Malam
mulai pekat. Sehabis mengajar di sejumlah perguruan tinggi di kota Makasar,
Enoch Kumendong (58) segera pulang. Sesampainya di teras rumah, sang istri,
Jacqueline Panggalo (53) menyambutnya dengan senyuman ramah. Begitu pula dengan
anak-anaknya yang sedang menonton televisi langsung menyapanya. Kepenatan Enoch
pun seperti pudar, songsongan istri dan anak-anak memberikan makna mendalam
baginya.
Hampir
40 tahun Enoch mengabdikan diri pada dunia pendidikan. Profesi itu memang tak
pernah memberikan gelimang harta. Namun ada kebahagiaan dan kebanggaan
tersendiri di batinnya. Dari dunia tersebut Enoch dan Jacqueline bisa
memberikan teladan kesederhanaan kepada anak-anak. “Bagi saya kebendaan itu tak
selalu penting, saya bahagia dengan keadaan yang serba sederhana,” ujar Enoch.
Sesama Guru
Awalnya
Enoch bercita-cita menjadi imam praja Keuskupan Agung Makasar. Setelah menamatkan
seminari menengahnya di Petrus Claver, ia melanjutkan ke seminari tinggi di
Yogyakarta. Namun jalan hidupnya berkata lain. “Pembimbing rohani mengatakan
saya tak cocok menjadi imam,” kenangnya.
Sekeluarnya
dari seminari, Uskup Agung Makasar, Mgr. Schneiders CICM, menugaskannya menjadi
guru di Tana Toraja. Enoch langsung dipercaya menjadi kepala sekolah di sebuah
SPG dan SMU. Saat itu ia terpikat dengan salah seorang muridnya, Jacqueline,
yang kemudian ia nikahi pada tahun 1969. Sang istri kemudian menjadi guru di SD
St. Yosef Makasar, sementara Enoch terus berkarya.
Selang
beberapa tahun Enoch melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Atma
Jaya Makasar. Baru sampai tingkat sarjana muda, universitas itu tutup. Enoch melanjutkan
ke Universitas Hasanudin. Setelah lulus, Enoch menjadi dosen di beberapa
perguruan tinggi. Dengan bertambahnya jumlah anak (5 orang), Enoch harus kian
giat mengajar. Ia mengajar juga di Seminari Petrus Claver dan SMU Rajawali. Setiap
hari Enoch harus mempersiapkan beberapa mata pelajaran yang berbeda.
Enoch
dan Jacqueline menganggap bahwa profesi guru merupakan panggilan. Karena itu,
meski penghasilan pas-pasan, mereka tetap mencintai pekerjaan. “Kami harus bisa
hemat,” tukas Enoch. Pernah suatu waktu Enoch ingin beralih profesi dan pindah
ke Jakarta. Tapi keinginan itu urung, karena ia merasa tak punya bakat
berbisnis.
Enoch
bersyukur, istri dan anak-anaknya bisa menerima keadaan ini. bahkan mereka
mendukungnya terus berkarya di bidang pendidikan. Tahun 1983 Enoch mendapat
kesempatan emas untuk studi doktor ke Perancis di bidang Manajemen Pemasaran. Sudah
berada beberapa bulan di Perancis, Enoch membatalkan rencananya karena Jacqueline
sakit. Enoch memutuskan kembali ke Makasar karena Jacqueline membutuhkan
kehadirannya. Semua ini demi kelangsungan keluarganya.
Teladan Hidup
Enoch
bersyukur, dalam keterbatasan dana, keluarganya bisa memiliki rumah sendiri
selang 4 tahun setelah menikah. Rumah itu serba sederhana. Enoch pun bahagia
melihat istrinya tak pernah menuntut. “Tak menjadi masalah kemampuan ekonomi
kami hanya segitu,” ujarnya.
Sebagai
guru, Enoch dan Jacqueline berusaha menanamkan nilai-nilai kejujuran dan
disiplin pada kelima anak mereka. Semua itu mereka tunjukkan melalui teladan
hidup; tak cuma nasihat dan wejangan.
Di antara
kesibukannya mengajar, Enoch selalu meluangkan waktu untuk menggereja. Dia pernah
menjadi Ketua Rukun di lingkungannya. Tahun 1995 – 1998 menjadi Ketua Dewan
Paroki St. Yakobus Mariso. Kini dia aktif sebagai prodiakon dan dirigen koor.
Selama
10 tahun ini, Enoch juga aktif mengikuti perkumpulan doa rosario hidup. Ada berkat
tersendiri yang ia rasakan dari kegiatan-kegiatan rohaninya itu. Bila ada
masalah, selalu saja ia memperoleh jalan keluar. “Berkat yang paling saya
rasakan: relasi dengan istri selalu terjaga.”
Di rumah,
Enoch dan istrinya berusaha menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Karena
mereka aktif menggereja, anak-anak terbiasa ikut serta. Mereka juga berusaha
berdoa rosario bersama, utamanya pada bulan Maria. “Kami tak pernah mengalami
mukjizat, tetapi berkat selalu ada,” katanya.
Dalam
berelasi dengan tetangga, yang kebanyakan muslim, Enoch berusaha rendah hati. Bagi
Enoch, toleransi beragama bukan sesuatu yang asing baginya, karena dalam keluarga
asalnya saudara-saudaranya ada yang protestan dan juga islam.
Tak Menyesal
Bagaimanapun
Enoch tak pernah menyesal karena tak jadi imam. Ia bisa menghayati panggilan
hidupnya sebagai suami dan ayah. “Tuhan tetap memberi kesempatan kepada saya
menjadi garam dalam menjalani hidup ini.”
Di masa
senja, Enoch sama sekali belum memikirkan pensiun. Ia bertekad akan terus
mengajar sampai fisiknya sungguh-sungguh tak mampu lagi. Bila dilihat dari kacamata
kebendaan, tak banyak yang bisa dikumpulkan Enoch. Ia masihlah sosok yang
bersahaja. Ia belum mengendarai mobil ke tempatnya mengajar. Ia masih harus
bergelayut di kendaraan umum.
Dengan
penampilan apa adanya, toh Enoch bisa
memperkaya ilmu anak-anak didiknya. Kesederhanaan memang kuncinya dalam berkarya,
pun dalam berkeluarga.
diringkas dari Maria Etty, Perjuangan Hidup Berkeluarga (Jakarta:
grasindo, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar