Minggu, 01 Oktober 2017

ANTARA KEBANGKITAN PKI & PELURUSAN SEJARAH

Minggu, 17 September 2017. Tiba-tiba saja suasana seputaran kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di Jalan Dipenogoro berubah mencekam. Sekelompok massa datang sambil berteriak-teriak, “Ganyang PKI!”, membuat kerusuhan. Batu, kayu atau benda berat apa saja beterbangan dari arah massa menuju gedung LBH Jakarta tersebut. Kaca-kaca jendela pecah. Beberapa mobil yang parkir di sekitarnya pun ikut menjadi korban keganasan massa.
Aksi massa anarkis ini terkait dengan kegiatan yang berlangsung di gedung LBH Jakarta itu, yaitu pertunjukan musik, pembacaan puisi, komedi tunggal dan seminar seputar tragedi September 1965. Mungkin bagi pihak penyelenggara acara, kegiatan tersebut bertujuan untuk “meluruskan” sejarah, namun bagi pihak pengunjuk rasa acara itu merupakan kebangkitan PKI.
Ada dua pertarungan kepentingan di sini, yakni kebangkitan PKI dan pelurusan sejarah. Kebangkitan PKI merupakan bentuk ketakutan akan bangkitnya partai yang dulu pernah membuat sejarah bangsa berdarah. Karena itu, setiap kegiatan seputar September 1965, jika tidak mengecam PKI, selalu dicurigai sebagai bentuk kebangkitan PKI. Karena itu harus dibasmi.
Sementara pelurusan sejarah merupakan usaha menampilkan kisah seputar September 1965 dalam versi yang lain dari biasa yang disajikan pemerintah selama ini. Dengan kata lain, ada sejarah lain seputar tragedi 30 S PKI; sejarah yang selama ini diperkenalkan pemerintah, terlebih lewat film G 30 S PKI, adalah sejarah yang bengkok. Dapat dikatakan bahwa kepentingan kedua ini lebih pada penyadaran akan fakta kebenaran.
Bagaimana kita harus menyikapinya?
Menurut hemat saya, untuk kepentingan pertama, yaitu soal kebangkitan PKI, kiranya TIDAK perlu disikapi. PKI sudah mati. Di tingkat dunia saja komunisme sudah tidak populer lagi. Komunisme sudah kalah dengan kapitalisme. Karena itu, ketakutan akan kebangkitan PKI adalah ketakutan semu. Inilah yang dikenal dengan phobia. Saya justru lebih takut pada islam radikal daripada PKI, karena islam radikal itu real, sedangkan PKI sama sekali unreal.
Karena itu, agak berlebihan jika tentara juga sibuk mengurus “hantu” PKI dengan memutar kembali film G 30 S PKI. Kenapa tentara sibuk mengurus sesuatu yang unreal, sementara yang real dibiarkan. Bukan rahasia lagi bahwa di dalam tubuh TNI sendiri ada anggotanya, baik yang aktif maupun yang sudah pensiun, yang terlibat dalam gerakan islam radikal. Jika PKI dilihat sebagai gerakan yang mau mengubah dasar negara kita, bukankah islam radikal juga melakukan hal yang sama. Sudah seharusnya tentara bertindak.
Jika kepentingan pertama tidak perlu disikapi, maka tidak demikian halnya dengan kepentingan kedua. Kepentingan untuk meluruskan sejarah HARUS disikapi, karena hal ini berkaitan dengan sejarah bangsa. Sejarah perlu diketahui dan dipahami supaya apa yang buruk di masa lampau tidak terulang lagi, dan apa yang baik bisa ditingkatkan. Jadi, kepentingan sejarah ini adalah untuk kebaikan masa depan bangsa.
Untuk mengetahui dan memahami sejarah bangsa adalah panggilan setiap warga, karena nasib suatu bangsa terletak pada setiap warga, bukan hanya pada pimpinannya. Karena itu, setiap usaha untuk mempelajari sejarah harus dihargai, bukannya dihalangi atau malah dicegah. Setiap orang berhak untuk mencari tahu dan memahami sejarah. Tindakan menghalang-halangi merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Terkait dengan kisah 30 S PKI, apakah selama ini sejarah telah bengkok sehingga perlu diadakan pelurusan? Sebenarnya istilah pelurusan sejarah kurang tepat. Sejarah mana yang mau diluruskan, sejarah versi pemerintah atau versi non pemerintah. Dengan demikian ada dua kebenaran terkait kisah 30 S PKI, dan setiap versi pasti mengklaim sejarahnya yang benar. Saya termasuk generasi yang telah dipaksakan untuk memahami kebenaran sejarah G 30 S PKI versi pemerintah.
Soal kebenaran kisah G 30 S PKI memang susah ditentukan. Akan tetapi, persoalan selalu muncul karena ada pemaksaan terhadap satu kebenaran dan pelarangan pada kebenaran lain. Sebenarnya dua versi ini mempunyai satu pandangan yang sama, yaitu PKI tidak boleh hidup di bumi Indonesia. Terkait dengan fakta sejarah ini ada banyak hal yang hendak dipersoalkan. Yang pertama adalah soal kebiadaban. Sejarah versi pemerintah selalu menampilkan bahwa orang-orang PKI sangat kejam, sementara versi non pemerintah justru menilai warga non PKI-lah yang biadab. Sekedar utak-atik data, orang-orang PKI membunuh tak lebih dari 15 orang, yang kebanyakan tentara. Warga Indonesia yang tidak termasuk PKI membunuh setidaknya lebih dari 1000 orang yang terindikasi berafiliasi dengan PKI. Ribuan orang Indonesia, yang namanya tercantum dalam daftar PKI, tanpa tahu sebabnya, mati dengan cara mengenaskan. Sementara itu, ratusan orang hingga kini hidup dengan lebel PKI sehingga hidup menderita di negeri sendiri. Fakta-fakta ini sepertinya terbungkus dalam tekanan berbagai pihak dengan mengatas-namakan Pancasila dan NKRI.
Hal kedua yang dipersoalkan adalah dalang peristiwa G 30 S PKI. Sejarah versi pemerintah mengatakan bahwa PKI adalah otak dari tragedi berdarah 30 S PKI. Malah Bung Karno dituding terlibat dalam tragedi tersebut. Keterlibatan PKI ini lalu dikaitkan dengan kekejaman yang ditimbulkannya sehingga menjadi bumbu penyedap bagi warga untuk membenci PKI. Sebenarnya warga Indonesia sudah membenci PKI meski tanpa dibumbui dengan aneka indoktrinasi. Sementara versi lain mengatakan bahwa PKI menjadi korban. Otak tragedi G 30 S PKI ada di tubuh militer sendiri yang turut mengorbankan anggotanya. Sama seperti dalam hal pertama tadi, dalam hal kedua ini juga topik militer di belakang kisah G 30 S PKI selalu dibungkus dalam tekanan berbagai pihak dengan mengatas-namakan Pancasila dan NKRI. Karena itu, tidak heran kalau beberapa tokoh militer, bahkan Panglima TNI sendiri, mulai mempromosikan kembali film G 30 S PKI.
Muncul pertanyaan, kenapa usaha-usaha untuk memperkenalkan sejarah lain dari G 30 S PKI selalu dihalangi atau dicegah. Usaha orang untuk menampilkan kembali film G 30 S PKI tidak dilarang, sementara yang menampilkan kisah lain dilarang. Jika menonton film G 30 S PKI tidak dilarang, maka seminar tentang sejarah G 30 S PKI juga jangan dilarang. Pelarangan terhadap usaha menampilkan sejarah lain dari G 30 S PKI menimbulkan kesan bahwa usaha tersebut seakan mau membuka kotak Pandora kebenaran. Sepertinya tokoh-tokoh yang melarang itu punya kepentingan kelompoknya dengan mengatas-namakan Pancasila dan NKRI. Karena, jika memang aksi mereka murni untuk membela Pancasila dan NKRI, kenapa ormas islam, seperti HTI, tidak pernah diserang. Ada beberapa ormas islam yang berusaha menggantikan dasar negara dengan asas islam atau syariat islam.
Karena itu, di zaman teknologi canggih saat ini, usaha pelarangan terhadap seminar sejarah G 30 S PKI, seperti yang terjadi di kantor LBH Jakarta, sangatlah berlebihan dan terlihat sangat bodoh. Kita tidak bisa membendung laju informasi. Orang bisa membaca sejarah G 30 S PKI dengan berbagai versi kapan dan dimana saja. Pelarangan justru semakin menegaskan bahwa kepentingan kelompok-kelompok tertentu tersebut sedang terusik. PKI sudah tidak membahayakan bangsa dan negara Indonesia.

Koba, 22 September 2017
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar