Gereja Katolik menetapkan norma dasar: “Semua orang beriman
kristiani mempunyai hak atas kebebasan dari segala paksaan dalam memilih status
kehidupan.” (kan. 219). Norma ini diterjemahkan ke dalam hukum pernikahan:
“Semua orang dapat melangsungkan pernikahan sejauh tidak dilarang hukum.” (kan.
1058). Di sini Gereja mau menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk menikah. Namun,
kenapa dalam Gereja harus ada halangan nikah?
Hak untuk menikah tidak bisa diartikan sekadar sebagai hak
atas perayaan nikah, atau hak untuk mengesahkan sembarang pernikahan, tanpa
memedulikan semangat dan isi pernikahan. Hak untuk menikah mengandaikan dan
menuntut adanya kehendak dan kemampuan pasangan untuk meneguhkannya sesuai
dengan hakikat pernikahan sebagaimana diajarkan Gereja. Tersirat bahwa tujuan
utama halangan nikah adalah untuk melindungi nilai dan hakikat pernikahan
katolik serta menegakkan kesejahteraan suami istri. Dengan kata lain, halangan
nikah diterapkan karena seseorang tidak mampu untuk menikah dengan sah.
Halangan nikah bukan sebagai hukuman, tetapi untuk mengejar
nilai-nilai dan tujuan hakiki dari lembaga pernikahan dan bagi kebaikan
masyarakat. Setiap pelanggaran membuat pernikahan menjadi tidak sah. Ada 2
jenis halangan nikah, yaitu halangan yang bersifat kodrati dan gerejawi.
Halangan kodrati bisa berasal dari Allah. Halangan gerejawi berasal dari
otoritas tertinggi Gereja. Yang termasuk dalam otoritas tertinggi Gereja adalah
Paus dan Kolegialitas para uskup yang dikepalai Paus. Pastor paroki tidak pernah bisa menetapkan halangan nikah atas
inisiatif pribadi.
Halangan nikah yang kodrati tidak dapat dihapus oleh kuasa
mana pun. Oleh karena itu, siapapun tidak bisa meresmikan pernikahan orang yang
terhalang secara kodrati. Sementara halangan yang gerejawi bisa dihapus dengan
dispensasi. Umat yang tetap melangsungkan pernikahan sekalipun ada halangan
akan dikenai sanksi Gereja. Salah satunya, tidak boleh menerima komuni.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar