Hatiku
berbunga ketika puncak monas mulai terlihat dari sisi jendela Damri Bandara
Soeta jurusan Gambir. Jam di oppo-ku
menunjukkan 08.13. Masih ada waktu sekitar 30 menit mengejar KA Argo
Parahiyangan, yang akan berangkat jam 08.45. Kereta api sekarang tidak sama
seperti jaman orde baru, yang kata Iwan Fals, “Biasanya kereta terlambat // Dua jam cerita lama.” Jaman reformasi,
kereta api selalu on time.
Karena
itu, aku segera berdiri dan berjalan ke depan ketika bus memasuki jalan Merdeka
Selatan. Aku tak peduli dengan tatapan aneh penumpang lainnya.
“Ngejar
kereta, pak.” Ujarku kepada awak bus.
Dia
hanya melihat jam arlojinya. Sesekali melirik ke sopir. Mungkin mau
mengingatkan bahwa ada penumpang yang kepepet.
“Tiket
uda beli?”
“Uda,
pak.”
***
Suasana terasa nyaman, agak sedikit berbeda dengan di luar yang terasa gerah. Aku berjalan menyusuri gerbong, mencari kursi sesuai dengan nomor yang ada di tiket: 101. Untung bawaanku cuma ransel.
Seorang anak remaja duduk di kursi no. 102. Ketika aku tiba di depannya, dia langsung menatapku. Agak sedikit kaget. Aku hanya menunjukkan no. 101 sebagai isyarat bahwa itu tempatku. Ada perasaan lega dalam dirinya. Dia memberiku ruang untuk masuk.
Setelah mengeluarkan buku sebagai teman bacaan sepanjang perjalanan ke Bandung, aku duduk. Jam menunjukkan pukul 08.39. Tinggal 6 menit lagi. Sesekali aku perhatikan teman di sampingku. Dia terlihat gelisah. Kerap dia melihat ke belakang, depan dan juga ke samping. Entah apa yang dicarinya.
“Mau kemana dek?”
“Pulang ke Bekasi, bang.”
“Oya, kenalkan. Saya Agus. Saya dari Pangkalpinang. Mau ke Bandung.”
“Aku Iqbal. Aku ke Bekasi.”
“Ya, tadi sudah kau bilang.”
Iqbal hanya tersenyum. Kembali dia melihat-lihat ke arah belakang.
“Kelihatannya kamu gelisah amat. Ada apa?”
Iqbal mendekatkan kepalanya ke arahku. “Aku ini anak Patriot, bang “ Lagi-lagi dia melihat-lihat sekitarnya. “Semalam rusuh, bang. Satu anak Jakmania mati. Mereka menyerang kami. Aku terpisah dari kelompok. Semalaman aku bersembunyi di kosan cewekku.”
“Emangnya rusuh kenapa?”
“Biasalah bang. Orang kalau kalah kan tak mau terima. Pelampiasannya ya rusuh.”
Iqbal kemudian bercerita soal pertandingan Persija dan Patriot Chandrabhaga FC, yang dimenangi Patriot: 0 – 1. Pertandingan itu seru, malah cenderung panas. Hal itu terlihat dari jumlah kartu merah dan kartu kuning yang dikeluarkan. Beberapa pemain juga terlibat perang mulut hingga adu fisik.
Kereta sudah 7 menit meninggalkan stasiun Gambir. Aku melihat raut Iqbal yang dari semula tegang mulai rileks. Dia menyandarkan bahunya di kursi.
“Pihak Persija tak terima keputusan wasit yang memberi hadiah penalti. Apalagi penalti itu di injury times. Wasit diserang. Polisi juga kebagian. Penalti itulah yang membawa kemenangan bagi Patriot. Karena itu, usai pluit panjang, para jakmania mengamuk. Mereka menyerang kami.”
“Lalu, yang mati itu gimana ceritanya?”
“Entahlah bang. Kan kami posisi korban. Kami diserang. Kami hanya bisa bertahan aja. Dalam situasi kejepit itulah, terdengar berita 1 orang jakmania mati. Sebagian besar kami langsung ke kantor polisi. Cari aman. Tapi di sana pun terjadi penyerangan. Saat itulah aku terpisah.”
Iqbal menarik nafas dalam. Dia membayangkan kejadian semalam. Batu-batu beterbangan. Anak-anak muda dengan tongkat dan ikat pinggang, yang ujungnya ada gir motor. Beberapa kendaraan terbakar.
“Bisa saja yang mati itu mereka sengaja. Mereka mau menciptakan martir, biar posisi kami semakin terjepit.”
Aku sama sekali sulit membayangkan kerusuhan yang terjadi hanya karena kalah dalam pertandingan sepak bola. Malah menimbulkan korban jiwa. Kenapa orang sulit kali menerima kekalahan?
“Semalam aku dengar manager Persija akan membawa masalah ini ke PSSI. Mereka bilang punya bukti pelanggaran sepanjang pertandingan. Mereka juga bilang ada pelanggaran terstruktur, sistematis dan masiv untuk kemenangan Patriot Chandrabhaga FC.” Iqbal terdiam sejenak. Ia meneguk air mineral botol yang dibawanya. “Mereka menuduh tim kami melakukan banyak pelanggaran, seolah-olah mereka sendiri tak ada pelanggaran.”
“Dalam dunia sepak bola tidak ada yang bersih. Semua tim pasti ada pelanggarannya. Dan pelanggaran itu menjadi tugas wasit untuk menghukumnya. Jika dirasa adanya ketidak-adilan atau pelanggaran terstruktur, sistematis dan masiv, yah tinggal gunakan saluran yang ada. Tak perlu rusuh-rusuh segala,”
Laju kereta mulai melambat. Iqbal melihat arlojinya. Pukul 09.37. ia segera berdiri dan berjalan ke depan setelah pamitan denganku.
***
Kereta sudah meninggalkan stasiun Bekasi. Aku balik ke kursiku. Dari kantin, sekedar menyeruput kopi hitam. Dari kejauhan kulihat seorang gadis duduk di samping kursiku. Perasaan agak berbunga karena mendapatkan teman seperjalanan seorang cewek. Jiwa mudaku kembali menggelora.
“Permisi neng,” ujarku sopan sambil menunjuk kursiku.
Cewek itu menatapku dan segera memberi jalan masuk. Kulihat sekilas matanya sembab. Seperti habis menangis.
“Mau kemana neng?” Aku mulai membuka komunikasi setelah duduk.
“Purwakarta, bang.”
“Kerja?”
“Nggak. Pulang rumah.”
“Ow, jadi eneng ni orang Purwakarta, ya?”
Dia hanya diam tertunduk sambil memainkan tali tasnya.
Dari samping kuperhatikan teman baruku ini. Gadis sekitar 21 tahunan. Tinggi sekitar 160-an. Kulit putih halus, bodi seksi. Rambut ikal terurai panjang sebahu. Satu kata buatnya: cantik.
“Neng lagi galau ya?”
Dia diam membisu. Masih sibuk dengan tali tasnya. Sesekali diambilnya android hanya sekadar mengisi waktu.
“Sepertinya kamu semalaman lagi nangis.”
“Abang koq tahu?” Dia akhirnya membuka suara.
“Mata adalah pelita tubuh,” cetusku sambil mengutip kata-kata Yesus. “Dari mata akan terlihat situasi diri seseorang.”
“Nah, aku melihat matamu menyimpan kesedihan yang mendalam.”
Gadis itu hanya tertunduk. Kuperhatikan perasaan sedihnya kembali timbul. Dapat kukira tak lama lagi dia akan menangis.
Dan benar dugaanku. Sebutir air mata jatuh di pahanya, meninggalkan bekas di celana jeansnya. Aku mencoba merapatkan tubuhku. Aku berusaha meyakinkannya kalau dia dapat menumpahkan kesedihannya padaku. Berbagi duka.
Dia akhirnya menceritakan semua kisah sedihnya. Dia baru putus dengan pacarnya. Dia sangat mencintai pacarnya itu. Mereka sudah pacaran lebih dari 3 tahun. Pacarnya baru 3 bulan bekerja di Bekasi. Dialah yang membiayai hidup pacarnya sebelum ia mendapat gaji pertamanya.
Gadis itu berkisah juga tentang masa indah bersama pacarnya. Sudah ada 4 gunung di Jawa Barat sudah mereka daki bersama. Taman-taman hiburan yang ada di daerah Jawa Barat pun tak luput dari kebahagiaan mereka. Romantisme itulah yang membuat dia akhirnya merelakan kegadisannya. Apalagi pacarnya mengungkapkan akan menikahinya setelah agak mapan. Keluarga mereka sudah setuju.
“Kenapa kalian putus?”
“Dia menuduh saya selingkuh.” Gadis itu terisak. Ia mengusap air mata dengan tisu di tangannya. “Hanya karena dua kali aku tak balas WA-nya dan karena melihat foto aku jalan dengan seorang cowok. Semua sudah aku jelasin.”
“Emang kamu selingkuh?”
Dia menatapku. Ada perasaan marah tersirat di matanya. Aku segera meminta maaf, dan menjelaskan kalau aku sama sekali tidak menuduh.
“Dia bilang aku selingkuh seolah-olah dirinya tak pernah selingkuh. Setiap cowok pasti suka selingkuh.”
Aku diam saja. Dalam hati aku berkata, sambil meniru syair lagu Meggi Z, tidak semua laki-laki ....
“Padahal dia juga pernah selingkuh. Aku tahu itu. Sudah dua kali. Di Bekasi dia sudah punya cewek baru. Janda anak satu. Dia sering tidur di rumah janda itu. Aku ke Bekasi hanya untuk membuktikannya.”
Aku kembali diam. Kami duduk membisu. Hanya suara roda kereta yang beradu dengan rel mengisi kebisuan kami. Sesekali cewek itu melap tisu di matanya. Aku melirik jam di oppo-ku. 10.11.
“Dik, tak ada orang yang mau dan siap menghadapi kegagalan. Padahal kegagalan merupakan bagian hidup manusia. Setiap orang yang selalu berusaha, apapun usahanya itu, cepat atau lambat akan mengalami kegagalan. Demikian pula halnya dalam dunia percintaan.”
Aku menatapnya. Dia hanya tertunduk saja.
“kegagalan bukanlah suatu hal yang harus dibenci atau ditakuti. Justru kita harus berani bersahabat dengannya. Persahabatan dengan kegagalan dapat memudahkan orang untuk move on. Dan dari sana dia dapat melihat secercah harapan baru. Karena itulah, ada pepatah mengatakan gagal merupakan sukses yang tertunda.”
Kami saling bertatapan.
“Syukurilah putus cintamu. Anggap saja dia bukanlah jodohmu. Kamu harus bersyukur pernah mengalami kegagalan. Lebih baik gagal sekarang daripada nanti. Belajarlah dari kegagalan ini maka kamu akan mendapat pelajaran untuk tak mengulanginya lagi.”
Dia menghapus air mata dari pipinya. “Terima kasih banyak bang atas nasehatnya.” Dia menyalami tangan saya. “Saya pamit.” Dia berdiri, mengambil tasnya dan berjalan keluar.
***
Seorang bapak tua berjalan menuju arah kursiku. Mungkin ini teman seperjalananku berikutnya, demikian batinku. Waktu menunjukkan lagi 5 menit kereta akan berangkat meninggalkan stasiun Purwakarta.
“Ini 102 ya?” tanya bapak tua itu, walau sebenarnya dia sudah tahu.
“Benar, pak.”
Ia meletakkan tasnya di bagasi atas. Setelah menjabat tanganku, ia lantas duduk. Ia memperkenalkan dirinya Suharyo, pensiunan guru. Ia hendak ke Cimahi untuk melihat cucunya yang baru lahir. Istrinya sudah lebih dahulu, tiga minggu lalu. Cucu pertama, katanya.
Pak Suharyo adalah sosok pribadi yang mudah bergaul juga banyak cerita. Karena itu, sejak kereta berjalan Pak Suharyo banyak bercerita tentang hidupnya, mulai dari keluarganya, anaknya yang di Cimahi, cucunya dan juga profesinya sebagai guru.
Kami banyak berdiskusi terkait dengan profesinya. Dia mendukung pendapatku ketika kuutarakan ketidak-setujuanku pada undang-undang perlindungan anak yang membuat guru menderita dan bersikap permisif. Menghukum malah dihukum. Padahal di balik hukuman itu ada nilai pendidikan bagi anak.
“Benar. Guru-guru sekarang lebih memilih cari aman. Mereka hanya sebatas mengajar, tidak lagi mendidik. Karena ketika mereka mau mendidik, mereka takut salah dan terjebak oleh pasal-pasal undang-undang tadi. Berat lho sanksi hukumnya.”
Aku hanya mengangguk kepala.
“Saya termasuk orang yang masih percaya bahwa ada pendidikan di balik hukuman yang kita berikan kepada siswa.”
“Itu seperti pendapat guruku dulu,” aku menimpalinya. “Ada pengajaran di balik rotan.”
Aku bercerita pengalaman masa pendidikan di bangku SMP. Aku pernah mengalami hukuman, dipukul dengan rotan, distrap di bawah tiang bendera siang hari, dipermalukan di depan murid-murid lainnya. Namun aku dapat tumbuh menjadi pribadi yang baik. Tidak ada kebencian kepada guru yang pernah menyakitiku. Aku malah hormat kepada mereka. Aku sekarang tak lepas dari kekerasan para guruku. Dan banyak teman-teman seangkatan yang juga seperti diriku.
“Karena itulah, akibatnya banyak anak-anak sekarang tidak punya rasa hormat dan segan pada guru. Mereka malah berani melawan guru.”
Aku jadi teringat akan kisah-kisah guru yang dipukul, dipermainkan dan dilecehkan oleh murid-muridnya.
“Anak-anak sekarang bermental lembek. Manja. Semangat juang mereka sangat rendah. Mereka mudah sekali menyerah, dan melimpahkan kesalahan di luar dirinya sendiri.”
Pak Suharyo menegak air dari botol air minumnya. Aku berpikir kalau pak Suharyo sangat memperhatikan kesehatan. Itu terlihat dari botol air minum yang dipakainya. Aku pamit ke toilet.
Ketika aku kembali, kulihat pak Suharyo asyik membaca koran yang dari tadi dibawanya.
“Gila ya sekarang ini.”
“Ada apa, Pak?” tanyaku setelah duduk.
Pak Suharyo menunjukkan berita yang baru dia baca. “Protes Hasil Pemilihan Kades Berujung Rusuh”. Dia menceritakan kembali berita yang dia baca itu. Tentang calon kepala desa yang kalah dalam pemilihan, lalu para pendukungnya protes dan melakukan kerusuhan. Ada korban jiwa. Tim sukses calon kades kalah menuding telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan masiv. Mereka juga menolak hasil pengumuman panitia pemilihan yang memenangkan calon kades lawan, karena tidak sesuai dengan hasil perhitungan tim mereka.
“Nafsu akan kekuasaan dapat membuat orang buta akan kelemahan dan kekurangan dirinya sendiri. Dia hanya dapat melihat orang lain. Dan itu hanya soal hal-hal negatif: kecurangan, kebohongan, kelemahan, kekurangan dan pelanggaran demi pelanggaran.”
“Kerusuhan biasa terjadi karena orang memaksakan kehendaknya, yang berawal dari sikap tak mau menerima kekalahan.”
Sementara pak Suharyo terus berkomentar, aku mengambil koran itu dan membaca berita yang sedang kami bahas. Aku menilai bahwa kerusuhan tersebut mengibaratkan adanya benturan dua kebenaran. Masing-masing tim sukses mengutarakan kebenaran versinya dan menganggap lawannya salah.
“Wah, sekilas ada dua kebenaran. Dan kebenaran-kebenaran itu saling berbenturan sehingga menimbulkan jatuhnya korban.”
“Tidak bisa ada dua kebenaran. Harus ada satu kebenaran dan satu kebohongan.” Pak Suharyo menimpali. “Mereka yang mengaku dirinya benar dan orang lain bohong, bisa saja dia itu pecundang atau pembohong.”
Aku mendengar suara kereta mulai sedikit melemah. Laju kereta pun melambat. Aku mencoba melihat dari jendela, ternyata kereta sudah sampai di stasiun Cimahi.
“Antara pembohong dan pecundang itu bedanya tipis. Pembohong membangun kebenaran dari ilusi. Baginya ilusi itulah kebenarannya. Sedangkan pecundang membuat ilusi jadi indah sehingga orang lain tidak lagi melihat kebenaran tetapi keindahan.”
“Itu mirip kata-kata Socrates,” ujarku. “Ketika kalah dalam debat, fitnah menjadi alat bagi pecundang.”
Pak Suharyo berdiri dari kursinya. Ia mengambil tas di bagasi atas dan menatap saya. “Kamu masih lanjut, ya?”
Aku hanya mengangguk.
“Oke, sampai jumpa lain kesempatan.” Pak Suharyo menjabat tanganku. Ia kemudian berjalan meninggalkanku seorang diri.
***
Kereta baru sekitar 3 menit meninggalkan stasiun Cimahi. Aku perhatikan kursi di sampingku. Kosong. Hingga 5 menit berikut, kursi 102 tetap kosong, aku berpikir bahwa kursi itu memang kosong. Tidak ada penumpang lain sebagai rekan seperjalananku menuju stasiun akhir: Bandung. Aku memasang earphone dan memutar musik. Iwan Fals dan kawan-kawan menyanyikan ‘Lagu Empat’:
“Kenapa banyak orang ingin menang,
apakah itu hasil akhir kehidupan.
Kenapa kekalahan menjadi aib,
apakah itu kesalahan manusia.
Demi kemenangan rela membunuh.
Demi kemenangan rela memperkosa.
Apa saja akan kamu tempuh,
agar kemenangan dapat diraihnya...”
Dabo, 20 Juni 2019
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar