Kita tak bisa menutup mata
bahwa kita hidup dalam masyarakat yang plural. Apalagi di Indonesia ini, umat
katolik termasuk kelompok minoritas. Gereja tidak mengendaki umatnya membangun
menara gading, melainkan ikut berbaur dalam keragaman, menjadi garam dan terang
dunia. Karena itulah, Gereja tak bisa melarang terjadinya relasi khusus antar
dua insan berbeda yang bisa berakhir pada pernikahan.
Gereja Katolik memang
mengharapkan pernikahan ideal itu terjadi antara pasangan seiman, yaitu katolik
- katolik. Namun karena situasi tidak memungkinkan, maka Gereja membuka peluang
bagi pernikahan campur. Ada dua jenis pernikahan campur, yaitu pernikahan beda
Gereja (disparitas cultus) dan
pernikahan beda agama (mixta religio).
Pernikahan beda Gereja
terjadi antara pihak katolik dengan pihak baptis non katolik, atau yang dikenal
dengan sebutan Gereja Protestan. Dalam kan. 1124 disebutkan bahwa pernikahan
antara dua orang yang berbeda Gereja ini termasuk larangan, bukan halangan.
Jadi, jika tetap dilangsungkan tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku, seperti
izin dari otoritas yang berwenang, pernikahan tersebut tetap sah, tapi tidak
halal. Supaya pernikahan campur beda Gereja ini sah dan halal, maka diperlukan
izin dari Ordinaris Wilayah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
kan.1125.
Pernikahan beda agama
terjadi antara pihak katolik dengan pihak non baptis. Agama, selain agama
kristen (katolik dan protestan), bahkan aliran kepercayaan, termasuk kelompok
non baptis. Mereka yang menikah dengan pihak katolik digolongkan dalam
pernikahan campur beda agama. Pernikahan ini, dalam kan. 1086, termasuk
kategori halangan. Orang yang melanggar halangan ini mendapat sanksi Gereja,
dan pernikahannya tidak sah. Namun, jika orang mau pernikahannya sah, maka dia
butuh dispensasi dari Ordinaris Wilayah.
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar