka adalah neraka (QS. an-Nisa:145; QS. at-Taubah: 73 dan QS. at-Tahrim: 9). Jadi, ketiga kaum ini masuk golongan rugi (QS. al-Baqarah: 27; QS. at-Taubah: 69). Bergaul dengan ketiga kaum ini dapat menyebabkan umat islam rugi, sebab akan mendapat azab dari Allah dan di akhir zaman akan masuk neraka. Karena itu, ketiga kaum ini harus dimusuhi dan dijauhi; bahkan bila perlu diperangi, seperti perintah Allah sendiri. Ini merupakan aqidah islam.
Bagaimana membangun sikap terhadap orang kafir, Al-Qur’an sudah memberikan jawaban. Sudah jelas dikatakan bahwa umat islam dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (QS. ali ‘Imran: 28; QS an-Nisa: 144; QS al-Maidah: 57; QS at-Taubah: 23). Karena itu, Allah melarang umat islam untuk mentaati orang kafir (QS Ali ‘Imran: 149 – 150). Di samping itu, umat islam dilarang menjadikan orang kafir sebagai teman setia atau saling menolong dengan mereka (QS. ali ‘Imran: 118; QS at-Taubah: 16; QS al-Qashash: 86; QS al-Mumtahanah: 13).
Demikianlah sikap yang harus dibangun oleh seorang muslim terhadap orang kafir. Hal ini dilihat sebagai aqidah islam, sehingga terus menerus diwartakan. Untuk menguatkan aqidah ini, maka kelompok radikal akan menyampaikan pesan Allah lainnya, yaitu bahwa jika umat islam mengangkat orang kafir sebagai pemimpin berarti dia adalah orang fasik, munafik dan zalim (QS al-Maidah: 80 – 81; QS an-Nisa: 138 – 139; QS al-Maidah: 51). Dan terhadap orang-orang seperti ini harus juga dijauhi, dimusuhi bahkan diperangi.
Jadi, kasus UAS dan kelompok islam radikal sama-sama radikal dalam mewartakan dan menjalankan aqidah islam. Akan tetapi, kenapa dalam kasus penghinaan agama yang dilakukan UAS MUI hadir membela, sedangkan terhadap penangkapan orang-orang dari kelompok radikal MUI seakan bungkam? Padahal kedua pihak sama-sama berdasarkan aqidah islam.
Dabo Singkep, 11 Oktober 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar