Dari kodratnya, pernikahan terarah kepada kelahiran anak.
Banyak orang menikah karena ingin punya anak. Kitab Suci sendiri sudah
mengamanatkan hal itu (Kej 1: 28). Karena itu, Gereja Katolik melihat kehadiran
anak dalam rumah tangga merupakan tujuan pernikahan, meski bukan satu-satunya
tujuan. Dan tidak hanya sebatas kelahiran anak saja, melainkan terwujudnya
pendidikan anak (kan. 1055 §1).
Gereja Katolik melihat bahwa anak merupakan karunia atau
titipan Allah. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri ada banyak keluarga yang tidak
dikaruniai anak setelah bertahun-tahun menikah. Apakah Allah belum menitipkan
karunia-Nya?
Allah itu mahaluas. Kita tak mampu memahaminya. St. Agustinus
bahkan berkata, “Kalau engkau memahami-Nya, Dia bukan lagi Allah.” Karena itu,
Nabi Yesaya pernah menyampaikan firman Allah, “Rancangan-Ku bukanlah
rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku.” (Yes 55: 8).
Terkait dengan anak, Gereja Katolik menegaskan bahwa anak
harus didapat dengan cara alami, yaitu hubungan seks. Dengan kata lain, hubunga
seks merupakan salah satu cara Allah menitipkan karunia-Nya. Namun, seringkali
terjadi pasutri mengalami kegagalan. Mungkin karena ada faktor medis. Untuk
itu, perlu juga diperhatikan soal medis ini, dengan aneka solusinya baik fisik maupun
psikis, bahkan rohani seperti novena, puasa, ziarah, dll.
Tak salah juga jika pasutri mengambil cara lain, yaitu adopsi. Ada banyak anak yang tidak mengalami nasib beruntung. Mereka kehilangan kasih sayang orangtua sejak kelahirannya. Mungkin inilah cara Allah menitipkan karunia-Nya. Dengan adopsi, pasutri bisa mencurahkan kasih sayang serta mewujudkan tujuan pernikahan, yaitu pendidikan anak.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar