Ketika mengikuti
Pemilu 2008 lalu, tentulah rakyat menaruh harapan akan perubahan yang lebih
baik bagi bangsa ini. Harapan itu diletakkan pada pundak wakil rakyat. Kiranya
harapan dapat terwujud memiliki dasar karena Pemilu mengambil sistem memilih
orang. Rakyat akan terhindar dari praktek “memilih kucing dalam karung”. Rakyat
tahu, atau mungkin juga kenal, siapa yang dipilihnya.
Namun hati kita akan sedih bila
melihat berbagai kasus yang mewarnai lembaga ini, mulai dari kasus korupsi
dengan mafioso-nya sampai pada
tindakan tak terpuji, seperti bolos, tidur saat sidang atau gaya hidup wah. Janji-janji yang pernah diucapkan
saat kampaye, kini hanya tinggal pepesan kosong. Lembaga DPR yang sebenarnya
adalah pelayan masyarakat, kini justru menjadikan rakyat sebagai pelayan
mereka. Karena itulah, orang lantas mengartikan DPR dengan Dewan Pemeras
Rakyat.
Keprihatinan inilah yang mendasari
tulisan ini untuk mencari kriteria apa yang cocok buat anggota dewan di masa depan.
Namun saya melihat bahwa tidak cukup berhenti pada kriteria (pribadi) anggota
DPR. Kita harus meninjau juga “sistem” yang ada. Karena, membandingkan dunia
perpajakan, seperti dalam tulisan Heri Prabowo, masuk ke dunia mafia DPR tak
berkaitan dengan watak seseorang.[1]
Artinya, sekalipun manusianya “baik” menurut kriteria, tapi jika lingkungannya
buruk (baca: sistem), maka manusianya pun berpeluang busuk. Karena itulah,
untuk mewujudkan DPR yang ideal, bagi saya, selain kriteria diperlukan juga
pengaturan sistem yang membentuk anggota dewan itu menjadi ideal.
12
Kriteria Anggota DPR
Ada banyak
kriteria yang bisa diajukan untuk mencari sosok anggota dewan yang ideal. Dalam
tulisan ini akan diberikan 12 kriteria.
a.
Takut
akan Tuhan
Salah satu slogan kampanye Basuki T
Purnama[2]
dalam pemilihan gubernur Bangka Belitung 2007 adalah “takut akan Tuhan”. Dasar
pernyataan ini ada dalam Kitab Suci (Amsal 8: 13; 14: 27 dan 16: 6). Orang yang
takut akan Tuhan akan menjauhi kejahatan, sehingga ia terhindar dari maut (baca:
jerat hukum). Karena itu, sikap “takut akan Tuhan” ini hendaknya dimiliki para
anggota dewan.
b.
Kesederhanaan
Sangat diharapkan agar anggota
dewan yang akan datang memiliki pola hidup sederhana. Salah satu wujud pola
hidup sederhana adalah sikap penuh syukur. Dengan sikap penuh syukur, anggota
dewan terhindar dari jerat budaya materialisme, hedonisme dan konsumtivisme
yang menjadi biang orang melakukan korupsi.
c.
Jujur,
Adil dan Tegas
Pada 30 Juli 2010 Pong Harjatmo
melakukan aksi “gila” dengan membubuhkan tulisan di atap gedung DPR: Jujur,
Adil, Tegas. Pesan yang mau disampaikan kiranya jelas, yaitu agar anggota dewan
memiliki sikap jujur, adil dan tegas.
d.
People Oriented
Ketika terpilih, hendaknya anggota
dewan sadar bahwa dirinya dipilih orang rakyat. Sebagai wujud terima kasih atas
kepercayaan rakyat, maka hendaknya anggota dewan lebih memperhatikan
kepentingan rakyat dari pada partai. Sikap people
oriented berarti anggota dewan mengabdikan dirinya secara total untuk
kepentingan rakyat, khususnya rakyat kecil.
e.
Ugahari
Anggota dewan di masa depan
hendaknya memiliki keutamaan keugaharian. Ugahari berarti suatu pengendalian
diri. Keutamaan ini memiliki keunggulan dalam menghadapi keinginan-keinginan
dan kesenangan yang tidak biasa bagi kebanyakan masyarakat umum.[3] Dengan
sifat ini, anggota dewan bisa berkata “tidak” terhadap korupsi, malas atau
tindakan tak terpuji lainnya yang sudah lumrah di lingkungan DPR.
f.
Bermoral
Moral merupakan pedoman yang
mengatur manusia untuk melakukan yang baik dan menghindar yang buruk.[4]
Sangat diharapkan di masa depan anggota dewan memiliki moralitas sehingga
mereka dapat menghindar hal-hal yang buruk dan berusaha melakukan hal yang
baik.
g.
Cerdas
berhati nurani
Tentulah diharapkan agar anggota
dewan itu harus memiliki kecerdasan yang mumpuni agar tidak malu-maluin. Kecerdasan
dapat membantu anggota dewan untuk bersikap kritis. Namun hendaknya tidak hanya
berhenti pada cerdas otak, tetapi juga harus cerdas hati. Untuk itu mereka
harus memiliki hati nurani yang bisa mengajak mereka untuk berempati dan
bersolidaritas dengan korban.
h.
Profesional
Profesional berasal dari kata
profesi. Dari akar katanya, profesi berarti "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara
tetap/permanen".[5]
Umum mengartikan profesi sebagai pekerjaan, meski tidak semua pekerjaan itu
adalah profesi. Dikaitkan dengan anggota dewan, maka harus dilihat bahwa
ke-DPR-an ini memang merupakan pekerjaan anggota dewan, bukan kerja sampingan
dan tidak ada kerja sampingan lainnya, sehingga bisa fokus akan tugasnya.
i.
Berani
berkorban
Yesus pernah menasehati murid-Nya,
yang kelak akan menjadi pemimpin, agar tidak seperti pimpinan duniawi pada
umumnya yang memerintah rakyatnya dengan “tangan besi”. Sebaliknya “Barangsiapa
ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan
barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi
hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi
banyak orang."[6]
Memberikan “nyawa” berarti mau berkorban demi rakyat. Inilah yang diharapkan
pada anggota dewan kelak.
j.
Rendah
hati
Kriteria rendah hati ini tidak
hanya tampak dalam penampilan saja melainkan juga dalam sikap dan tutur kata.
Contoh profil rendah hati terlihat dalam diri Bapak Dahlan Iskan, Menteri
Negara BUMN. Sikap ini akan memangkas jarak anggota dewan dengan rakyat.
k.
Arif
Kearifan tumbuh di atas kerendahan
hati. Sikap ini akan menuntun orang untuk dengan benar memilih tindakan yang
harus diterapkan.[7]
Dengan sikap ini, tentulah anggota dewan dapat terhindar dari praktek-praktek
tak terpuji.
l.
Punya
prinsip
Tak ada gading yang tak retak. Dalam
perjalanan tugas, tentulah anggota dewan akan menghadapi masalah, baik internal
maupun eksternal. Berkaitan dengan ini sangat diharapkan agar mereka memiliki
prinsip dan berpegang pada prinsip sekalipun akan menjadi korban. Sophan
Sophiaan adalah contohnya. Dia adalah anggota DPR/MPR pertama di era reformasi yang berani
mengundurkan diri karena tidak setuju dengan sikap politik partainya.
Sistem
yang Mendukung
Di atas sudah dikatakan bahwa jika
hanya mengandalkan kriteria, sekalipun bagusnya, akan menjadi sia-sia bila
tidak ditunjang sistem yang mendukung. Sistem apa yang dibutuhkan agar kriteria
anggota dewan yang ideal bisa terwujud sehingga harapan akan perubahan bangsa
ini dapat terealisasi?
a)
Anggota
dewan adalah wakil rakyat, bukan wakil partai.
Ini musti didukung dengan aturan yang tegas. Karena itu, harus dihapus istilah
fraksi dalam DPR.
b)
Badan
Kehormatan harus lembaga independen. Ini juga harus
didukung dengan penerapan aturan dan sanksi yang tegas terhadap anggota dewan
tanpa harus konsultasi dengan partainya.
c)
Hapus
“politik uang” bagi calon anggota dewan.
Salah satu kriteria adalah profesional. Di negara ini ada begitu banyak
pengangguran yang sebenarnya berkualitas menjadi anggota dewan. Persoalannya
adalah mereka tidak punya uang banyak untuk membayar ke partai. Dengan
menghapus “politik uang” ini, kita memberi kesempatan kerja kepada mereka.
Dengan demikian angka pengangguran berkurang.
d) Akuntabilitas kinerja
anggota dewan. Setiap tiga bulan setiap anggota
dewan wajib membuat laporan kinerjanya. Laporan itu bisa diakses di website DPR
atau dipublikasi di media massa yang ada. Hal ini sudah dilakukan oleh Basuki
Purnama, anggota DPR dari partai Golkar (sebelum akhirnya pindah ke Gerinda).
Penutup
Demikianlah beberapa buah pikiran
untuk mewujudkan adanya sosok anggota dewan yang ideal demi terciptanya
perubahan yang lebih baik bagi bangsa ini. Namun di atas semuanya itu, political will menjadi mutlak
dibutuhkan. Tanpa adanya kemauan dan usaha, semuanya menjadi percuma.
Tanjung
Balai-Karimun, 15 Maret 2012
by:
adrian
[1] Bdk. Heri Prabowo, “Dhana, Saya dan Mafia Pajak”, dlm KOMPAS, 8 Maret 2012, hlm. 6
[2] Dikenal sebagai Ahok, yang dinobatkan majalah TEMPO sebagai salah satu
dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia (2006). Dan pada 2007 ia dinobatkan
sebagai Tokoh Anti Korupsi dari penyelenggara negara oleh Gerakan Tiga Pilar
Kemitraan.
[3] Dr. William Chang, OFMCap, Menggali
Butir-Butir Keutamaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 38-39
[4] Bdk. Sonny Keraf, Etika Bisnis.
Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 20
[5] Wikipedia untuk kata profesi, 14 Maret 2012, 10:48
[6] Markus 10: 42-45
[7] Dr. William Chang, ibid. Hlm
36-37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar