Minggu,
17 September 2017. Tiba-tiba saja suasana seputaran kantor Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta di Jalan Dipenogoro berubah mencekam. Sekelompok massa datang sambil
berteriak-teriak, “Ganyang PKI!”, membuat kerusuhan. Batu, kayu atau benda
berat apa saja beterbangan dari arah massa menuju gedung LBH Jakarta tersebut.
Kaca-kaca jendela pecah. Beberapa mobil yang parkir di sekitarnya pun ikut
menjadi korban keganasan massa.
Aksi
massa anarkis ini terkait dengan kegiatan yang berlangsung di gedung LBH
Jakarta itu, yaitu pertunjukan musik, pembacaan puisi, komedi tunggal dan
seminar seputar tragedi September 1965. Mungkin bagi pihak penyelenggara acara,
kegiatan tersebut bertujuan untuk “meluruskan” sejarah, namun bagi pihak
pengunjuk rasa acara itu merupakan kebangkitan PKI.
Ada
dua pertarungan kepentingan di sini, yakni kebangkitan PKI dan pelurusan
sejarah. Kebangkitan PKI merupakan bentuk ketakutan akan bangkitnya partai yang
dulu pernah membuat sejarah bangsa berdarah. Karena itu, setiap kegiatan
seputar September 1965, jika tidak mengecam PKI, selalu dicurigai sebagai
bentuk kebangkitan PKI. Karena itu harus dibasmi.
Sementara
pelurusan sejarah merupakan usaha menampilkan kisah seputar September 1965
dalam versi yang lain dari biasa yang disajikan pemerintah selama ini. Dengan
kata lain, ada sejarah lain seputar tragedi 30 S PKI; sejarah yang selama ini
diperkenalkan pemerintah, terlebih lewat film G 30 S PKI, adalah sejarah yang
bengkok. Dapat dikatakan bahwa kepentingan kedua ini lebih pada penyadaran akan
fakta kebenaran.
Bagaimana
kita harus menyikapinya?
Menurut hemat saya, untuk kepentingan pertama, yaitu soal kebangkitan PKI,
kiranya TIDAK perlu disikapi. PKI sudah mati. Di tingkat dunia saja komunisme
sudah tidak populer lagi. Komunisme sudah kalah dengan kapitalisme. Karena itu,
ketakutan akan kebangkitan PKI adalah ketakutan semu. Inilah yang dikenal
dengan phobia. Saya justru lebih takut pada islam radikal
daripada PKI, karena islam radikal itu real, sedangkan PKI sama sekali unreal.
Karena itu, agak berlebihan jika tentara juga sibuk mengurus “hantu” PKI
dengan memutar kembali film G 30 S PKI. Kenapa tentara sibuk mengurus sesuatu
yang unreal, sementara yang real dibiarkan. Bukan rahasia lagi
bahwa di dalam tubuh TNI sendiri ada anggotanya, baik yang aktif maupun yang
sudah pensiun, yang terlibat dalam gerakan islam radikal. Jika PKI dilihat
sebagai gerakan yang mau mengubah dasar negara kita, bukankah islam radikal
juga melakukan hal yang sama. Sudah seharusnya tentara bertindak.
Jika kepentingan pertama tidak perlu disikapi, maka tidak demikian halnya
dengan kepentingan kedua. Kepentingan untuk meluruskan sejarah HARUS disikapi,
karena hal ini berkaitan dengan sejarah bangsa. Sejarah perlu diketahui dan
dipahami supaya apa yang buruk di masa lampau tidak terulang lagi, dan apa yang
baik bisa ditingkatkan. Jadi, kepentingan sejarah ini adalah untuk kebaikan
masa depan bangsa.
Untuk mengetahui dan memahami sejarah bangsa adalah panggilan setiap warga,
karena nasib suatu bangsa terletak pada setiap warga, bukan hanya pada
pimpinannya. Karena itu, setiap usaha untuk mempelajari sejarah harus dihargai,
bukannya dihalangi atau malah dicegah. Setiap orang berhak untuk mencari tahu
dan memahami sejarah. Tindakan menghalang-halangi merupakan bentuk pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.
Terkait dengan kisah 30 S PKI, apakah selama ini sejarah telah bengkok
sehingga perlu diadakan pelurusan? Sebenarnya istilah pelurusan sejarah kurang
tepat. Sejarah mana yang mau diluruskan, sejarah versi pemerintah atau versi
non pemerintah. Dengan demikian ada dua kebenaran terkait kisah 30 S PKI, dan
setiap versi pasti mengklaim sejarahnya yang benar. Saya termasuk generasi yang
telah dipaksakan untuk memahami kebenaran sejarah G 30 S PKI versi pemerintah.
Soal kebenaran kisah G 30 S PKI memang susah ditentukan. Akan tetapi,
persoalan selalu muncul karena ada pemaksaan terhadap satu kebenaran dan
pelarangan pada kebenaran lain. Sebenarnya dua versi ini mempunyai satu
pandangan yang sama, yaitu PKI tidak boleh hidup di bumi Indonesia. Terkait
dengan fakta sejarah ini ada banyak hal yang hendak dipersoalkan. Yang pertama
adalah soal kebiadaban. Sejarah versi pemerintah selalu menampilkan bahwa
orang-orang PKI sangat kejam, sementara versi non pemerintah justru menilai warga
non PKI-lah yang biadab. Sekedar utak-atik data, orang-orang PKI membunuh tak
lebih dari 15 orang, yang kebanyakan tentara. Warga Indonesia yang tidak
termasuk PKI membunuh setidaknya lebih dari 1000 orang yang terindikasi
berafiliasi dengan PKI. Ribuan orang Indonesia, yang namanya tercantum dalam
daftar PKI, tanpa tahu sebabnya, mati dengan cara mengenaskan. Sementara itu,
ratusan orang hingga kini hidup dengan lebel PKI sehingga hidup menderita di
negeri sendiri. Fakta-fakta ini sepertinya terbungkus dalam tekanan berbagai
pihak dengan mengatas-namakan Pancasila dan NKRI.
Hal kedua yang dipersoalkan adalah dalang peristiwa G 30 S PKI. Sejarah
versi pemerintah mengatakan bahwa PKI adalah otak dari tragedi berdarah 30 S
PKI. Malah Bung Karno dituding terlibat dalam tragedi tersebut. Keterlibatan
PKI ini lalu dikaitkan dengan kekejaman yang ditimbulkannya sehingga menjadi
bumbu penyedap bagi warga untuk membenci PKI. Sebenarnya warga Indonesia sudah
membenci PKI meski tanpa dibumbui dengan aneka indoktrinasi. Sementara versi
lain mengatakan bahwa PKI menjadi korban. Otak tragedi G 30 S PKI ada di tubuh
militer sendiri yang turut mengorbankan anggotanya. Sama seperti dalam hal
pertama tadi, dalam hal kedua ini juga topik militer di belakang kisah G 30 S
PKI selalu dibungkus dalam tekanan berbagai pihak dengan mengatas-namakan
Pancasila dan NKRI. Karena itu, tidak heran kalau beberapa tokoh militer,
bahkan Panglima TNI sendiri, mulai mempromosikan kembali film G 30 S PKI.
Muncul pertanyaan, kenapa usaha-usaha untuk memperkenalkan sejarah lain
dari G 30 S PKI selalu dihalangi atau dicegah. Usaha orang untuk menampilkan
kembali film G 30 S PKI tidak dilarang, sementara yang menampilkan kisah lain
dilarang. Jika menonton film G 30 S PKI tidak dilarang, maka seminar tentang
sejarah G 30 S PKI juga jangan dilarang. Pelarangan terhadap usaha menampilkan
sejarah lain dari G 30 S PKI menimbulkan kesan bahwa usaha tersebut seakan mau
membuka kotak Pandora kebenaran. Sepertinya tokoh-tokoh yang
melarang itu punya kepentingan kelompoknya dengan mengatas-namakan Pancasila
dan NKRI. Karena, jika memang aksi mereka murni untuk membela Pancasila dan
NKRI, kenapa ormas islam, seperti HTI, tidak pernah diserang. Ada beberapa
ormas islam yang berusaha menggantikan dasar negara dengan asas islam atau
syariat islam.
Karena itu, di zaman teknologi canggih saat ini, usaha pelarangan terhadap
seminar sejarah G 30 S PKI, seperti yang terjadi di kantor LBH Jakarta,
sangatlah berlebihan dan terlihat sangat bodoh. Kita tidak bisa membendung laju
informasi. Orang bisa membaca sejarah G 30 S PKI dengan berbagai versi kapan
dan dimana saja. Pelarangan justru semakin menegaskan bahwa kepentingan
kelompok-kelompok tertentu tersebut sedang terusik. PKI sudah tidak
membahayakan bangsa dan negara Indonesia.
Koba, 22 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar