Tidak
dapat dipungkiri bahwa memang sejarah mencatat kehidupan beberapa Paus yang hidupnya tidak memberikan kesaksian yang
baik tentang imannya. Beberapa contohnya terlampirkan di bawah ini (diambil
sumber dari New Advent
Encyclopedia dan New
Catholic Encyclopedia):
1. Paus
Clement VII (1523 – 1534)
Paus
Clement VII, yang memiliki nama asli Giulio
de’Medici, naik menjadi Paus menggantikan Paus
Adrian VI. Di masa kepemimpinannya memang terjadi banyak masalah, yaitu berkembangnya
revolusi Protestan, pertentangan politik antara Raja Francis I dan Kaisar
Romawi Charles V, dan masalah permohonan pembatalan perkawinan Raja Henry VIII (Raja Inggris) dan kebutuhan untuk mengadakan
reformasi Gereja.
a. Paus memihak reformer Protestan?
Setelah
menjadi Paus, Clement VII memang menyampaikan keinginannya kepada Kaisar
Charles V untuk mengadakan rekonsiliasi dengan para pengikut Luther. Kaisar Charles V
menginginkan agar Paus mengadakan konsili, namun Paus menolak. Dua kali Paus
bertemu dengan kaisar, namun mereka tidak mencapai kata sepakat, sehingga
akhirnya di akhir pontifikat, masalah ini tidak terselesaikan, dan malah
semakin parah. Karena sikapnya inilah, kemungkinan ada orang yang mencatatnya
sebagai Paus yang kurang tegas, dan seolah
membela pihak reformer Protestan. [Kita tidak pernah mengetahui alasan
persisnya, namun mungkin saja justru ia ingin mengusahakan rekonsiliasi, tanpa
perlu mengeluarkan pernyataan "anathema",
seperti umumnya yang dinyatakan dalam konsili. Namun kemudian sejarah mencatat,
bahwa akhirnya konsili tetap diadakan (Konsili Trent 1545 – 1563) setelah masa
pontifikat Clement VII, karena biar bagaimanapun
Gereja perlu menyatakan kembali ajaran benar, dan menolak ajaran yang salah.
b. Paus memihak Perancis?
Terhadap persaingan politik Francis I dan Charles V, Paus berusaha tetap
menjaga kondisi status quo,
tidak memihak keduanya, namun ternyata tidak semudah itu. Pertikaian antara
kedua Raja antara lain disebabkan oleh membelotnya panglima perang Raja Francis
I yang bernama Duc de Bourbon, yang kemudian menjadi panglima perang Kaisar
Charles V, dengan nama Constable Bourbon. Namun kemudian Kaisar Charles V
kekurangan dana untuk membayar tentara di bawah pimpinan Constable tersebut,
sehingga para serdadu mengancam akan memberontak. Dalam situasi ini Paus
terombang- ambing akan kekuasaan kedua Kaisar. Akhirnya Raja Francis
I ditangkap oleh tentara Spanyol dan diasingkan ke Madrid (14 Januari 1526).
Raja Francis I lalu menyerahkan klaimnya di Italia. Pada bulan Mei 1526, Paus
Clement VII membuat perjanjian dengan Perancis yang bersekutu dengan Venice dan
Florence (tempat kelahiran Paus), untuk memeriksa perkembangan kekuasaan
Charles V yang menciptakan suasana kegelisahan di Italia, terutama di Florence.
Hal ini membuat Raja Charles V marah, dan
kemudian menekan Paus untuk membayar tentara perang pimpinan Constable Bourbon.
Demi keamanan, Paus setuju untuk membayar 60,000
ducats, dan bahkan tentara kaisar Charles kemudian memaksa pembayaran sebanyak
100,000 ducats. Namun pengorbanan ini ternyata masih dianggap kurang. Tentara
bayaran tersebut yang banyak di antaranya adalah Lutheran memaksa Constable
Bourbon untuk mengadakan perampokan/penjarahan kota Roma. Terjadilah the Sack of Rome selama
delapan hari, dimana terjadi penjarahan gedung-gedung gereja Katolik, para
wanita termasuk para biarawati diperkosa, kedutaan dijarah, para kardinal
diculik, dan upacara keagamaan diobrak-abrik dan para tentara berkelahi untuk
memperebutkan hasil jarahan. Kerusuhan
dan penjarahan ini mengakibatkan pemenjaraan Paus di Castel Sant'Angelo selama
sekitar 7-8 bulan. Namun kemudian Paus bebas dan kembali ke Roma tahun 1528,
dan akhirnya mengadakan perjanjian damai dengan Raja Charles V. Paus bahkan
memahkotai Raja Charles di tahun 1530, dan perjanjian ini setidaknya menjadikan
kondisi yang damai di Italia.
Situasi
menjadi lebih rumit lagi ketika pada saat itu juga terjadi kasus permohonan
Anulasi (pembatalan perkawinan Raja Inggris) Henry VIII yang sudah menikah
selama 18 tahun dengan Ratu Catherine dari Aragon, tetapi mereka tidak
mempunyai keturunan, sehingga Raja Henry VIII
berminat untuk menikah lagi dengan Anne Boleyn. Paus menunda untuk memberikan keputusan dengan harapan
Raja Henry akan mengurungkan niatnya untuk menikahi Anne Boleyn. Ternyata
harapan Paus tidak terjadi. Akhirnya dikeluarkannya keputusan tanggal 23 Maret
1534, tribunal kepausan menyatakan bahwa
pernikahan Raja Henry VIII dengan Ratu Catherine adalah perkawinan Kristiani
yang sah. Namun sementara itu Raja Henry VIII
sudah memisahkan diri dan membentuk skisma, yang kemudian menjadi pemimpin
gereja Anglikan di Inggris.
Melihat fakta-fakta di atas, maka memang ceritanya cukup
rumit, ada banyak kepentingan politik saat itu yang tidak dapat dipahami
sepenuhnya. Maka cukup sulitlah juga untuk menilai apakah benar Paus "seringkali mengubah pandangan politiknya
mengikuti siapa yang paling kuat dan kaya di setiap waktu," seperti yang
dituduhkan. Walaupun sepertinya Paus tidak
bermaksud memihak, namun kenyataannya tidak mudah, terutama juga dengan adanya
keterlibatan para kaisar dan tentara pada jaman itu.
Para ahli sejarah setuju tentang karakter Paus Clement VII, yaitu ia adalah pertama-tama seorang diplomat,
baru kemudian pemimpin rohani. Ia adalah seorang yang pandai namun diplomasinya
lemah dan tidak tegas. Namun demikian, kehidupan pribadinya tidak tercela. Ia
mempunyai banyak sifat-sifat yang positif, tetapi tidak memiliki sifat-sifat
kepahlawanan dan kebesaran jiwa sebagai pemimpin. Mungkin saja sifat-sifatnya
tidak populer, namun secara obyektif Paus
Clement VII tidak mengajarkan hal yang salah. Ia
bahkan dengan gigih mempertahankan ajaran Kristus tentang Perkawinan Kristiani
yang tak terceraikan sampai mati (indissolubility
of marriage), jika sudah sah sejak awalnya; walaupun taruhannya
adalah terjadinya skisma. Di sini malah terlihat bahwa walaupun kepribadiannya
mungkin lemah sebagai pemimpin, tetapi ketika sampai pada hal ajaran/doktrin
Gereja, ia tidak mau berkompromi. Jadi bahwa ia tidak memihak Raja Inggris, itu
bukan karena urusan politik, tetapi karena ia tidak bisa menyetujui perbuatan
Raja Henry VIII yang ingin menikah kedua
kalinya.
Pada masa pontifikal Paus
Clement VII lahirlah gerakan reformasi Gereja Katolik, yang dipelopori oleh the Oratory of the Divine Love, di
Italia, dan kemudian timbullah tokoh-tokoh reformasi Katolik seperti Cajetan,
Gian Pietro Carafa (Paulus IV), St. Ignatius
dari Loyola (Jesuit), dan St. Angela Merici (Ursulin), dst.
2. Paus Leo X (1513 – 1521)
Pontifikat Paus Leo X
diingat orang terutama karena pada masa kepemimpinannya terjadi pemisahan diri
dari Martin Luther (1517) yang dipicu oleh kontroversi
soal adanya surat indulgensi, yang sering disalahartikan sebagai penjualan
surat pengampunan dosa. Tanggapan ini keliru, sebab maksud surat indulgensi itu
bukan 'membayar/menyumbang sejumlah uang supaya dosanya diampuni', tetapi
'menyumbang sejumlah uang sebagai tanda kasih setelah pertobatan dari dosa'.
Paus Leo X (Giovanni de'
Medici) menjadi Paus pada tahun 1513, diusianya yang ke-38. Ia adalah Paus yang
menyukai kesenian, musik, pertunjukan teater, aneka pertandingan, namun ia juga
adalah seorang Paus yang murah hati dalam gerakan sosial, mendukung biara-biara,
rumah sakit, para pelajar yang miskin, para prajurit, peziarah, pengungsi,
penyandang cacat dan sakit, dan ia gemar berderma. Kedua jenis sifat-sifat ini
nampak jelas dalam pribadi Paus Leo X. Dalam kepemimpinannya ia mendukung
banyak karya sastra, karya seni dan ilmu pengetahuan, sehingga Roma menjadi
pusat sastra di Eropa pada saat itu. Paus juga mendukung karya seni, terutama
lukisan dan pahatan, dan beberapa tokoh seniman besar seperti Raphael dan
Michael Angelo hidup pada masa Paus Leo X.
Di
masa kepemimpinannya, Perancis beraliansi dengan Venice bermaksud untuk
menguasai Milan, sedangkan Spanyol, dan Inggris beraliansi menentang Perancis.
Awalnya Paus tidak memihak namun kemudian ia mengikuti kebijakan para
pendahulunya, yaitu menentang rencana Perancis. Tahun 1513 itu juga terjadi
rekonsiliasi dengan Perancis, dan para kardinal yang skismatik memperoleh
pengampunan dan diterima kembali. Namun keadaan damai ini tidak berlangsung
lama. Tahun 1516 Raja Spanyol berperang melawan Perancis dan Venesia, tapi kemudian mereka beraliansi demi
memperoleh Italia Utara. Oleh karena itu posisi Paus menjadi terjepit. Dalam
hal politik Paus nampaknya memang tidak tegas,
namun itu tidak menjadikannya pengajar ajaran sesat. Sebab hal politik memang
tidak berkaitan dengan hal doktrin Gereja.
Pada tahun 1517 terjadi Reformasi Protestan di Jerman
yang dipelopori oleh Martin Luther. Saat itu Paus
memberikan izin untuk dikhotbahkannya tentang indulgensi di Jerman, agar
diperoleh dana untuk membangun basilika St. Petrus di Roma. Tentang bagaimana
sebetulnya seseorang mendapatkan indulgesi, banyak orang salah memahaminya.
Tidak pernah Gereja mengajarkan bahwa indulgensi dapat diperoleh dengan uang.
Gereja mengajarkan bahwa indulgensi tidak dapat dibeli, namun seseorang
mendapatkan indulgensi dengan: (1)
perbuatan kasih, (2) perbuatan baik:
doa, berpuasa, dan memberikan sedekah/derma, yang semuanya harus dilakukan
dengan disposisi hati yang benar. Derma (almsgiving)
selalu menjadi salah satu ungkapan perbuatan kasih (lih. Mat 6:2). Memberikan
uang tidak dapat membeli indulgensi, namun memberi uang dengan dasar kasih
membuat seseorang dapat memperoleh indulgensi. Yesus sendiri memuji persembahan
janda miskin (Mk 12:41-44; Lk 21:1-4), bukan karena janda miskin memberikan
uang, namun karena disposisi hatinya. Sebaliknya Gereja juga tidak memberikan
indulgensi kalau seseorang memberikan uang tetapi tidak sebagai ungkapan kasih;
sebab semuanya tergantung dari disposisi hati. Semua indulgensi
selalu mensyaratkan “disposisi
hati yang benar“.
Sayangnya, pada saat itu pengkhotbah Dominikan, Johann
Tetzel yang diutus berkhotbah di Juterbog, Jerman, membuat suatu pantun yang
memang “salah kaprah”, yang intinya seperti ini, “Begitu terdengar bunyi emas
di kotak, bangkitlah jiwa menuju surga.” Maka kesannya seolah-olah orang
didorong untuk menyumbang supaya dapat masuk surga. Padahal, jika kita membaca
tentang ajaran indulgensi, terlihat bahwa yang dihapuskan dengan indulgensi itu
adalah siksa dosa temporal dari dosa-dosa yang sudah diampuni (melalui Sakramen
Tobat) dan bukan membebaskan seseorang dari siksa dosa dari dosa yang
belum terjadi. Maka, yang mengampuni dosa tetaplah Kristus melalui para
imam-Nya, dan sesungguhnya, perbuatan apapun tidak dapat menggantikan peran
Kristus untuk mengampuni dan menyelamatkan seseorang. Yang diperoleh dari indulgensi ‘hanyalah’ penghapusan siksa dosa yang
harus ditanggung seseorang, dari dosa yang sudah diampuni oleh Tuhan Yesus.
(Doktrin Indulgensi terkait dengan doktrin
Sakramen Tobat, Api Penyucian, dan mendoakan jiwa orang-orang beriman yang
sudah meninggal. Doktrin-doktrin inilah yang kemudian ditolak oleh gereja
Protestan).
Praktek korupsi yang terjadi sehubungan dengan penerapan
ajaran indulgensi inilah yang diprotes oleh Martin Luther. Dalam
95 thesis yang diletakkan di pintu gereja tersebut tak lama setelah Tetzel
datang, thesis no.27 Luther memprotes pantun Tetzel, dan thesis no. 50 dan 86
memprotes pembangunan basilika St. Petrus. Namun Luther sendiri sebenarnya
tidak menolak prinsip pengajaran tentang indulgensi; ia hanya menentang
penerapannya. Thesis no. 49 membuktikan hal ini dimana Luther mengatakan bahwa indulgensi sebenarnya “berguna”. (Sumber: Martin
Luther, Disputation of
Doctor Martin Luther on the Power and Efficacy of Indulgences,
1517, Project Wittenberg, 2 July 2008).
Dan
kemudian beberapa konsili, the Councils of Fourth Lateran [1215], Lyons [1245
and 1274] and Vienne [1311-1312]. Dan di Konsili
Trente [1545-1563], Paus Pius V membatalkan segala peraturan indulgensi yang
melibatkan transaksi keuangan. Maka sampai sekarang, derma tidak termasuk dalam
perbuatan yang disyaratkan untuk memperoleh indulgensi.
Namun demikian, Gereja tetap mempunyai kuasa untuk melepaskan umat dari siksa
dosa temporal akibat dari dosa-dosa yang sudah diakui dalam Sakramen Pengakuan
Dosa.
Perlu
diketahui di sini, bahwa indulgensi tidak pernah
diperjualbelikan seperti yang dituduhkan. Meskipun indulgensi pada jaman Paus Leo X dapat diperoleh dengan menyumbang, namun
jangan dilupakan bahwa hati yang bertobat, dan segala persyaratan religius lainnya
harus ditepati agar indulgensi tersebut dapat sah diberikan. Jadi bukan semacam membeli surat dan setelah itu dosa
diampuni. Bukan demikian, karena sebelum menerima indulgensi, seseorang harus
tetap mengaku dosa dan menerima sakramen Tobat terlebih dahulu, dan juga
memenuhi persyaratan religius lainnya. Maka, indulgensi
bukan untuk menggantikan peran sakramen Pengakuan Dosa maupun silih
dosa/penance
yang diberikan kepada umat pada sakramen tersebut oleh imam.
3. Paus Julius II (1503 – 1513)
Paus Julius II memang dikenal sebagai Paus yang keras
dalam kebijakan politik luar negerinya, Paus yang menjadi patron dalam hal seni
(arts), namun sayangnya, juga sebagai Paus yang tidak terpuji kehidupannya
sebelum menjabat menjadi Paus, karena ia mempunyai anak perempuan yang bernama
Felice della Rovere, yang lahir tahun 1483.
Tidak lama setelah kelahirannya, ibunya yang bernama Lucrezia Normanni kemudian
menikah dengan Bernardino de Cupis, seorang pembesar di casa milik sepupu Paus
Julius II. Sedangkan catatan Pompeo Litta, bahwa Paus
Julius II mempunyai dua anak lagi yaitu Guilia dan Clarice, adalah keliru,
karena kedua anak itu sesungguhnya adalah anak dari Felice (lihat Litta, “Famiglie Celebri Italiane”,
Celebrated Italian Families, 1833).
Walaupun sejarah mencatat hal-hal buruk pada Paus Julius
II, yaitu kebijakan politiknya yang keras, yaitu perang untuk melawan pengaruh
Perancis atas wilayah Italia dan Kepausan; serta fakta bahwa ia mempunyai
seorang anak perempuan sebelum menjadi Paus, namun itu tidak menjadikannya
sebagai pengajar yang sesat. Beberapa keputusan Paus
Julius II sehubungan dengan pengaturan Gereja adalah: (1) ia mengeluarkan Bulla (Bull)
tentang peraturan menentang simony
dalam kepemilihan Paus, (2)
mendirikan Kepausan di Haiti, San Domingo, Porto
Rico, (3) menolak ajaran sesat yang
menentang Inkarnasi oleh Piero de Lucca 1511, (4) mengadakan reformasi ordo dan biara, (5) mendirikan sekolah chant
gerejawi Capella Julia, (6)
mengadakan Konsili Lateran V untuk menghentikan
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Roman Curia, dan untuk menghentikan
rencana-rencana kardinal skismatik; (7)
menjadi patron seni. Bramante, Raphael dan Michael Angelo memberikan karya
terbaik mereka hidup pada masa kepemimpinan Paus
Julius II; (8) meletakkan batu
penjuru gedung basilika St. Petrus.
4. Paus
Alexander VI (1492 – 1503)
Paus
Alexander VI memang merupakan salah seorang Paus yang paling kontroversial.
Kepemimpinannya diwarnai banyak hal yang sangat negatif, misalnya mempunyai hubungan
dengan wanita Roma sampai mempunyai empat orang anak. Oleh karena itu memang
hidupnya tidak lurus, ia banyak berpihak melindungi anak-anaknya, terutama
Cesare Borgia. Pada masa kepemimpinannya juga terjadi perang dan pembunuhan
salah seorang anggota keluarganya, yaitu suami dari salah seorang anak
perempuannya.
Membaca
kisah hidup Alexander VI ini kita memang dapat
menjadi sangat prihatin, atau mungkin lebih tepatnya tercengang, mengapa ada
seorang Paus yang hidupnya sedemikian. Namun kisah yang benar tidak perlu
ditutupi, agar umat Katolik sendiri mengetahui bahwa memang dalam sejarah
Gereja, terdapat beberapa Paus yang hidupnya tidak kudus. Paus Leo XIII dalam suratnya kepada Cardinal De Luca
(1889) tentang pembelajaran Sejarah Gereja menyatakan, “Para ahli sejarah
Gereja mempunyai tugas untuk tidak menyembunyikan apapun pencobaan yang harus
diderita oleh Gereja karena kesalahan anak-anaknya, dan bahkan karena kesalahan
para pemimpinnya sendiri.” Namun kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan
pribadi orang yang bersangkutan, dan bukan kesalahan ajaran Gereja. Dengan
demikian, martabat kepemimpinan St. Petrus tetaplah terjaga seperti dikatakan
oleh St. Leo Agung (440 – 461), “martabat St. Petrus tidak berkurang bahkan
dalam para penerusnya yang tidak layak.”
Dari
fakta di atas, terlihat bahwa bahkan dengan situasi yang parah sekalipun,
Gereja Katolik tidak sesat ataupun bubar. Sebab para Paus yang tak bermoral itu
(contohnya Paus Alexander VI dan Paus Julius II) tidak mempromulgasikan ajaran apapun
yang bertentangan dengan ajaran Kristiani. Ini adalah bukti dari janji Kristus
sendiri, “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan
menguasainya.” (Mat 16:18)
5. Paus
Benediktus IX (1032 – 1048)
Tidak
banyak yang dicatat tentang kegiatan kepausan Paus Benediktus IX, kecuali
mengadakan 2-3 sinode di Roma, dan memberikan beberapa hak istimewa kepada
gereja-gereja dan biara. Paus Benediktus IX ini memang juga dikenal sebagai Paus
yang tak bermoral. Kehidupannya yang sedemikian mengakibatkan perpecahan,
sehingga dipilihlah seorang Paus tandingan (antipope), yaitu Yohanes,
Uskup Sabina (1045), yang mengambil nama Sylverster III. Paus Benediktus
memberhentikan Sylvester tahun itu juga, lalu memberikan tahtanya kepada
Yohanes Gratian yang mengambil nama Gregorius VI
(1045). Tetapi kemudian Benediktus menyesal dan ingin menggeserkan Gregorius.
Kekacauan akan adanya tiga Paus ini kemudian diatasi oleh Konsili Sutri (1046) dan
seorang Uskup Jerman, Suidger, naik menjadi Paus, dan mengambil nama Paus
Klemens II. Paus Benediktus masih berusaha kembali menjadi Paus, namun tidak
berhasil, dengan naiknya seorang Paus Jerman berikutnya, yaitu Paus Damasus II (1048).
Akhir
hidup Paus Benediktus IX tidak diketahui dengan pasti. Ada yang mengisahkan
bahwa sampai ia wafat, ia masih terus berusaha kembali naik menjadi Paus. Namun
kemungkinan fakta yang benar adalah seperti yang tertulis dalam tradisi biara
pertapaan Grottaferrata, yang diturunkan oleh Pemimpin Pertapa Lukas (wafat
1085) yang didukung oleh pahatan dan monumen lainnya di dinding-dinding biara.
Dituliskan di sana oleh pemimpin ke empat yang bernama Batholomeus (1065) bahwa
Paus Benediktus datang kepada Bartholomeus untuk berkonsultasi. Atas saran
Bartholomeus, Paus mengundurkan diri dari kepausan
dan meninggal dalam penyesalan atas dosa- dosanya, di Grottaferrata.
6. Paus
Yohanes XII (955 – 964)
Paus Yohanes XII pernah dituduh
oleh sinode (963) para uskup (50 uskup Italia dan Jerman) bahwa ia melakukan
sakrilegi, simoni, dusta, pembunuhan, percabulan dan incest. Paus Yohanes XII
menolak mengakui sinode itu, namun kemudian timbullah kekacauan sampai terjadi
penunjukan penggantinya yang mengambil nama Leo VIII,
pada saat Yohanes XII masih menjabat sebagai Paus. Tidak ada pengajaran
kepausan yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XII.
7. Paus Stefanus VI (896 –
897)
Paus Stefanus VI tidak membunuh Paus pendahulunya, Paus
Formosus. Yang dilakukan oleh Paus Stefanus – yang didukung oleh Kaisar Lambert
dari Spoleto- adalah menggali kubur Paus Formosus, mengeluarkan mayatnya untuk
diadili dalam sinode Cadaver (897). Seorang diakon ditunjuk untuk menjawab atas
nama Paus Formosus, yang diadili karena semasa hidupnya menjalankan tugas
sebagai Uskup ketika ia sudah diekskomunikasi, dan menerima tugas kepausan
ketika ia menjadi Uskup Porto, dan beberapa tuduhan lainnya. Jasad tersebut
kemudian dinyatakan bersalah, dilucuti pakaiannya, dipotong tiga jari tangan
kanannya, dan kemudian jenazah Formosus itu dibuang di sungai Tiber. Pengadilan
jenazah Formosus ini menimbulkan kerusuhan massa. Kerusuhan berakhir dengan
dibunuhnya Paus Stefanus VI dengan dicekik. Demikianlah akhir dari masa
kepausan Stefanus VI, yang tidak banyak melakukan
tindakan kepausan, kecuali membatalkan ordo-ordo yang didirikan oleh Paus Formosus, dan memberikan beberapa hak istimewa
(privileges) kepada gereja-gereja.
8. Paus Innocentius III (1198 – 1216)
Kontroversi Paus
Inocentius III adalah izinnya untuk membantai kelompok kataris. Namun
setidaknya kita perlu melihat Paus ini secara obyektif. Paus Innocentius III dikenal
sebagai pembela dan pelindung iman yang sejati dari ajaran sesat. Kelompok
Kataris, yang juga terkenal sebagai Albigenses (aliran Kataris dari Albi)
memang menyebarkan ajaran yang sesat dengan begitu agresif dan menyebarkannya
dengan paksa. Ajaran sesat itu adalah prinsip Dualisme, yang merupakan prinsip
pengajaran ajaran sesat Manichaeism yang berakar pada ajaran Gnosticism pada
abad pertama. Prinsip Dualisme ini sangat bertentangan dengan ajaran Kristiani.
Dualisme percaya akan adanya dua kekuatan, yaitu kekuatan baik dan jahat.
Kekuatan baik ini dikatakan sebagai pencipta alam spiritual yang tak kelihatan;
sedangkan kekuatan jahat sebagai pencipta dunia material. Dengan demikian,
mereka melihat bahwa tubuh/materi adalah sesuatu yang jahat. Beberapa konsep
yang keliru itu misalnya: 1) konsep keselamatan bagi mereka adalah ‘pembebasan
dari tubuh’; 2) mereka membenci perkawinan, karena perkawinan memungkinkan
terciptanya ‘tubuh’ yang baru 3) mereka mendukung homoseksualitas; 4) mereka
mentolerir/mendorong tindakan bunuh diri, karena menyebabkan seseorang terlepas
dari ‘tubuh’. Di atas semua itu, dengan konsep ‘merendahkan tubuh, mereka tidak
menghargai Inkarnasi (Penjelmaan Tuhan Yesus menjadi manusia, dan mengambil
‘tubuh’ manusia). Dan karena Penjelmaan Kristus merupakan salah satu inti Iman
Kristiani, maka dapat dimengerti bahwa ajaran Kataris ini sungguh sangat
menentang kebenaran iman Kristiani.
Demi menjaga kemurnian ajaran iman Kristiani, Paus
Innocentius mengirimkan dua orang pertapa Cisterian, yaitu Rainer dan Guido
kepada kaum Albigenses di Perancis, untuk mengajarkan kepada kaum Albigensian
itu ajaran Iman yang benar. Kedua pertapa itu kemudian diikuti oleh Diego,
Uskup Osma, dan St. Dominikus, dan dua utusan kepausan, Peter Castelnau dan
Raoul. Namun misi ini ditolak dan dihina oleh pihak Albigenses. Maka ketika
utusan kepausan, Peter Castelnau dibunuh tahun 1208, Paus Innocentius
memutuskan untuk menghadapi mereka dengan kekerasan. Dalam moral teologi, ini
disebut sebagai ‘just war’, karena
sudah didahului cara-cara perdamaian, namun tidak berhasil, sedangkan kebenaran
iman-lah yang menjadi taruhannya. Suatu keputusan yang sangat sulit harus
dilakukan oleh Paus Innocentius III untuk
menjaga kemurnian ajaran iman.
9. Paus Urbanus VI (1378 – 1389)
Kontroversi Paus Urbanus VI adalah tindakannya menyiksa
dan memenjarakan 6 kardinal. Kisah tentang Paus Urbanus VI ini berkaitan dengan
kondisi skisma yang dihasilkan setelah Tahta Kepausan dikembalikan dari Avignon
ke Roma oleh Paus Gregorius XI (1378) yang mengakhiri Kepausan Avignon. Setelah Paus Gregorius XI wafat, orang-orang
Roma mendesak agar Paus dipilih dari Italia, maka para kardinal memilih Paus Urbanus VI. Di awal kepemimpinannya terjadi
pergolakan yang berkaitan dengan pemerintahan Naples, dan ia tidak mendengarkan
nasehat dari para kardinalnya. Akhirnya para kardinal memberontak, dan kemudian
6 kardinal ini ditahan, dan disiksa, 5 di antaranya dihukum mati. Ini memang
adalah suatu perbuatan yang tidak bijaksana.
Kemudian
para kardinal memilih Paus tandingan bernama Clemens VII. Lalu konsili di Pisa
diadakan tahun 1409, untuk menyelesaikan hal ini, tapi kemudian malah memilih
Paus yang ketiga Alexander V, dan segera diikuti oleh Paus Yohanes XXIII (Paus
tandingan (anti-pope) yang memakai nama Paus Yohanes XXIII). Akhirnya Konsili
Konstance tahun 1417 menurunkan Paus Yohanes XXIII (paus tandingan tersebut),
Paus Avignon (Benediktus XIII), dan Paus Roma
Gregorius XII, lalu memilih Paus Martin V untuk meneruskan kepemimpinan Rasul Petrus, dan
dengan demikian mengakhiri skisma.
Sejak
saat itu, didekritkan bahwa tidak akan ada lagi Konsili yang mempunyai kuasa di
atas para Paus, dan tidak ada lagi jalan untuk membatalkan pemilihan Paus oleh
seorangpun kecuali oleh Paus itu sendiri.
10. Paus
Clement XIV (1769 – 1774)
Kontroversi
Paus Clement XIV adalah tindakannya membubarkan ordo Jesuit. Dalam hal ini
memang tidak dapat diketahui secara pasti mengapa Paus Clement XIV memutuskan demikian. Dikatakan di dalam Brief untuk
membubarkan SJ tersebut tidak disebutkan secara jelas mengapa; namun jika kita
melihat deskripsi sejarahnya, kemungkinan ini berkaitan dengan tekanan politik
terhadap Paus. Maka St. Alphonsus Liguori
mengatakan, “What could the
poor pope do when all the Courts insisted on the suppresion [of the Jesuits]?”
Atau Jesuit Cordara, ”I
think we should not condemn the pontiff who, after so many hesitations, has
judged it his duty to suppress the Society of Jesus I love my order as much as
any man, yet, had I been in the pope’s place I should probably have acted as he
did. … (SJ), founded and maintained for the good of the Church, perished for
the same good; it could not have ended more gloriously.”
11. Paus Gregorius XVI (1831 – 1846) melarang teknologi kereta api?
Kontroversi
Paus Gregorius XVI adalah tindakannya melarang teknologi kereta api. Tapi
apakah memang demikian? Paus ini memang terkenal sangat konservatif dan tidak menyukai hal-hal yang baru. Namun
bukan berarti ia melarang secara resmi teknologi kereta api, dan tidak ada
dokumen yang menyatakan pandangannya yang demikian secara tertulis. Yang
mengungkapkan bahwa Paus Gregorius tidak
menyukai kereta api adalah Charles Dickens, seorang novelis
dari Inggris. Maka hal ini serupa dengan seseorang penulis yang merekam kesan/pendapat
seseorang akan sesuatu. Tentu
rekaman komentar ini tidak bernilai mengikat, karena itu sifatnya hanya kesan
pribadi.
12. Paus Pius XI (1922 – 1939)
Kontroversi
Paus Pius XI adalah tindakannya yang anti komunis tapi pro NAZI. Tapi apakah
memang demikian? Paus XI terkenal sebagai
Paus yang menjunjung tinggi martabat manusia,
menentang komunisme, dan eksploitasi kapitalisme internasional. Surat
ensikliknya yang terkenal adalah Quadragesimo
Anno, merupakan salah satu sumber ajaran sosial Gereja yang
penting.
Yang benar adalah memang Paus Pius XI dan Adolf Hitler
menandatangani perjanjian Concordat 1933, yang dimaksudkan terutama agar negara
yang bersangkutan (dalam hal ini Jerman) mengakui dan menjamin hak-hak umat
Katolik di negara itu. Namun kenyataannya kemudian Hitler melanggar perjanjian
itu, dan bahkan semakin menunjukkan kekerasan terhadap umat Kristiani. Maka
pada tahun 1937 Paus Pius XI menulis ensiklik, Mit Brennender Sorge, yang
mengecam ideologi Nazi yaitu rasisme, totalitarianisme dan pelanggaran Nazi
terhadap Concordat. Ensiklik ini mengecam ideologi nasional-sosialisme yang
bersifat pagan, mitos rasis dan darah kebangsawanan, dan konsep yang salah
tentang Tuhan.
“Whoever exalts race, or the people, or
the State, or a particular form of State, or the depositories of power, or any
other fundamental value of the human community—however necessary and honorable
be their function in worldly things—whoever raises these notions above their
standard value and divinizes them to an idolatrous level, distorts and perverts
an order of the world planned and created by God; he is far from the true faith
in God and from the concept of life which that faith upholds.” (Mit Brennender Sorge 8)
Fakta
selanjutnya adalah umat Katolik di Jerman yang mencetak dan menyebarkan surat
ensiklik itu dipenjara atau dibuang ke kamp konsentrasi. Hanya sayangnya, hal
ini tidak diberitakan oleh dunia Barat; maka Paus
Pius XI mengatakan ini sebagai “a
conspiracy of silence“. Paus Pius XI
tetap pada pendiriannya, dan ia mengajarkan, “Mark well that in the Catholic Mass, Abraham is our
Patriarch and forefather. Anti-Semitism is incompatible with the lofty thought
which that fact expresses. It is a movement with which we Christians can have
nothing to do. No, no, I say to you it is impossible for a Christian to take
part in anti-Semitism. It is inadmissible. Through Christ and in Christ we are
the spiritual progeny of Abraham. Spiritually, we [Christians] are all Semites”.
Pada
dasarnya Paus Pius XI mengatakan tidaklah mungkin bagi seorang Kristiani untuk
menjadi anti Yahudi. Sebab melalui
Kristus dan di dalam Kristus, kita semua adalah keturunan Abraham secara
spiritual. Maka secara spiritual umat Kristiani adalah orang Yahudi. Dengan
demikian, tidaklah benar bahwa Paus Pius XI
pro-Nazi dan anti Yahudi.
13. Paus Pius XII
Kontroversi
Paus Pius XII adalah tindakannya yang pro NAZI dan membiarkan holokaus terjadi. Tapi apakah memang
demikian? Gambaran yang menyatakan
Paus Pius XII pro NAZI dan membiarkan holokaus adalah tuduhan yang keliru. Kesaksian
dari kaum Yahudi sendiri, Pinchas Lapide, seorang teologian Yahudi dan diplomat
Israel dalam bukunya Three
Popes and the Jews, mengungkapkan bahwa Paus
malah melindungi mereka, dan berperan dalam menyelamatkan hingga 860.000 orang
Yahudi. Bahwa ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Paus XII mungkin dapat
berbuat lebih banyak untuk melindungi orang Yahudi/menyetop holokaus, itu
mungkin masih dapat diperdebatkan (walau tetap tidak dapat memuaskan, karena
tak seorangpun dari kita mengetahui secara persis keadaan yang dihadapi Paus
pada saat itu), tetapi tuduhan yang mengatakan bahwa Paus
Pius XII membiarkan holokaus dan tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan
orang Yahudi, itu adalah tuduhan yang sangat keliru.
DEMIKIANLAH
catatan sejarah yang mengisahkan beberapa Paus yang kontroversial. Apakah hal ini menggoyahkan iman umat? Sama
sekali hal tersebut tidak menggoyahkan iman umat, dan malah sebaliknya, makin
meyakinkannya akan janji kesetiaan Kristus untuk menyertai Gereja-Nya sampai
akhir jaman (Mat 28:20). Sebab jika hal itu terjadi pada organisasi manusia,
maka organisasi itu sudah bubar sejak lama. Namun karena Kristus menjaganya
dengan Roh Kudus-Nya, maka Gereja Katolik tetap eksis sampai sekarang. Karena
itu, umat Katolik harus semakin mensyukuri akan kasih setia Kristus yang
dinyatakan kepada Gereja-Nya.
re-edited
from Ingrid Listiati-
katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar