MENJADI PEMILIH YANG CERDAS
Tanggal 9 Desember nanti
akan diadakan pesta demokrasi dalam
acara pemilihan umum untuk kepala daerah
(pilkada).
Hampir semua daerah yang ada di wilayah Keuskupan Pangkalpinang, baik untuk
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota madya, menyelenggarakan pesta demokrasi
ini. Konon ada umat yang mencalonkan dirinya menjadi peserta pilkada ini.
Bagaimana umat menyikapi pesta demokrasi ini? Adakah arahan dari pimpinan
Gereja untuk umatnya, semacam surat gembala, sehingga umat tidak salah memilih?
Hingga saat ini tidak ada surat gembala dari Bapak
Uskup menyambut pilkada serentak, yang juga terjadi di wilayahnya. Yang pasti
Gereja tidak akan mengarahkan umat untuk memilih calon-calon tertentu. Gereja
harus berdiri di atas semua pihak. Karena itu, sangat dilarang penggunaan areal
Gereja sebagai ajang kampanye khusus satu calon tertentu saja. Gereja hanya
akan mengajak umat ikut memilih dengan menjadi pemilih yang cerdas. Bagaimana
menjadi pemilih cerdas?
Ada beberapa prinsip yang dipegang Gereja terkait
PEMILU ini. Pertama, Gereja tidak
membatasi pilihan pada calon yang seagama, sesuku atau lainnya. Dasarnya ada pada nasehat Tuhan Yesus dalam Markus 9: 38 – 41. Tuhan Yesus berkata,
“Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” Jadi, orang katolik
dipersilahkan memilih siapa saja, tanpa harus melihat agama, suku, ras dan
partainya, tua atau muda, pria atau wanita. Yang penting calon itu haruslah
berjuang demi kebaikan bersama, menjaga nilai-nilai PANCASILA dan UUD ’45.
Untuk ini umat lebih tahu, karena umat langsung
bersentuhan dengan calon-calon peserta pilkada. Misalnya, untuk pilkada
Provinsi Kepulauan Riau ada pasangan Suryo – Anzhar dan pasangan Sani – Nurdin.
Wilayah provinsi ini masuk dalam wilayah Kevikepan Kepri. Nama-nama calon ini
sudah tak asing lagi di telinga umat. Umat Paroki Tanjung Pinang tentu tahu
siapa itu Anzhar, dan umat Tanjung Balai Karimun tahu siapa itu Nurdin. Dan
secara keseluruhan, umat sudah tahu siapa itu Suryo dan Sani, yang sebelumnya
adalah Gubernur dan Wakil Gubernur. Demikian pula pasangan calon di
daerah-daerah lainnya.
Sejalan dengan prinsip di atas, lahirlah prinsip kedua, berusaha mengenal pilihan. Sistem
PEMILU saat ini hanya membantu kita untuk tahu pilihannya, namun masih sebatas
wajah. Sistem ini belum menjamin kita
untuk mengenal siapa yang dipilihnya. Karena itu, kebanyakan orang memilih
karena hanya terpusat pada wajah saja: ganteng, menarik, cantik, dll. Gereja mengajak supaya umat benar-benar mengenal. Bagaimana kita bisa
mengenal? Dasarnya ada pada
nasehat Tuhan Yesus dalam Matius 7: 15 –
20. Tuhan Yesus pernah berkata, “Jika suatu pohon kamu
katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak
baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” (Matius 12: 33).
Karena
itu, selain tahu
wajahnya, kita juga harus memperhatikan “buah” yang telah dihasilkan calon kita
ini. Namun, berkaitan dengan buah ini, ada yang harus kita perhatikan. Memang
buah itu selalu diidentikkan dengan manfaat. Jadi, di sini ada asas manfaat.
Berkaitan dengan asas manfaat ini ada hal yang harus diubah dalam mental kita.
Selama
ini, sering kita
berpikir bahwa tolok ukur asas manfaat ini adalah saya atau kami. Kita seringkali menuntut kepada pasangan calon kepala daerah untuk membuktikan
janjinya dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya atau
kelompoknya saat itu juga.
Misalnya, pengaspalan jalan atau pemasukan aliran listrik, dll. Jadi, terlihat
bahwa kita hanya memikirkan
kepentingan diri/kelompoknya sendiri, bukan kepentingan umum. Kita hanya memikirkan
kepentingan sesaat saja, bukan untuk lima tahun ke depan.
Sebuah
contoh, si Anu yang berpasangan dengan Una, sekitar 3 bulan menjelang pilkada mengadakan proyek pengaspalan jalan masuk ke kampung. Ia juga mengizinkan pembangunan rumah ibadah (padahal, sebelumnya,
ia selalu mempersulit pengeluaran IMB). Sebagai kepala daerah bisa saja si Anu buat proyek untuk
“kesejahteraan” masyarakat dengan
mengunakan dana pemerintah yang ada. Umat akan melihat “proyek” itu sebagai
kemurahan hati Anu, apalagi dia
mengizinkan pembangunan rumah ibadah yang sudah lama dirindukan.
Spontan kita akan mengenal dia sebagai orang baik yang
toleran.
Karena
itu, jangan begitu cepat percaya. Jangan begitu mudah terpikat. Sering orang
hanya berpikir jangka pendek dan hanya untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Memanfaatkan momen pemilu ini, kita harus berpikir global, yaitu demi
kepentingan bersama, dan untuk jangka panjang, yaitu selama lima tahun ke
depan, bahkan seterusnya. Pola pikir sempit, yang hanya melihat “kebaikan” instan, harus
diganti. Kita harus memakai metode Tuhan
Yesus:
mengenal pohon dari buahnya. Bagaimana caranya?
Pertama-tama
harus dibedakan antara janji dan “buah”. Janji itu bukanlah buah. Dalam dunia
tumbuhan, janji dapat disamakan
dengan bunga. Memang buah berasal dari bunga. Dan bunga itu selalu indah.
Demikian pula dengan janji yang selalu dilontarkan calon peserta pilkada nanti.
Janji itu selalu indah, sehingga membuat orang terbuai. Tapi musti diingat bahwa
bunga bukanlah buah, dan tak selamanya bunga itu menjadi buah. Maka, sekalipun
pohon itu berbunga lebat dan indah, tapi bila tidak menghasilkan buah, pohon
itu tidak baik. Buah adalah hasil dari pohon yang selalu ditunggu orang.
Tentulah,
penilaian atas pohon baik atau tidak, bukan dilihat dari awal penanaman pohon.
Artinya, ketika kita menanam sebuah pohon, kita tak bisa langsung mengatakan
bahwa pohon ini baik. Sebuah pohon dikatakan baik karena dia pernah
menghasilkan buah yang baik. Dan cap “baik” ini akan terus mengiringinya dengan
buah-buah yang selalu dihasilkannya.
Maka,
untuk benar-benar mengenal pilihan
kita yang akan memimpin
daerah kelak, kita tak cukup hanya
mengandalkan janji manis mereka. Jangan
hanya melihat apa yang sudah mereka lakukan saat ini untuk segelintir orang
saja. Kita perlu rekam jejak mereka lalu dikaitkan dengan janjinya. Apakah
janji yang diucapkannya sudah sejalan dengan hidupnya selama ini.
Sebagai
contoh. Si Polan, ketika berkampanye, menjanjikan Indonesia yang bersih dari
korupsi, menghargai pluralitas, meningkatkan kesejahteraan buruh dan memajukan
pendidikan. Kini umat
harus melihat rekam jejaknya sebelum mencalonkan diri. Mungkin si Polan
sebelumnya menjadi pejabat daerah.
Coba perhatikan, apakah selama menjadi pejabat
daerah dia pernah mewujudkan janjinya tadi? Atau mungkin si
Polan aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Umat harus melihat apakah selama
bekerja di LSM dia menunjukkan perhatiannya pada masalah-masalah di atas.
Jika
calon berkampanye soal menghargai pluralitas, tapi dia pernah menghina agama
lain atau menghambat pembangunan rumah ibadah lain, ini berarti calon yang
tidak baik. Bila calon mengatakan akan meningkatkan kesejahteraan buruh, tapi
selama ini perhatiannya kepada buruh rendah, ini menunjukkan dia tidak memiliki
kualitas sebagai pemimpin yang baik.
Tinggal
beberapa minggu
lagi kita akan memilih. Berusahalah mengenal pilihan Anda. Jangan terbuai dengan janji manisnya atau uang yang diberikan.
Jangan pula berpikir sempit, hanya melihat kepentingan kelompok dan kepentingan
sesaat. Nasib daerah Anda ada di tangan Anda. Semoga
Anda dapat memilih wakil rakyat yang benar, apapun latar sosial, agama dan
sukunya.
Selamat
memilih !!!
Batam, 9 November 2015
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar