Saya
pernah bertugas di sebuah paroki di salah satu keuskupan di Indonesia. Saat itu
saya sebagai pastor pembantu.
Sudah
menjadi kebiasaan di paroki ini, atau mungkin di keuskupan, bahwa menjelang
perayaan Natal atau Pekan Suci, ada upacara penerimaan sakramen tobat. Sakramen
tobat dilihat sebagai salah satu persiapan umat untuk menyambut Natal dan/atau
Paskah. Pada saat ini, penerimaan sakramen tobat biasanya dilangsungkan di
komunitas-komunitas.
Selama
melayani pengakuan dosa, saya melihat bahwa animo umat terhadap sakramen tobat
amat sangat rendah. Dibandingkan sakramen lainnya, kiranya sakramen tobat
menduduki urutan pertama sakramen yang tidak laris (urutan kedua adalah
sakramen pengurapan orang sakit). Ternyata hal ini dirasakan juga oleh rekan
iman lainnya.
Karena
itu, pernah kami membuat program katekese tentang sakramen tobat. Dalam
katekese ini, kami tidak hanya menyampaikan ajaran Gereja tentang sakramen
tobat atau teologi sakramen ini, melainkan juga manfaat sakramen ini baik bagi
kesehatan jiwa maupun raga, rohani dan jasmani. Kami jelaskan juga soal
ketakutan dan rasa malu umat terkait sakramen ini, serta tata cara pengakuan
dosa. Akan tetapi, tetap saja tidak ada perubahan. Ruang pengakuan tetap
dingin.
Menghadapi situasi ini, ada dua perasaan yang saling bertentangan dalam hati saya. Dua perasaan itu adalah prihatin dan senang. Saya merasa prihatin, sedih dan kecewa, karena umat tidak mau memanfaatkan anugerah pengampunan. Sakramen tobat merupakan kesempatan bagi umat untuk mengalami belas kasih dan kerahiman Allah. Sakramen ini masuk dalam kategori sakramen penyembuhan atau rekonsiliasi, karena melalui sakramen ini luka-luka bathin dapat disembuhkan dan terjadi rekonsiliasi, baik terhadap Allah maupun sesama.
Ada perasaan bingung, kenapa umat merasa tidak butuh sakramen tobat padahal bermanfaat bagi hidupnya. Tak bisa dipungkiri, sebagai manusia pasti tak luput dari dosa. Rasul Yohanes, dalam suratnya, pernah berkata, “Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” (1Yoh 1: 8). Dengan kata lain, kita telah berdosa jika mengaku tidak berdosa. Keengganan untuk mengaku dosa membuat kesan umat suka mengumpul atau menimbun dosa.
Di samping merasa prihatin, saya merasa senang juga. Senang karena saya tidak dibebani untuk mendengarkan dosa-dosa umat. Makin sedikit orang yang mengaku dosa, semakin ringan beban yang harus saya pikul. Bagi saya, mendengarkan pengakuan dosa umat merupakan tugas yang paling berat. Lebih baik saya disuruh merayakan ekaristi 3 – 4 kali ketimbang duduk 1 jam mendengarkan pengakuan dosa.
Perasaan senang bukan lantas berarti saya selalu mengharapkan umat tidak mau datang mengaku dosa. Saya tetap berharap supaya umat benar-benar memanfaatkan sakramen ini untuk memulihkan relasinya dengan Allah dan sesama yang rusak karena dosa, serta untuk kepentingan lainnya. Karena itu, tidak bosan-bosannya saya akan selalu mewartakan sakramen ini dalam setiap kesempatan.
08 Januari 2019
NN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar