Butuh waktu 28 tahun bagi sutradara kawakan Martin Scorsese untuk mengarap
kembali film Silence. Salah satu alasannya adalah tema film ini,
yaitu menyangkut soal iman. Film yang diangkat dari novel karya penulis Jepang,
Shusaku Endo, sebenarnya pernah diangkat ke layar lebar oleh Masahiro Shinoda
pada tahun 1971.
Silence berkisah tentang dua
orang misionaris katolik (dari Serikat Yesus), Sebastiao Rodrigues dan
Francisco Garupe, yang berusaha mencari senior mereka, Cristovao Ferreira, yang
sedang menjalani misi di negeri Sakura. Oleh petinggi kongregasi, Ferreira
sudah dianggap “meninggal”. Hal ini disebabkan pada waktu itu (sekitar abad
XVII) telah terjadi penganiayaan terhadap orang-orang yang mengimani Yesus
Kristus. Para misionaris luar pun dilarang masuk. Masa ini dikenal dengan masa Kakure Kirishitan (Hidden Christian).
Ada dua makna dari kata “meninggal” yang dikenakan kepada Ferreira, yaitu
mati secara biologis dan mati secara rohani (murtad). Baik Rodrigues maupun
Garupe tidak sependapat dengan keputusan petinggi kongregasi. Alasannya, hingga
kini tidak ada kabar tentang Ferreira dan jasadnya tidak ditemukan. Selain itu,
keduanya tidak yakin apabila Ferreira dikatakan murtad. Ferreira adalah mentor
bagi kedua Rodrigues dan Garupe. Keduanya sangat mengidolakannya. Perkenalan
dengan Ferreira membuat mereka yakin bahwa Ferreira masih hidup dan kini
bersembunyi.
Dengan keyakinan itu, keduanya menghadap pimpinan untuk diizinkan pergi ke
Jepang. Selain tetap menjalani misi, mereka juga akan berusaha mencari
keberadaan Ferreira. Seandainya pun Ferreira benar-benar sudah meninggal,
mereka akan membawa jasadnya. Kepada keduanya sudah diingatkan bahwa situasi di
Jepang saat itu sangatlah menakutkan. Kongregasi sudah menutup karya misi di
sana. Namun kegigihan keduanya membuat mereka tetap kokoh pada pilihannya.
Mereka siap menerima segala resiko.
Karena ketegaran hati keduanya, pimpinan akhirnya merestui niat mereka.
Namun pimpinan langsung menegaskan bahwa sebenarnya kedua misionaris itu pergi
kepada kematiannya sendiri.
Di Jepang mereka bertemu dengan sekelompok hidden Christian. Kehadiran mereka menimbulkan sukacita besar di hati
umat. Kerinduan akan sabda Tuhan dan ekaristi terobati. Beberapa kali mereka
merayakan ekaristi. Dengan berbagai cara, karena keterbatasan bahasa, Rodrigues
dan Garupe senantiasa meneguhkan mereka. Akan tetapi, kehadiran mereka
diketahui oleh kelompok Inoue (Issei Ogata), sehingga kelompok ini mendatangi
desa tempat misionaris itu berada. Namun, keduanya sudah terlebih dahulu
disembunyikan.
Dari balik persembunyian, Rodrigues dan Garupe menyaksikan para Inoue
menyiksa para warga untuk menyerahkan para misionaris dan juga menyangkal iman,
dengan cara menginjak Alkitab dan meludahi patung Yesus yang tersalib. Ada niat
untuk menyerahkan diri agar warga tidak disiksa, namun warga melarang keduanya
menyerahkan diri. Akibatnya, empat warga desa itu akhirnya menjadi sandera dan
disiksa. Dalam hening, warga bertahan dengan keyakinan imannya.
Tak tahan melihat penderitaan umatnya, Rodrigues dan Garupe memutuskan
untuk pergi dari desa dan keduanya berpisah jalan. Dalam perjalanannya,
Rodrigues menyaksikan siksaan demi siksaan. Dan akhirnya pun Rodrigues
tertangkap. Dalam tahan kembali Rodrigues melihat penyiksaan yang dialami umat
kristen yang tidak mau menyangkal imannya. Melihat penderitaan umat yang tidak
ada henti itu membuat Rodrigues frustasi dan bertanya-tanya kenapa Tuhan tetap
diam sementara umat-Nya menderita. “Menunggu keheningan-Mu sungguh menyakitkan.
Ataukah, aku berdoa kepada-Mu untuk sebuah kesia-siaan? Karena Engkau tidak ada
di sana?” batin Rodrigues. Ia memohon tanda nyata dari iman.
Menjadi Kristen Berarti Siap Menderita
Tidaklah mudah untuk menjadi murid Kristus. Yesus sendiri sudah pernah
mengatakannya, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku.” (Luk 9: 23). Dan di
bagian lain Yesus bersabda, “Kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan
diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan
kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku.” (Luk 21: 12).
Sabda Yesus yang terakhir di atas seakan membenarkan apa yang terjadi dalam
film Silence ini. Umat mengalami penderitaan yang amat
sangat kejam. Semua itu dialami karena iman mereka kepada Kristus. Kepada
mereka selalu dihadapkan pada dua pilihan: menyangkal iman berarti hidup
bahagia atau setia pada iman yang berarti menderita dan akhirnya mati.
Silence menampilkan betapa sulitnya beriman pada
Kristus. Iman itu harus diuji dalam penderitaan. Rodrigues dan Garupe sendiri,
sebagai sosok yang beriman, mengalami hal itu. Mereka akhirnya mempertanyakan
iman. Anggota Inoue tak kurang menambah keraguan mereka. “Kamu melekat pada
ilusi dan menyebutnya iman.” Namun di sisi lain, umat yang hidup dalam
kesulitan dan kemiskinan justru pasrah berpegang pada iman dengan harapan akan
sorga yang indah.
Akan tetapi, keraguan iman yang dialami Rodrigues bukan lantaran
penderitaan yang dia alami. Film Silence sama sekali tidak menampilkan penyiksaan berat yang
dialami Rodrigues. Penderitaan yang dialami Rodrigues berasal dari penderitaan
yang dialami oleh umatnya, bahkan Garupe sendiri. Dia dipaksa untuk menyaksikan
kematian satu per satu umat Allah, hanya karena setia pada iman, sementara
mereka yang menyangkal iman memperoleh kehidupan.
Dan ternyata, situasi sulit yang dialami Rodrigues ini juga yang dialami
Ferreira. Dirinya terpaksa murtad karena tidak tahan melihat umatnya disiksa.
Sikap murtad diambil demi terhentinya penyiksaan. Pergulatan ini juga dialami
oleh Rodrigues. Ada suara hati yang mengatakan agar dia menyangkal imannya demi
kehidupan yang akan diterimanya. Dengan hidup, maka ia dapat meneruskan
pewartaan Injil.
Satu hal yang dapat dipetik dari film ini adalah it’s easier said than done. Kita lebih mudah berkata-kata daripada
melaksanakannya. Hal ini terlihat dalam diri Rodrigues dan Garupe. Di hadapan
pemimpinnya mereka dengan gagah berani menyatakan siap menanggung segala resiko
untuk pergi ke Jepang, namun setelah mengalami sendiri situasinya menjadi
sedikit berubah. Menjadi murid Kristus tidak cukup dengan kata-kata saja,
melainkan harus diungkapkan dengan tindakan nyata.
Silence dan Islam
Seperti yang sudah disampaikan di atas, film Silence bercerita tentang kehidupan umat kristen di Jepang
pada masa kekuasaan Kesogunan Tokugawa. Film ini bertemakan agama kristen. Umat
kristen di Jepang mengalami penyiksaan karena setia pada imannya. Mereka
disuruh dan dipaksa untuk menyangkal imannya dengan cara menginjak Alkitab
bergambarkan Yesus atau meludahi Yesus yang tersalib.
Hingga kini tidak ada reaksi protes dari umat kristen, baik protestan
maupun katolik, atas film ini. Malah ada orang kristen yang bangga setelah
menonton film ini. Mereka mengatakan bahwa perkataan Yesus masih terbukti
kebenarannya. Ada juga yang merasa malu, karena jika itu terjadi pada dirinya,
belum tentu juga dia sanggup menahannya. Tidak ada umat kristen yang melakukan
aksi protes, baik terhadap sutradara film ini maupun pihak Jepang. Tidak ada
aksi pemboikotan atau pembakaran film silence ini.
Akan sulit membayangkan apabila film ini berkisah tentang umat islam.
Membayangkan bahwa umat islam dipaksa menyangkal imannya dengan menginjak
Alquran atau meludahi Muhammad. Sudah bisa dipastikan, dunia akan heboh. Aksi
protes akan terjadi dimana-mana, menuntut sutradara dihukum, demo ke kedutaan
Jepang dan memboikot film tersebut. Ini bisa terjadi karena jika memang dalam
film itu terlihat adegan menginjak Alquran atau meludahi Muhammad (sekalipun
hingga kini tak ada gambar rupa Muhammad), tentulah ini dianggap sebagai
pelecehan atau penodaan. Dan terhadap penghinaan terhadap agama, umat islam
wajib untuk membelanya.
Membela agama, dalam hal ini agama islam, merupakan satu panggilan bagi
umat islam, karena hal ini sudah diperintahkan oleh Allah dalam Alquran.
Perintah Allah ini ada dalam surah Muhammad ayat 7, surah al-Hajj ayat 40 dan
surah al-Hadid ayat 25. Karena merupakan kewajiban bagi umat islam untuk
membela agamanya, maka Buya Hamka pernah berkata, “Jika diam saat agamamu
dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.”
Jadi, untung film silence ini berkisah tentang
kehidupan umat kristen, yang agamanya terkenal dengan ajaran cinta kasih. Dan
salah satu wujud cinta kasih adalah dengan mengampuni dan mendoakan orang yang
telah menyakitkannya. Film Silence sendiri sama sekali
tidak menyakitkan, sekalipun terlihat jelas ada bentuk penistaan terhadap
agama. Namun, umat kristen bukan manusia barbar, yang hanya mengandalkan emosi sesaat
yang sesat.
Koba,
31 Maret 2017
by: adrian
sumber:
“Obsesi
28 Tahun Scorsese”, KOMPAS, 19 Maret
2017, hlm 28
Baca juga tulisan
lain:
saya org xten, sya bangga jdi org xten meski org islam sebut sya kafir sya bangga jadi org xten
BalasHapus