Kanon 1055 §1 menegaskan bahwa tujuan orang
menikah
adalah mewujudkan kesejahteraan suami–isteri. Mereka akan mengarahkan perjuangan
hidup untuk menggapai kesejahteraan bersama. Hal ini mau
menegaskan kembali akan kesetaraan pria dan wanita sebagai suami dan istri
sebagaimana telah diamanatkan Allah dalam kisah penciptaan.
Apa itu sejahtera? Umumnya “sejahtera”
dipahami sebagai situasi aman sentosa, makmur dan selamat (terlepas dari segala
macam gangguan). Aman sentosa berarti rukun dan damai,
jarang terjadi pertengkaran, perselisihan bahkan perkelahian. Makmur berarti
kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) terpenuhi. Selamat berarti tidak
mengalami gangguan dari luar, seperti sakit, kecelakaan, bencana, musibah, dll.
Tampak jelas bahwa kesejahteraan tidak hanya bergantung pada banyaknya harta
benda.
Ada orang kaya, tapi hidupnya kurang sejahtera. Bagaimana
mencapainya?
Pertama-tama harus disadari bahwa semua
hal tersebut mesti diraih dengan cara yang baik dan benar, karena hal ini
secara tak langsung berpengaruh juga pada kesejahteraan hidup. Untuk hidup
makmur, orang harus giat bekerja. Rasul Paulus mengatakan bahwa kebutuhan hidup
harus diperjuangkan, bukan dengan duduk berpangku-tangan (bdk. 2Tes 3: 10). Kitab
Amsal menulis, “Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia, sedangkan hati
orang rajin diberi kelimpahan.” (Ams 13: 4). Hidup rukun dan damai bisa diraih
jika ada kasih. Untuk memahami kasih, silahkan baca 1Kor 13. Keselamatan bisa
didapat dengan pengendalian diri dan membangun sikap berjaga-jaga. Kitab
Kebijaksanaan menulis, “Siapa yang berjaga karena kebijaksanaan segera akan
bebas dari kesusahan.” (Keb 6: 15).
Selain hal-hal di atas, perlu juga
dibangun sikap syukur: mensyukuri apa yang ada dalam hidup. Sikap syukur
membuat orang tidak mudah iri hati, dan tidak dikendalikan oleh keinginan (bdk.
Yak 4: 1 – 2). Hidupnya didasarkan pada kebutuhan, bukan keinginan.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar