Tak lama lagi beberapa daerah di Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi dalam acara pemilihan umum untuk kepala daerah atau biasa dikenal dengan istilah pilkada. Setelah disuguhi dengan janji-janji manis dalam masa kampanye, saat ini masyarakat memasuki masa tenang. Kiranya baik para pemilih menenangkan diri dan merefleksikan pilihannya nanti. Perlu disadari bahwa pilihan kita nanti akan membawa dampak 5 tahun ke depan. Untuk itu dibutuhkan kecerdasan dalam menentukan pilihan.
Umat islam sudah mempunyai pedoman dalam menentukan pilihannya. Dasar pertama adalah memilih yang seagama atau seiman. Umat islam dilarang memilih calon pemimpin yang tidak beragama islam, alias kafir. Hal ini sudah diamanatkan dalam Al-Qur’an. Bagaimana jika dalam pilkada itu calon-calonnya sama-sama beragama islam? Di sini pun umat islam sudah punya ketentuan, yaitu memilih yang memperjuangkan kepentingan islam.
Demikianlah dengan umat islam dalam menghadapi PEMILU. Bagaimana dengan umat kristiani? Bagaimana cara orang kristen menentukan pilihannya dalam pilkada nanti? Apa yang dikatakan dalam Injil atau Kitab Suci?
Ada beberapa prinsip kristiani terkait PEMILU ini yang harus dijadikan pegangan bagi umat kristen. Pertama, tidak membatasi pilihan pada calon yang seagama, sesuku atau lainnya. Dasarnya ada pada nasehat Tuhan Yesus dalam Injil Markus 9: 38 – 41. Yesus bersabda, “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” Di sini orang kristiani tidak diajarkan untuk memilih hanya calon yang seiman atau seagama dengan dirinya. Yang tidak seagama tidak boleh dipilih. Jadi, memilih pemimpin tanpa harus melihat agama, suku, ras dan partainya, tua atau muda, pria atau wanita. Yang penting calon itu haruslah berjuang demi kebaikan bersama, menjaga nilai-nilai PANCASILA dan UUD ’45. Inilah prinsip pertama yang harus menjadi pegangan bagi orang kristen dalam menentukan pilihannya.
Sejalan dengan prinsip di atas, lahirlah prinsip kedua, berusaha mengenal pilihan. Sistem PEMILU saat ini hanya membantu orang untuk tahu pilihannya, namun masih sebatas wajah dan identitas. Sistem ini belum menjamin orang untuk mengenal siapa yang dipilih. Karena itu, kebanyakan orang memilih hanya terpusat pada wajah: ganteng, menarik, cantik; dan/atau juga pada identitas: suku, agama, usia. Bagaimana orang kristen bisa mengenal calon pemimpinnya? Orang kristen akan mengikuti nasehat Tuhan Yesus dalam Injil Matius 7: 15 – 20.
Nasehat Yesus di atas dapat diterjemahkan dalam konteks pilkada. “Waspadalah terhadap calon pemimpin palsu yang datang dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka...” Bukankah selama masa kampanye para calon pemimpin itu mendatangi rakyat seperti malaikat penolong, menawarkan janji-janji manis. Ada meme bagus untuk hal ini: ketika kampanye calon pemimpin datang dengan becak atau ojek, tapi setelah jadi pemimpin naik mercedes kaca tertutup. Karena itu, waspadalah. Jangan mudah tertipu oleh penampilan saat kampanye.
Dalam nasehat Yesus tersebut, terungkap pernyataan untuk mengenal seseorang dari buahnya. Hal ini pernah dinyatakan Yesus, “Jika suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” (Matius 12: 33).
Karena itu, selain tahu wajah dan identitasnya, kita juga harus memperhatikan “buah” yang telah dihasilkan calon kita ini. Namun, berkaitan dengan buah ini, ada yang harus kita perhatikan. Memang buah itu selalu diidentikkan dengan manfaat. Jadi, di sini ada asas manfaat. Berkaitan dengan asas manfaat ini ada hal yang harus diubah dalam mental kita.
Selama ini, sering orang berpikir bahwa tolok ukur asas manfaat ini adalah saya atau kami. Orang kerap menuntut kepada pasangan calon kepala daerah untuk membuktikan janjinya dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya atau kelompoknya saat itu juga. Misalnya, pengaspalan jalan atau pemasukan aliran listrik, dll. Jadi, terlihat bahwa orang hanya memikirkan kepentingan diri/kelompoknya sendiri, bukan kepentingan umum. Orang hanya memikirkan kepentingan sesaat saja, bukan untuk lima tahun ke depan.
Sebagai contoh, si Anu yang berpasangan dengan Una, sekitar 3 bulan menjelang pilkada mengadakan proyek pengaspalan jalan masuk ke desa. Sebagai kepala daerah bisa saja si Anu buat proyek untuk “kesejahteraan” masyarakat dengan mengunakan dana pemerintah yang ada. Orang akan melihat “proyek” itu sebagai kemurahan hati Anu.
Karena itu, jangan begitu cepat percaya. Jangan begitu mudah terpikat. Sering orang hanya berpikir jangka pendek dan hanya untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Memanfaatkan momen pemilu ini, orang kristen diajak untuk berpikir global, yaitu demi kepentingan bersama, dan untuk jangka panjang, yaitu selama lima tahun ke depan, bahkan seterusnya. Pola pikir sempit, yang hanya melihat “kebaikan” instan, harus diganti. Orang kristen memakai metode Tuhan Yesus: mengenal pohon dari buahnya. Bagaimana caranya?
Orang kristen, pertama-tama, akan membedakan antara janji dan “buah”. Janji itu bukanlah buah. Dalam dunia tumbuhan, janji dapat disamakan dengan bunga. Memang buah berasal dari bunga. Dan bunga itu selalu indah. Demikian pula dengan janji yang selalu dilontarkan calon peserta pilkada nanti. Janji itu selalu indah, sehingga membuat orang terbuai. Tapi musti diingat bahwa bunga bukanlah buah, dan tak selamanya bunga itu menjadi buah. Maka, sekalipun pohon itu berbunga lebat dan indah, tapi bila tidak menghasilkan buah, pohon itu tidak baik. Buah adalah hasil dari pohon yang selalu ditunggu orang.
Tentulah, penilaian atas pohon baik atau tidak, bukan dilihat dari awal penanaman pohon. Artinya, ketika kita menanam sebuah pohon, kita tak bisa langsung mengatakan bahwa pohon ini baik. Sebuah pohon dikatakan baik karena dia pernah menghasilkan buah yang baik. Dan cap “baik” ini akan terus mengiringinya dengan buah-buah yang selalu dihasilkannya.
Maka, untuk benar-benar mengenal pilihan yang akan memimpin daerah kelak, orang kristen tak cukup hanya mengandalkan janji manis para calon pemimpin itu. Jangan hanya melihat apa yang sudah dilakukan saat ini untuk segelintir orang saja. Kita perlu rekam jejak mereka lalu dikaitkan dengan janjinya. Apakah janji yang diucapkannya sudah sejalan dengan hidupnya selama ini.
Sebagai contoh. Si Polan, ketika berkampanye, menjanjikan pemerintahan yang bersih dari korupsi, menghargai pluralitas, meningkatkan kesejahteraan buruh dan memajukan pendidikan. Kini orang harus melihat rekam jejaknya sebelum mencalonkan diri. Coba perhatikan, apakah sebelum kampanye si Polan sudah menunjukkan sikap plural, menghargai perbedaan? Pernahkah si Polan aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Umat harus melihat apakah selama bekerja di LSM dia menunjukkan perhatiannya pada masalah-masalah di atas. Artinya, harus ada kesesuaian antara janji kampanye dengan kehidupan calon sebelum kampanye.
Demikianlah ajaran kristiani terkait dengan menjadi pemilih cerdas dalam menghadapi dan menyikapi pilkada yang akan diadakan nanti. Karena itu, berusahalah mengenal pilihan Anda. Jangan terbuai dengan janji manis atau uang yang diberikan. Jangan pula berpikir sempit, hanya melihat kepentingan kelompok dan kepentingan sesaat. Nasib daerah Anda ada di tangan Anda. Semoga Anda dapat memilih pemimpin yang benar, apapun latar sosial, agama dan sukunya.
Selamat memilih !!!
Koba, 24 Juni 2018
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar