FASILITATOR
Sejak aktif sebagai
fasilitator KBG di Paroki St. Bruno, Aritonang tidak pernah lagi pulang ke kampung
bersama istri dan kedua anaknya. Maklum, KBG menjadi prioritas pastoral di
paroki setelah sinode keuskupan 2045 lalu. Dan Romo Anton, pastor Paroki St.
Bruno, sangat getol dengan KBG. Ia ingin agar ada keseragaman konsep, gerak dan
arah pastoralnya terkait KBG ini.
Tetapi tahun 2056 Aritonang tak
dapat mengelak. Ia sekeluarga pulang kampung. Inipun karena janjinya kepada
anak-anaknya. “Kalau kalian berhasil dapat ranking 1, kita liburan.”
“Ke kampung, ya Pa?”
“Ketemu Opung.”
“Iya.”
“Janji?” Ujar kedua anaknya
hampir berbarengan.
“Janji.” Ucapnya sambil tiga
jari diacungkannya ke atas.
“Koq tiga jari, Pa?” Tanya
si sulung, Alberto.
“Ini janji Trinitas: Bapa,
Putra dan Roh Kudus,” jelasnya sambil menekukkan jarinya satu per satu.
***
Aritonang menyempatkan diri
bertamu ke pastoran St. Maria, yang jaraknya tak lebih dari 500 meter saja. Pastor
Paroki menyambutnya dengan ramah.
“Saya dengar keuskupan
kalian sangat getol dengan KBG, ya?” Pastor Tumanggor memulai pembicaraan
setelah mereka duduk santai di ruang tamu.
“Betul, Pastor. Kebetulan,
saya termasuk tim fasilitator paroki.”
“Fasilitator?”
“Ada dua pilar KBG, Pastor.
Modul dan fasilitator. Kami bertugas menerjemahkan modul ke KBG. Ini demi
keseragaman.”
Dengan semangat Aritonang
menjelaskan soal KBG dan bagaimana mereka menerapkannya di Paroki St. Bruno.
Tak lupa juga ia selipkan cerita tentang Romo Anton, sang Bapak KBG di
parokinya. Cukup lama mereka berbicara, sampai akhirnya Aritonang mohon pamit.
“Nanti, kalau mau pulang,
mampir ke sini dulu ya. Saya mau titip sesuatu buat Andreas.”
Andreas yang dimaksud adalah
Pastor Paroki Gembala Baik, paroki tetangga Paroki St. Bruno. Dia adalah
sahabat baik Pastor Tumanggor ketika masih kuliah.
“Baik, Pastor.”
***
Malam itu Aritonang
mengikuti kegiatan di komunitasnya. Ternyata Paroki St. Maria pun sedang
menghidupi KBG, pikirnya. Namun, ada banyak perbedaan. Ia merasa aneh dengan
model dan gaya KBG di paroki itu. Melihat “keanehan” itu, Aritonang mulai
angkat bicara. Baginya, itu bukanlah KBG yang sebenarnya. Aritonang mulai
banyak menjelaskan perihal KBG, sebagaimana yang dijelaskan Romo Anton.
Penjelasan Aritonang perihal
KBG membuat sebagian besar umat kebingungan. Namun ada juga yang menerimanya.
Karena itu, umat terpecah menjadi dua kubu. Ada yang mendukung, ada juga yang
menolak.
“KBG itu harus seperti yang
dikatakan Lae tadi,” ungkap seorang
umat yang mendukung. “Kita harus belajar darinya. Mereka sudah menggeluti KBG
ini lebih dari 10 tahun. Kita baru jalan 3 tahun.”
“Tiap keuskupan itu otonom.”
Suara yang menolak. “Kita harus mengikuti arahan dari keuskupan kita, karena
inilah warna KBG kita nantinya.”
Perpecahan di komunitas itu
terdengar juga oleh Pastor Tumanggor. Keesokan harinya ketua komunitas
menyampaikan apa yang terjadi. Ia memberi juga sebuah rekaman saat terjadi
perdebatan itu. Penjelasan Aritonang tentang KBG pun direkam.
“Nanti malam, kelompok yang
mendukungnya akan bertemu di rumah Simbolon. Dia akan memberikan penjelasan
dengan KBG.”
“Coba kau suruh satu orang
untuk ikut dan merekam kegiatan itu.”
Akhirnya, Pastor Tumanggor
mempunyai dua rekaman. Cukup serius ia dan beberapa tokoh umat menyaksikan
rekaman itu.
“Bagaimana ini, Pastor?”
“Kalian tenang sajalah,”
nasehat imam biarawan itu. “Ingat, KBG kita mempunyai tiga pilar. Ada yang
tidak dimilikinya: Roh Kudus. Kita melihat bahwa KBG adalah karya Roh Kudus,
bukan karya pribadi manusia saja.
“Seperti kata Gamaliel,
dalam Kisah Para Rasul, bahwa jika perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu
akan lenyap.” Tegas Pastor Tumanggor. “Ingat apa kata Mazmur 127: jika bukan
Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah orang membangunnya.”
Pastor Tumanggor menelpon Romo
Andreas dan bercerita tentang Aritonang. Tak lupa juga disampaikan dua rekaman
itu. Romo Andreas meminta rekaman itu dikirim kepadanya. Ia ingin tahu apa yang
disampaikan Aritonang.
Betapa terkejutnya Romo
Andreas ketika melihat dua rekaman itu. Dia melihat Romo Anton dalam diri
Aritonang. Gayanya berbicara, nada suaranya hingga apa yang disampaikan sangat
serupa dengan Romo Anton.
Tak puas dengan
penilaiannya, Romo Andreas memanggil dua rekannya, pastor pembantu dan seorang katekis
paroki. Mereka sependapat dengannya. Keduanya melihat Romo Anton dalam diri
Aritonang.
“Emang, ada masalah apa
dengan Aritonang, Mo?”
“Rekaman ini terjadi di
kampungnya. Ia berusaha menanamkan KBG di sana,” jelas Romo Andreas. “Namun,
justru penjelasannya itu menimbulkan perpecahan di sana.”
“Bagaimana kalau kita rekam
fasilitator lainnya sebagai pembanding?” Usul rekan imamnya.
“Besok aku ajak beberapa OMK
ke KBG,” kata Dimas, yang sehari-hari bertugas sebagai katekis paroki.
Tiga hari kemudian ia
membawa 4 rekaman dari empat KBG di paroki St. Bruno. Salah satu rekaman itu
ada Romo Joko, pastor pembantu. Kembali ketiganya kaget oleh rekaman itu.
Bertiga saling bertatap-tatapan. Ada Romo Anton dalam keempat fasilitator itu.
Bahkan Romo Joko pun tampil tak ubahnya Romo Anton.
“Ketawanya pun sama persis
dengan bosnya.” Ungkap Dimas.
“Koq bisa, ya?”
“Jangan-jangan mereka sudah
diformat,” ujar Dimas tiba-tiba. Kedua imam itu langsung menatapnya. Mereka
tahu kalau Dimas pintar dalam dunia komputer. “Kan Romo Anton ahli dalam
teknologi digital atau IT.”
“Maksudmu?”
“Ini kayak film-film sci-fi.” Jelasnya lagi. “Romo udah
pernah nonton film Oblivion? The Machine? Hitman atau Divergent?”
Kedua imam itu hanya
menggelengkan kepala membuat Dimas tersenyum.
“Makanya, Romo itu
refleksinya jangan hanya dari Kitab Suci saja. Cari inspirasi dari film juga.”
“Kau jangan kotbahi kami.
Terangkan maksudmu itu!”
Mulailah Dimas menerangkan
teorinya. Dijelaskannya dari Artificial
Intelligence, nanoteknologi. microchip
hingga cyborg. Kedua imam itu terpana
mendengarkan penjelasan Dimas. Ternyata, selain mahir dalam berkatekese tentang
ajaran Gereja, Dimas pun piawai dalam berketekese dunia IT.
“Jadi, Aritonang itu semacam
cyborg?”
“Kurang lebih,” ungkap Dimas
kurang yakin. “Mungkin Romo Anton sudah membuat microchip dengan teknologi
nano. Microchip ini bersifat transponder. Benda ini kemudian dimasukkan ke
dalam tubuh para fasilitator. Semacam inplan.
Biasanya di daerah sekitar kepala atau leher, karena gelombang
elektromagnetiknya langsung mempengaruhi syaraf otak.
“Romo Anton kemudian rutin
mengirim data ke microchip ini, karena sinyalnya dapat dibaca dengan perangkat
berbasis android. Pengiriman juga dapat dilakukan dengan bantuan Bluetooth. Jadi, sibuknya Romo Anton
menyiapkan modul, semuanya dalam rangka itu. Modul-modul itulah yang akan
dikirim ke microchip-microchip fasilitator. Karena itu, wajar bila terjadi
keseragaman.”
“Pantas, seminggu sekali
mereka selalu berkumpul. Mungkin pada waktu itulah ia mengirimkan data modulnya.”
“Lalu, bagaimana mengatasi
si Aritonang ini? Temanku bilang umatnya sudah pada resah.”
“Bagaimana kalau diberi
virus? Saat ini dia berada di luar jangkauan. Program dia tidak ter-upgrade. Kalau pun Romo Anton pasang
anti virus, pastilah program itu sudah lemah, karena tidak update.”
“Virus apa yang mau diberi?”
“Kirim ‘Menggugat Keseragaman KBG’. Itu dapat didownload. Gratis, koq.”
“Lalu?”
“Romo bilang mereka untuk mendownload software ‘Menggugat Keseragaman KBG’. Lalu, ketika dekat dengan
Aritonang, kirim dengan Bluetooth. Mudah-mudahan
dia lagi open. Kalau dia lagi open, pasti masuk.”
***
Selang beberapa hari,
semangat Aritonang dalam menjelaskan KBG tidak sehebat sebelumnya. Malah ia
terlihat bingung dan ragu dengan konsep KBG-nya sendiri. Perlahan-lahan umat
yang biasa mendengarkannya mulai meninggalkan dia. Keadaan di komunitas itu pun
mulai membaik. Umat kembali ke pola lama.
Melihat keadaan Aritonang
seperti itu, Pastor Tumanggor mendekati dia. Ia mengundang Aritonang ke
pastoran untuk bincang-bincang. Dengan lembut Pastor Tumanggor mencoba menggali
latar belakang Aritonang sebagai fasilitator KBG di Paroki St. Bruno. Mulailah
Aritonang bercerita.
Sebagai pastor paroki, Romo
Anton menghendaki agar umat gembalaannya menghidupi KBG sebagaimana diamanatkan
sinode. Dua 2 pilar mendapat perhatian serius. Dua pilar itu dapat menciptakan
keseragaman.
Modul disediakan oleh Romo
Anton. Setiap hari Romo Anton sibuk di depan layar laptopnya untuk menyiapkan
modul-modul yang akan dihidupi di KBG. Romo Anton terpaksa mengurangi jam tidur
malam.
Para fasilitator dipilih
dari orang-orang tertentu. Mereka ini akan menyampaikan modul yang sama. Demi
keseragaman, Romo Anton membuat microchip. Semua data modul dan data lainnya dimasukkan
ke dalam microchip itu, yang kemudian ditanam ke dalam tubuh para fasilitator.
Namun Aritonang tidak tahu kapan benda itu dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Setiap hari Senin, para
fasilitator berkumpul bersama. Dalam pertemuan itu, Romo Anton memaparkan
modul-modul yang harus diterapkan dalam sepekan. Ternyata Romo Anton bukan
hanya memaparkan modul, tetapi juga mengirim data modul via Bluetooth ke tiap-tiap microchip
fasilitator.
***
Sesuai permintaan Pastor
Tumanggor, sebelum ke rumah, Aritonang singgah sebentar ke pastoran Gembala
Baik. Ia harus mengantar ole-ole untuk Romo Andreas. Namun di balik itu, ada
tujuan lain. Aritonang sama sekali tak tahu maksud lain kunjungannya selain
menyampaikan titipan Pastor Tumanggor.
Setiba di pastoran,
Aritonang langsung diajak masuk ke kamar Romo Andreas. Istri dan anaknya
ditemani oleh Suster Maria dan pastor pembantunya di ruang tamu. Di kamar sudah
menunggu Dimas.
Dengan sigap, Dimas langsung
mendeteksi seluruh tubuh Aritonang dengan alat yang ia rancang. Awalnya
Aritonang kaget dan berontak. Namun, penjelasan Romo Andreas membuat dia mau
bekerja sama.
Akhirnya Dimas menemukan
barang yang dicari. Microchip sebesar biji padi itu ditanam di bawah ketiak.
Dengan persetujuannya, microchip itu dikeluarkan. Aritonang terbebas dari
belenggu keseragaman.
Batam,
24 Juli 2015
by: adrian
Baca
juga cerpen lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar