Di penghujung
bulan Juli lalu Kota Tanjung Balai Asahan membara. Sekitar 6 rumah ibadah
(vihara dan klenteng) dibakar oleh massa islam yang marah karena merasa
agamanya dilecehkan. Peristiwa ini berakar pada TOA. Seperti yang sudah
diketahui publik, menjelang shalat isya, seorang perempuan Tionghoa bernama
Meliana (41 tahun) meminta agar pengurus masjid Al Maksum yang ada di
lingkungannya mengecilkan volume TOA tersebut.
Sesudah
shalat isya, sejumlah jemaah dan pengurus masjid mendatangi rumah Meliana. Ia
dan suaminya kemudian dibawa ke kantor lurah ( bayangkan, 2 orang minoritas, China pula, berada di tengah gerombolan
jemaah islam). Suasana memanas sehingga kedua orang itu akhirnya “diamankan” ke
Polsek Tanjung Balai Selatan. Tak lama sesudah itu terjadilah aksi anarki.
Semuanya
berawal dari TOA. Ada apa dengan TOA? Tentulah semua orang sudah tahu
jawabannya. Suara TOA sangat membisingkan. Ibu Meliana merasa terganggu dengan
suara-suara yang keluar dari TOA itu. Mungkin bukan cuma ibu Meliana saja. Ada orang
lain juga yang merasa terganggu, tetapi baru Ibu Meliana yang berani meminta
pengurus mengecilkan volume TOA. Mungkin, setelah peristiwa ini umat agama lain tidak mau ambil resiko, karena terbukti niat baik melahirkan malapetaka. Dan tanpa disadari, umat islam telah mencoreng agamanya sendiri. Saya tak tahu apakah umat islam menyadari semua hal
ini atau tidak.
Saya
melihat keberadaan TOA ini tak jauh bedanya dengan teroris. Malah, dalam satu
titik, keduanya bisa disamakan. Sebagaimana teroris menganggu ketenangan,
demikian pula TOA. Ia sungguh menggangu orang yang membutuhkan
ketenangan. Suara yang keluar dari TOA sungguh sangat membisingkan.
Masalah
TOA sebenarnya bukan baru ada saat rusuh melanda Tanjung Balai Asahan. Dan bukan
juga berarti setelah kerusuhan itu reda, masalah itu pun hilang. Pada bulan
Juni 2015 lalu Wakli Presiden Jusuf Kalla pernah melarang masjid memutar kaset
mengaji karena menyebabkan “polusi suara”. Jelas, yang dimaksud polusi itu
adalah kebisingan yang dilahirkan dari TOA. Hingga kini pun masalah TOA itu
masih ada.
Saya
sebutkan beberapa kasus saja. Di daerah Batu Aji, Batam, ada umat nasrani
mengeluh dengan suara TOA, yang kesannya sengaja diarahkan ke gereja. Akibatnya,
saat ibadah umat sama sekali tidak bisa atau kesulitan mendengar suara imamnya karena kalah
bersaing dengan suara TOA dari masjid yang tak jauh di depannya. Pengurus gereja
pernah menyampaikan keluhannya, namun aksi mereka seperti setitik hujan di
padang pasir.
Tak jauh
dari Batu Aji, ke arah Sagulung, sekelompok masyarakat juga mengeluh dengan
bunyi TOA dari mushola di tempat mereka. Warga, yang kebanyakan umat kristiani,
sebenarnya tidak mempermasalahkan suara adzan, tapi tidak dengan suara yang
lain. Suara lain ini misalnya seperti yang dipersoalkan oleh Bapak Jusuf Kalla.
Pernah seorang bapak meminta supaya volume suara diperkecil, namun reaksi umat
islam tak jauh beda dengan yang di Tanjung Balai Asahan. Nyaris terjadi
konflik.
Saya
pribadi pun sering mengalami gangguan dari TOA ini. Di banyak tempat sering
ketenangan istirahat pagi saya terganggu dengan suara TOA. Biasanya pada pukul
04.00 sudah mulai terdengar suara lagu irama Arab atau pembacaan ayat-ayat al
quran. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka pernah mendatangi masjid itu, dan
ternyata sepi. Jadi, pengurus masjid datang, menghidupkan tape recorder lalu “hilang” entah kemana. Pertanyaan, apakah mereka
sadar kalau sekitar masjid itu tidak semuanya umat islam, yang tidak
membutuhkan suara TOA itu? Ataukah ini mental mayoritas sehingga bisa berbuat seenaknya saja?
Pernah
juga saya mendengar kelompok ibu-ibu sedang pengajian. Semua ada di dalam
masjid. Akan tetapi terasa aneh, kenapa segala pembicaraan mereka harus
disiarkan ke luar masjid melalui TOA? Malah ada anak-anak bermain dan rebutan mic dan ngobrol, yang semuanya itu
tersiar ke luar masjid. Ini pernah saya alami, dan ini menggangu ketenangan
istirahat siang saya.
Ini
belum lagi soal kotbah Jumat yang tersiarkan juga lewat TOA. Bukan hanya
sekedar menimbulkan kebisingan, tetapi juga terkadang isi kotbahnya membuat
telinga umat agama lain menjadi merah. Mungkin karena mental minoritas atau
tahu sifat galak mayoritas membuat semua itu dipendam saja. Atau karena
mengikuti ajaran agamanya, mendoakan orang yang membenci atau memusuhinya.
Apakah
saya melarang suara adzan? Sama sekali tidak. Namun, jika memang tidak perlu
dengan TOA jauh lebih baik. Mungkin otoritas islam perlu menjelaskan ke umat
yang lain kenapa harus menggunakan TOA. Dengan penjelasan ini umat lain akan
tahu, dan dari sini lahirlah pemahaman. Jika orang sudah memahami, maka orang
dapat memaklumi dan menghormati. Dari sinilah lahir semangat toleransi. Tapi,
umat islam juga perlu memahami bahwa suara TOA itu benar-benar menggangu
ketenangan.
Cukuplah aksi bom
bunuh diri sebagai bentuk teror, yang menganggu ketenangan hidup. Jangan
ditambah lagi dengan TOA.
Batam,
8 Agustus 2016
by: adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar