Para
imam, suster dan bruder terikat pada janji atau kaul kemiskinan. Ketika hendak
ditahbiskan atau mengucapkan kaul kekal, orang-orang ini akan mengikrarkan kaul
kemiskinan. Kaul kemiskinan ini dihayati sebagai bentuk penghayatan akan
nilai-nilai Injili; atau dengan kata lain, ingin menyamai Kristus Yesus. Sebab Yesus
yang diikuti adalah Yesus yang miskin. Karena itu, mengikuti Kristus berarti
juga ambil bagian dalam kemiskinan-Nya.
Akan
tetapi, sangat jamak ditemui dewasa ini kaum religius dan juga
biarawan-biarawati yang bergelimpangan harta kekayaan duniawi. Ada imam dengan
tunggangan motor pribadi yang mahal. Ada imam memiliki mobil. Ada suster atau
bruder dengan HP android mahal di tangan kiri dan laptop di tangan kanan serta
kamera DSLR tergantung di lehernya. Di beberapa tempat ada imam punya rumah
atau tanah pribadi. Apakah ini bertentangan dengan janji atau kaul
kemiskinannya?
Tulisan
“Perjalanan Kaul Kemiskinan” mencoba menjawab pertanyaan di atas. Tulisan ini
merupakan sebuah refleksi atas kaul kemiskinan dalam perjalanan waktu. Dari sana
kita akan dapat memahami situasi penghayatan kaul kemiskinan dewasa kini, yang
jelas berbeda dengan penghayatannya di masa lampau. Setiap sejarah punya
kisahnya.
Akan
tetapi, tulisan ini juga, karena merupakan sebuah refleksi, menyajikan satu
pertanyaan refleksi untuk kaum muda dewasa kini yang hendak menjawab panggilan
Tuhan. Lebih lanjut mengenai isi tulisan ini, silahkan klik di sini. Selamat
membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar