Perempuan
itu menginginkan seorang atau dua atau tiga anak. Tak dipilih dengan pasti
apakah mesti perempuan atau lelaki. Perempuan itu ingin dan makin ingin seperti
tiap keinginan yang tak kunjung padam. Sejak kawin mungkin, atau jauh
sebelumnya, sampai tahun-tahun pertama perkawinannya, dan kini di ulang tahun
yang kesekian belas. Keinginan itu kian membesar dan rasa-rasanya kian dekat.
Kemudian
pendekatan yang keselanjutnya ialah dengan mengambil seorang anak angkat
perempuan. Sejak si bayi masih dalam kandungan ibu kandungnya, perempuan itu
telah memintanya.
“Aku
ingin punya anak.”
Dalam
tahun kedua, diambilnya lagi adik bayi perempuan – yang juga perempuan, sebagai
anaknya. Dan karena saat itu suaminya masih aktif sebagai tentara, anaknya
mendapat jatah beras. Juga pada kelahiran ketiga – sekarang lelaki, dan
kelahiran keempat – perempuan lagi.
“Kau
tak keberatan aku mengambil anak, Mas!”
“Tentu
saja tidak. Mengapa berkeberatan. Itu malahan meringankan keinginan kita
berdua.”
Dan
bila keempat anak kecil berbaring berjajar seperti ikan dalam kaleng, perempuan
itu menjahit baju anak-anak.
“Kita
bakalan punya anak sendiri ya, Mas!”
Anak
mereka yang kelima, diberikan oleh keluarga dekat mereka yang anaknya sudah
cukup banyak. Ini anak kelima belas yang menjadi anak angkatnya yang kelima.
Perempuan itu menggulawentah seperti anaknya sendiri. Bahkan ketika pertama
mengambil bayi itu, perempuan itu memakai pilis, memakai param dan berlaku seolah
baru saja melahirkan. Mengganti popok sebanyak bayinya kencing, menyanyikan
lagu-lagu penidur sebanyak bayinya menangis, menyuapi selama bayinya mau, dan
bercerita pada sebanyak tetangga yang datang, dengan penuh kebanggaan, dengan
penuh kerinduan. Pun suami perempuan itu terus bekerja dari pagi-pagi hingga
sore, untuk membeli beras, serta satu stel pakaian pada hari raya untuk
anak-anak yang mulai berangkat dewasa. Sejak keluar dari tentara (suami
perempuan itu minta keluar dari tentara, karena tak tahan melihat tentara
ngobyek. Ini terjadi di sekitar permulaan tahun lima puluh sekian. Sehingga
suami itu tak menerima pensiun meskipun memiliki tanda pengharaan), dan masuk
sebagai buruh-buruh lainnya.
Perempuan
itu tahu, jika saja teman-teman suaminya yang sekarang sudah berpangkat datang
atau bercerita, selalu dengan nada setengah menyesalkan suaminya, mengapa
justru suaminya yang berjuang di tahun 45 sampai 50-an mengundurkan diri.
Bukankah yang dulu cuma sekali dua memegang senapan di tahun 48-an sekarang
menerima pensiun?
“Siapa
yang mengira bahwa sekarang akan ada veteran? Jaman itu kan cuma sekedar
perang.”
“Kalau
kau mau mengurus, mungkin masih bisa. Banyak teman-teman kita sendiri yang
memegang urusan ini.”
Tapi
perempuan itu tahu bahwa suaminya tidak mengurus dengan serius, bahwa suaminya
tidak menyesalkan pengunduran dirinya. Seperti juga tidak pernah menyesalkan
dirinya yang belum juga mempunyai anak. Perempuan itu mendengar bahwa suaminya
sering bercerita, jika saja kawan-kawannya yang dulu datang dan mengalem
padanya.
“Di
antara kawan sepasukan, kau yang paling berani. Sungguh, dalam tiga pertempuran
kau naik pangkat terus.”
“Ketika
itu, naik pangkat bisa terjadi sewaktu-waktu. Tidak aneh.” Ditolaknya pujian
itu dengan halus.
“Tapi
juga bisa diturunkan dengan tiba-tiba.”
Suami
perempuan itu tertawa dan menyedot-nyedot rokoknya. Dan perempuan itu pun
mengerti, meskipun sekarang bukan perang seperti itu, suaminya kadang memberi
belanja tidak tetap, seperti jaman perang. Dan perempuan itu makin menghormati
suaminya yang bekerja satu hari penuh. Seperti suami itu makin menyayangi isterinya
yang sehari penuh mengasuh anak-anaknya.
Di
kampungnya, perempuan itu dikenal sebagai sosiawati yang baik. Tenaganya,
pikirannya lebih banyak dicurahkan pada perkumpulan-perkumpulan seperti jika
ada pengantin, ada kematian, ada pesta kecil dan pesta besar. Kadang petang
hari baru pulang. Dan dijumpai suaminya tengah duduk sendirian.
“Sudah
pulang, Pak?” (sebutan pak itu
dipakai sejak anak mereka hadir dan memanggil pak kepada suaminya. Pun suaminya memanggil bu, sejak anak-anak mereka memanggil bu kepadanya).
“Sudah.”
“Sudah
makan?”
“Belum”
“Tadi,
tidak ada yang tahu membuat masakan selat. Tidak tahu bumbunya. Terpaksa sampai
sore.”
Atau
kalau tengah duduk-dudk berdua sore hari – sewaktu suaminya pulang dari kerja
dan dirinya ingin berbuat seperti isteri yang bekti – tetangga datang.
“Minta
tolong mbakyu, menerima tamu di resepsi.”
Atau
juga, karena sekarang tiap kampung ada kegiatan untuk ibu-ibu, perempuan itu
lebih aktif lagi, mengingat kelebihannya memasak dan juga menabuh gamelan.
Bahkan
dalam satu perlombaan, perkumpulan ibu-ibu yang dipimpin itu mendapat juara
pertama.
“Acaranya
sibuk terus, Pak.”
“Nanti
kamu kelelahan.”
“Terpaksa.”
Kadang
suaminya mengantarkan dirinya latihan nabuh atau memberi kursus. Kadang di
rumahnya sendiri.
Bila
saja yang kedua terjadi, suaminya terpaksa tak bisa tidur sore hari. Kadang
dirinya diantar oleh pacar anak-anaknya, jika berangkat latihan. Pacar anaknya
yang pertama, atau pacar anaknya yang kedua.
Perempuan
itu menerima kehadiran pacar-pacar anak-anaknya dengan terbuka, dengan melebar
dan merentangkan kedua tangannya. Kedatangan pacar-pacar anaknya tak mengubah
atau menggoncangkan keinginannya semula. Untuk mempunyai anak. Dengan sendau
gurau ditantangnya calon-calon menantunya, “Hati-hati, kalau pacaran jangan
bunting dulu. Ibumu masih ingin bunting lagi.”
Calon
menantunya juga banyak bicara. Sering dalam cerewatnya berkata bahwa seorang
ibu bukanlah seorang yang melahirkan, akan tetapi yang mendidik dan
menggulawentah dari bayi hingga dewasa.
Dalam
abad yang modern jika bayi sudah bisa dibuat di laboratorium, masih perlu
dibutuhkan seorang ibu.
Suatu
hari, perempuan itu hampir tak percaya. Tanggal di mana seharusnya dirinya
mens, tidak dialami. Ditelitinya perubahan dirinya, perubahan tubuhnya,
kepekaan perasaan diriya, dan ditanyakan kepada tetangganya bagaimana permulaan
ngidam itu.
Ditunggu
dalam sehari dua, sampai seminggu, apakah hal itu hanya keterlambatan biasa.
“Tapi
sudah 15 hari, Pak,” laporannya kepada suaminya yang sejak itu lebih lama di
rumah, lebih sering mandi. Dan dirinya lebih jarang mengunjungi perkumpulan
kegiatan sosial, dan lebih sering membersihkan kamarnya serta memasang gambar
bayi.
Keterlambatan
sebulan kemudian, perempuan itu memang merasakan ingin makan kecut-kecut,
asin-asin, serta suatu ketika ingin muntah waktu bangun pagi, lebih banyak
makan dan tidur.
“Ke
dokter,Pak?”
Sekali
ini, bukan calon menantunya yang mengantarkan, tapi suaminya sendiri. Sekali
ini, datang ke dokter untuk urusan dirinya dan bukan mengenai anak-anaknya.
Dan
dokter menyatakan kemudian, ketika pemeriksaan yang kesekian, bahwa dirinya
sudah sampai pada taraf menopause, taraf istirahat dari seorang perempuan.
Mungkin juga tidak akan mengalami mens lagi.
Perempuan
itu menerima kalimat dokter tanpa gugatan. Juga suaminya. Perempuan itu tetap
merasa sebagai ibu, juga suaminya merasa sebagai ayah.
Kejadian
apa pun yang pernah terjadi atas diri mereka berdua, mereka tetap merasa
sebagai dan akan menjadi seorang ibu dan ayah, karena mereka menginginkannya.
sebuah cerpen karya:
Arswendo Atmowiloto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar