SELALU
BERSYUKUR MESKI KUDUNG
Rata-rata orang bersyukur
ketika mendapat hadiah, promosi jabatan dan kesuksesan. Namun, siapa yang
sanggup bersyukur ketika diganjar musibah? Sedih, marah dan depresi merupakan
reaksi pertama menanggapi peristiwa semacam itu. Berbeda dengan Veronika Urong
Beanor, wanita asal Posiwatu, Lembata (NusaTenggara Timur) ini masih bisa bersyukur
meski hidup hanya dengan satu kaki.
Kemampuan seseorang untuk
menerima keadaan tidak harus mengandalkan sekolah yang tinggi. Tak ada gelar
yang menahbiskan orang tersebut lulus dari keutamaan hidup seperti itu. Buktinya,
meski hanya sebentar mencecap pendidikan Sekolah Dasar, Vero sanggup bersyukur.
Ia justru mampu memeluk keutamaan sebagai pribadi yang mau bersyukur dalam
kondisi yang tidak mengenakkan.
Bersyukur hanya bisa diperoleh
jika manusia sadar Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Dia senantiasa
menerbitkan harapan untuk umat-Nya. Bukankah ada nasehat bijak yang mengatakan,
di balik awan gelap selalu ada matahari yang memancarkan sinarnya. Atau penginjil
Lukas menulis, “Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur, menuai
dan mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah.”
(Luk 12: 24).
Vero tinggal di rumah yang
terbuat dari bambu. Rumah itu selalu terlihat lengang. Maklum, penghuninya
hanya dua orang, dia dan adiknya semata wayang yang tuli, Dominikus. Jika Domi
sedang di kebun, hanya Vero seorang diri di rumah. Dia memasak, meniti jagung
dan membersihkan rumah.
Setiap hari, sejak pagi
hingga sore, Vero ada di rumah. Sepasang tongkat senantiasa berada di sisinya. Dua
bilah kayu berukuran sekitar satu meter itu merupakan harta paling berharga
baginya. Tanpa tongkat itu Vero tak sanggup ke dapur dan lumbung. Itu berarti
tak akan ada makanan yang tersaji di atas meja. Jika hal ini terjadi, seolah
kematian sedang menghantui hidup kakak beradik ini.
Mungkin karena alasan itulah,
Vero seakan sempat bernegoisasi dengan Tuhan saat musibah menderanya. Kepada Tuhan
dia lebih memilih kehilangan kaki ketimbang nyawanya. Dia sadar, tak ada orang
yang rela terus menerus menjaga, merawat dan memperhatikan adiknya. Rupanya Tuhan
bersimpati terhadap penderitaan dan pilihan Vero. Meski kehilangan kaki kiri,
Vero sanggup menemani dan memperhatikan Domi hingga kini.
Tantangan
Hidup
Vero semula tak menyangka,
gatal-gatal di sekitar bagian betis dan mata kaki kirinya bakal mengubah
kondisi fisiknya. Penyakit itu datang sekitar 46 tahun silam. Kata orang, obat
mujarab bila gatal datang adalah dengan menggaruk. Vero pun mengamini pendapat
khalayak ramai. Dia menggaruk betis dan mata kakinya.
Gatal-gatal tersebut tak
hilang kendati terus digaruk. Saking tak tahannya, dia menggaruk sampai kakinya
luka. Vero mengira luka itu hanya lecet biasa. Dia menduga luka kecil itu nanti
bakal sembuh sendiri. Dugaannya meleset. Alih-alih sembuh, luka itu justru
menjadi semakin parah. Vero menahan rintih karena luka-lukanya mulai bernanah.
Dia sempat melakukan
pengobatan secara tradisional. Luka yang ia derita juga sempat mengering. Tetapi
kondisi itu tak bertahan lama. Begitu gatal menyerangnya lagi Vero mulai
menggaruk hingga lukanya menimbulkan masalah kembali. Dia juga sempat
bolak-balik ke posyandu milik misi katolik, namun tidak ada perubahan berarti.
Lari ke Rumah Sakit tidak
ada di benak Vero. Sebab jarak RS terdekat dengan rumahnya relatif jauh. RS
hanya ada di Lewoleba dan Larantuka. Moda transportasi kala itu masih
mengandalkan kapal motor. Vero tidak punya uang untuk biaya transportasi,
apalagi harus menanggung biaya RS. Seiring waktu, lukanya kian bernanah dan
menimbulkan aroma tak sedap.
Selang 11 tahun kemudian
Vero merasakan puncak penderitaannya. Dia tak kuasa menahan rasa sakit di
kakinya. Saat itu Vero merasa seolah hidupnya akan segera berakhir. Belum usai
penderitaan yang ia tanggung, Vero hanya bisa melongo karena tanaman di
ladangnya sama sekali tak membuahkan hasil. Vero tak mampu berbuat apa-apa. Rasanya
seperti sudah jatuh, lalu tertimpa tangga. Dia hanya bisa berserah kepada Tuhan.
Selang beberapa hari
berikutnya, seorang saudara mengunjunginya. Pada kesempatan itu, saudaranya
mengatakan jalan terbaik mengobati lukanya adalah amputasi. Langkah ini memang
berat. Vero membayangkan hari-hari hidupnya harus disangga tongkat. Dalam kesedihan,
orang miskin seperti Vero hanya mampu berserah dan berharap, jika cara itu yang
terbaik, Tuhan akan memberikan kemudahan.
Tuhan mendengarkan doa Vero.
Keluarga besar menjamin biaya operasi dan pengobatannya di RS Bukit, Lewoleba. Tak
Cuma itu, warga kampung berduyun-duyun menandu dan mengantar Vero ke pantai
menuju RS. Perjalanan menuju Lewoleba melalui laut sehari semalam.
Tiba di RS, Vero masuk ruang
operasi. Syukur, operasi berjalan lancar. Sejak saat itu, Vero tak lagi
merintih kesakitan, walaupun harus rela kehilangan kaki kirinya. Vero lagi-lagi
hanya bisa bersyukur, Tuhan masih memberikannya umur panjang. Selain itu dia
masih bisa menjaga dan merawat Domi.
Selalu
gembira
Vero menjalani ritme
hidupnya dengan gembira hingga saat ini. saat Domi di kebun, Vero asyik dengan
tanggung jawabnya. Dia merapikan rumah, memasak, meniti jagung, menumbuk padi,
merawat sayur, mencuci pakaian dan mengecek persediaan makanan di lumbung. Ternyata
keterbatasan fisik bukan menjadi ratapan atau bahkan akhir dari segalanya.
Hebatnya, Vero yang hidupnya
serba terbatas ini selalu bisa bersyukur untuk semua yang dimilikinya. Jika tak
sanggup bersyukur, tak mungkin dia rajin ke gereja saban Minggu, atau giat ikut
kegiatan doa bersama di komunitas basisnya. Menurut umat Paroki St. Yosef Boto,
Keuskupan Larantuka ini, kebahagiaan itu sangat sederhana, yakni mau menerima
dan mensyukuri segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan.
sumber: Hidup Katolik
Baca
juga kesaksian lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar