Di
suatu hari Minggu, setelah perayaan ekaristi, seorang pemuda datang kepada
saya. Berdua kami ngobrol di ruang sakristi. Setelah membuka pembicaraan dengan
saling perkenalan, dia mengutarakan niatnya untuk kembali menjadi katolik.
Pemuda
ini menjelaskan bahwa ia telah menikah secara islam, ketika berada di tanah
rantau. Karena islam tidak mempunyai ritus perkawinan campur, maka yang non
muslim harus masuk islam terlebih dahulu. Jadi, saya langsung menyimpulkan
bahwa pemuda ini, saat itu beragama islam, dan dia mau kembali menjadi orang
katolik. Saat ini dia, istri dan keempat anaknya tinggal di kampung halamannya.
Mereka semua masih memeluk islam.
Spontan
otak saya langsung berpikir bahwa jika pemuda itu menjadi katolik, yang dalam
kacamata islam, berarti dia telah murtad. Dan dalam syariah islam, orang murtad boleh dibunuh. Ini didasarkan pada hadis sahih Bukhari. Namun saya
menyingkirkan bayangan dia akan dibunuh. Saya hanya menjelaskan posisi dia
dalam Gereja Katolik, dan bagaimana Gereja menanggapi persoalannya. Sekedar
gambaran, istrinya akan tetap menganut islam.
Setelah
menjelaskan semuanya itu, pemuda itu juga mengungkapkan bahwa anak-anaknya akan
dibaptis dalam Gereja Katolik, kecuali anak pertama. Anak pertama akan tetap
sebagai muslim atas permintaan istrinya, karena supaya ada yang mendoakan dia
jika dia meninggal. Jadi, dalam agama islam, anak harus mendoakan orangtuanya
yang sudah meninggal dengan cara islam. Ada kesan bahwa islam mengajarkan tidak
mungkin orang kafir mendoakan orang islam yang sudah meninggal, sekalipun
orangtua sendiri; sama seperti orang islam tak mungkin mendoakan orang kafir
yang sudah meninggal, sekalipun orangtuanya sendiri.
Mendengar
penjelasannya itu, saya tertawa kecil, membuat dia sedikit bingung. Terkesan
bahwa istri pemuda itu berpikir dengan cara pikir orang islam: hanya orang
islam yang mendoakan arwah orang islam; tak mungkin yang non islam mendoakan
arwah orang islam. Kemudian saya langsung membuka tas saya dan mengambil buku
Tata Perayaan Ekaristi. Saya katakan bahwa dalam perayaan ekaristi setiap hari
para imam bersama umat mendoakan Doa Syukur Agung. Dalam doa tersebut terselip
juga doa kepada arwah semua orang, bukan hanya orang katolik saja.
Dalam
Doa Syukur Agung II tertulis: “Ingatlah (pula) akan saudara-saudari kami, kaum
beriman, yang telah meninggal dengan harapan akan bangkit, dan akan semua orang yang telah berpulang dalam
kerahiman-Mu. Terimalah mereka dalam cahaya wajah-Mu.” Dalam teks ini sama
sekali tidak disebut orang katolik, tapi kaum beriman dan semua orang; dan itu
adalah termasuk orang-orang yang bukan katolik.
Dalam
Doa Syukur Agung III tertulis: “Terimalah dengan rela ke dalam kerajaan-Mu:
saudara-saudari kami dan semua orang
yang berkenan pada-Mu, yang telah beralih dari dunia ini.” Sama seperti Doa
Syukur Agung II, di sini juga tidak ditulis orang katolik. Patokannya bukan
pada agama, tetapi hidup yang berkenan pada Allah. Jadi, siapapun yang hidupnya
berkenan pada Allah akan didoakan supaya mendapat keselamatan. Hidup yang berkenan pada Allah tidak ditentukan dari agama yang dianut, tetapi sepenuhnya hanya Allah yang tahu.
Sangat
menarik dan indah kalau dibaca Doa Syukur Agung IV. “Ingatlah juga
saudara-saudari kami yang telah berpulang dalam damai Kristus dan semua orang yang meninggal; hanya
Engkaulah yang mengenal iman mereka.” Di sini terlihat jelas bahwa orang
katolik menyerahkan arwah orang yang seudah meninggal, apapun agamanya, kepada
kerahiman dan belas kasih Allah, karena hanya Allah saja yang tahu iman mereka.
Saya
juga menjelaskan bahwa bukan hanya orang yang sudah meninggal saja yang
didoakan. Saya katakan kepada pemuda itu, seandainya istrinya yang islam
merayakan ulang tahun atau sedang sakit, tidak salah jika dia membuat intensi
misa dalam perayaan ekaristi. Sama sekali Gereja tidak melarang umat untuk
membuat intensi misa bagi mereka yang bukan katolik.
Mendengar
penjelasan saya, pemuda itu sedikit kaget. Selama ini dia berpikir seperti
yang dipikirkan istrinya. Langsung muncul rasa bangga akan Gereja Katolik.
“Luar biasa ya Gereja Katolik!” demikian ungkapnya. Dan saya menutupnya dengan
ajakan, “Banggalah menjadi orang katolik, karena kekatolikan tidak mengajari
kita untuk bersikap picik dan sombong.”
Jadi, tidak seperti orang islam, orang katolik terpanggil untuk mendoakan orang-orang lain yang bukan
katolik, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karena, seperti kata Yesus bahwa Allah "menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Mat 5: 45).
Koba,
18 Januari 2018
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar