Menikah
adalah hak setiap orang, yang harus dihormati siapa pun. Akan tetapi,
pernikahan dini (menikah diusia muda, di bawah 18 tahun) merupakan bentuk
pelanggaran atas hak anak, khususnya anak perempuan. Anak
perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus
pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.
Pada Januari hingga April
2011, Plan Indonesia (PI), organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan
dan pemberdayaan anak, mengadakan penelitian tentang pernikahan dini. Penelitian
ini dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia, seperti Kabupaten
Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali);
Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT). Dari
penelitian itu PI mencatat bahwa 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah
menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun. Ini berarti
sekitar 10 juta anak perempuan terpaksa atau dipaksa menikah dini setiap
tahunnya.
Memang hasil ini tidak
mewakili seluruh populasi di Indonesia, namun temuan ini bisa menjadi gambaran
kasus pernikahan dini secara umum di tanah air. Selain itu data ini tak jauh
berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000
perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak.
Ada beberapa faktor penyebab
kenapa orang memilih menikah di usia muda. Pertama,
terbuai oleh indahnya masa pacaran. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam arti
tertentu pacaran merupakan tahap awal menuju jenjang pernikahan. Banyak anak-anak
remaja, ketika berpacaran merasakan romantisme hidup, senang dan bahagia, lantas
berpikir bahwa romantisme itu akan mereka alami saat menikah. Padahal, hidup
berumahtangga tidaklah seperti hidup pacaran. Romantisme pacaran tak selamanya
bertahan.
Kedua, dari hasil penelitiannya, PI menyebut
faktor yang mempengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan
tidak dikehendaki. Hal ini terkait dengan masa pacaran. Tak jarang pada masa
pacaran, anak-anak melakukan hubungan suami-istri, yang berakibat pada
kehamilan. Dan ketika hamil, maka menikah adalah solusinya. Inilah yang dikenal
dengan gelar MBA, Marriage by accident.
Ketiga, faktor tradisi atau budaya. Ada beberapa
daerah yang mempunyai tradisi menikahkan anaknya di usia muda. Faktor ini
ditunjang juga oleh rendahnya tingkat pendidikan orangtua. Banyak orangtua beranggapan
bahwa menikahkan anak perempuan secepatnya bisa membantu meringankan beban
hidup mereka. Padahal pernikahan dini justru menambah masalah dan memperburuk
masa depan anak, khususnya perempuan. Karena pernikahan dini membantasi ruang
gerak anak dan hal lain yang seharusnya mereka lakukan.
Keempat, masalah kemiskinan. Kebanyakan
pernikahan dini terjadi di daerah-daerah miskin, baik secara ekonomi maupun
informasi. Tak sedikit keluarga-keluarga yang cepat menikahkan anaknya berpikir
bahwa pernikahan dini merupakan solusi mengatasi beban ekonomi keluarga. Orangtua
berpikir bahwa beban hidup anak perempuannya bukan lagi menjadi tanggungannya,
melainkan keluarga baru. Tidak disadari bahwa tindakan ini justru melahirkan
keluarga miskin yang baru. Ini ibarat lingkaran setan kemiskinan. Hal ini
terjadi karena kurangnya informasi tentang perkembangan dunia sekitar.
Kelima, lemahnya penegakan hukum. Sebenarnya
hukum memberi perlindungan kepada anak. Hukum melarang pernikahan anak usia muda.
Akan tetapi, seperti yang sudah disebut di atas, rendahnya pendidikan orangtua
dan faktor lainnya, membuat hukum tak berkutik. Biasanya hukum “kalah” ketika
menghadapi argumen orangtua, “Yang menikah adalah anak saya, kenapa kalian
sibuk?” dan sejumlah argumen lain.
Kelima faktor di atas inilah
yang membuat banyak orang melakukan pernikahan dini. Dalam pernikahan dini seakan
kaum perempuan tidak mempunyai pilihan hidup selain terpaksa atau dipaksa. Umumnya,
baik orangtua maupun anak, sama sekali tidak melihat dampak buruk dari
pernikahan dini.
Setidaknya PI menemukan ada
3 akibat buruk yang akan dialami oleh pasangan nikah muda. Ketiga akibat buruk
itu adalah sebagai berikut.
1. Rentan KDRT. Hasil temuan PI, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah
dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi
tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi
rendah. Hal ini terjadi karena yang menikah belumlah matang dalam pola pikir dan
emosinya pun masih labil.
2. Resiko Meninggal. Selain tingginya angka KDRT, pernikahan dini berdampak pada
kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun
memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau
melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu,
anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih
besar
3. Terputusnya akses pendidikan. Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak
tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin
dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin
Demikianlah beberapa dampak
buruk dari pernikahan usia muda. Tentulah setiap orang pasti akan berusaha
semaksimal mungkin untuk menghindari dari hal-hal buruk. Semua orang suka akan
hal-hal yang baik. Karena itu, sudah sepantasnya pernikahan dini ini dihindari.
Ini menjadi tugas semua elemen masyarakat, mulai dari keluarga (terutama
orangtua), Gereja hingga pemerintah.
Hukum Gereja memang
membolehkan anak usia muda menikah. Kanon 1083 menetapkan usia nikah untuk pria
16 tahun, dan perempuan 14 tahun. Penetapan usia muda ini semata-mata dari
sudut biologis saja, karena pada kanon 1072 para pastor diminta untuk
menjauhkan kaum muda dari pernikahan dini. Dengan kata lain, Gereja menghendaki
agar kaum remaja dan kaum muda katolik tidak terjebak dalam pernikahan usia
muda.
Untuk itu, peran
pastor-pastor paroki untuk membuat kebijakan yang dapat membantu umatnya
menangani masalah ini. lewat kotbah dan katekese, para imam harus tanpa henti
mensosialisasikan tentang bahaya pernikahan dini, harapan Gereja akan sebuah
keluarga, tujuan pernikahan, dan lain sebagainya. Sosialisasi ini bukan hanya
kepada kaum remaja dan kaum mudanya saja, melainkan juga kepada para orangtua. Banyak
pernikahan dini terjadi karena paksaan orangtua.
Pangkalpinang, 1
Oktober 2016
by: adrian, dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar