Mereka duduk sambil mendaraskan rosario dalam bahasa
Melanau. Di luar, dengungan nyamun seiring dengan senja yang mulai meredup. Lantunan
doa berakhir. Tiba-tiba suara meledak saat mereka menyanyikan lagu, “Ajarilah,
oh ajarilah kami, ya Bunda Suci, bagaimana menaklukkan setiap dosa...” Mereka
menyanyi dengan penuh semangat.
Kala itu adalah Oktober – Bulan Rosario Suci. Umat katolik
taat itu tinggal di sepanjang Sungai Oya di Serawak, Kalimantan. Setiap malam
secara bergilir mereka berkumpul di rumah seorang umat untuk berdoa.
Malaysia berubah. Fundamentalisme Islam dan fermentasi perselisihan
di daratan Malaysia merambat ke dalam jantung Borneo. Orang-orang Malanau
Serawak sebagian besar adalah muslim. Namun di Dalat kebanyakan umat katolik.
Ada keinginan untuk melindungi nilai-nilai identitas dan keluarga
mereka. Mereka telah menjadi katolik selama beberapa generasi, tetapi mereka
berjuang mewariskan ini kepada anak-anak mereka. Kekhawatiran utama mereka
adalah anak-anak akan meninggalkan imannya dan masuk islam, menikah dan
mengadopsi gaya hidup yang berbeda.
Tidak seperti Indonesia, Malaysia melarang pernikahan di
antara muslim dan non-muslim, kecuali jika yang non-muslim masuk islam. Jadi,
jika ada warga non muslim mau menikah dengan warga muslim, maka ia harus menjadi
islam dahulu.
Rose Sute, seorang nenek yang terlibat dalam pelayanan di
Gereja St. Bernard di Dalat, berbicara tentang krisis iman di kalangan orang
muda. “Tragedi ini telah terjadi. Orangtua mungkin menentang anak-anak mereka
dikonversi demi pernikahan, orang muda mungkin lemah dan frustasi ...., ada
banyak kasus."
Komunitas katolik Melanau di Dalat sekitar 6.000 jiwa. Umat
kristen dan islam tinggal di kota yang sama, meskipun di daerah terpisah. Namun,
ada integrasi di antara kedua komunitas tersebut. Orang-orang muda islam
menghadiri pusat pelatihan ketrampilan komputer yang dikelola paroki.
Pauline dan suaminya merasa khawatir dengan tiga dari
delapan anak mereka. Ketiganya menyelesaikan sekolah dan berada pada usia di
mana mereka akan mudah terpengaruh oleh perubahan yang terjadi di Malaysia. “Kini
kami semua memiliki teman muslim. Kami saling mengunjungi. Kami berkabung
bersama-sama sebagai satu keluarga ketika ada kematian dan secara bersama
merayakan hari raya keagamaan,” ujar Pauline.
Bagi Rose, kehidupan di desa itu berubah. “Menghormati cara
kami sedang meredup.orang muda menentang orangtua. Mereka terpengaruh oleh apa yang
mereka lihat dan dengar ketika mereka meninggalkan tanah kelahirannya untuk
belajar atau bekerja di semenanjung,” katanya. “Mereka kehilangankontak dengan
kami di Serawak dan ketika mereka kembali, mereka membawa nilai-nilai yang
berbeda ... mereka agresif dan mudah marah. Ini bukan cara kami,” tambahnya.
Pekerjaan langka dan orang muda bermigrasi ke kota-kota
mencari pekerjaan. Sejumlah rumah berdiri kosong. “Para orangtua meninggal,
anak-anak mereka pergi dan tidak pernah kembali. Bahkan anak-anak saya juga
telah pergi,” kata Robert Napi, seorang pensiunan katekis. Kebijakan pemeerintah
federal baru-baru ini seperti pelarangan penggunaan kata “Allah” oleh umat
kristiani telah mengguncang komunitas kristiani.
“Guru-guru dari semenanjung membawa nilai-nilai mereka dan
berusaha mengkonversi kami. Mereka berupaya mempengaruhi anak-anak kami dan
bahkan mengkonversi mereka,” kata seorang ibu. “Mereka telah berhenti sekolah
sekarang, tapi ada cara lain dimana mereka berupaya mengambil identitas
kami.misalnya, dalam satu sekolah, siswa harus mengenakan pakaian tradisional
Melayu seminggu sekali, dan semua orang tahu pakaian itu identik dengan islam,”
tambahnya.
Tapi, meskipun masalah mereka, warga desa dapat
mengandalkan iman mereka sebagai inspirasi. Lagu Maria dinyanyikan mereka
dengan lirik, “Bagaimana mencintai dan saling membantu // Bagaimana memberi
hidup untuk menang.” Mereka berusaha menjaga toleransi dalam menghadapi
berbagai kesulitan dan tantangan.
sumber: UCAN Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar