Inovasi
& Pastoral
Pelaku pencurian ikan di wilayah Indonesia bisa kita kejar,
tangkap dan larang karena nyata-nyata bisa dibuktikan. Namun bagaimana dengan
pencurian ide atau menjaga hal-hal yang bersifat tidak teraga seperti seni dan
budaya, misalnya klaim tarian “mirip Tor-Tor”? Dalam bisnis hiburan, kita kerap
melihat lagu dan film ditiru habis-habisan, dibajak dan diperbanyak. Dengan
semakin canggih dan murahnya perkembangan teknologi, kita memang makin sulit
mengontrol dan menghukum pencurian ide serta pembajakan karya cipta.
Perusahaan-perusahaan besar memang bisa bekerja sama dengan aparat untuk
menangkap pencuri perangkat lunak. Namun bagaimana dengan musisi yang tidak
punya modal untuk mempersenjatai diri mengejar pencuri idenya? Kita bisa prihatin
bahwa buah pikiran dan hasil karya seolah tidak dihargai. Namun, apa yang bisa
kita lakukan? Orisinalitas sudah tidak lagi menjadi satu-satunya kunci inovasi.
Seorang artis terkemuka yang sudah memproduksi sejumlah album
mengatakan bahwa kini ia membiarkan musiknya dibajak. Ia bahkan menggratiskan
orang untuk men-download karya
musiknya melalui situs yang dibangunnya dengan sengaja. Tidakkah ia sadar bahwa
dirinya dirugikan? Musisi ini hanya menjawab singkat, “Inilah cara pemasaran
yang baru, bukan dengan menjual CD-nya lagi.” Kita lihat bahwa cara pemasaran
dan cara menjual hak cipta pun sekarang sudah berganti gaya.
Perkembangan teknologi dan ekonomi diikuti dengan krisis
sungguh memacu kita untuk berpikir keras mencari jalan keluar. Produk perangkat
keras semakin sulit bersaing dengan perangkat lunak. Sebaliknya, bila kita
pandai mengemas nilai tambah, misalnya dengan membuat kemasan yang apik dari
produk atau jasa yang kita hasilkan, keuntungan berlipat ganda bisa diraih
tanpa menambah modal besar. Kita memang musti berani berbeda kerena differences sangat penting untuk membuat
produk dan jasa kita berharga tinggi, bahkan berlipat-lipat. Tanpa inovasi
terus menerus, mustahil kita bisa unggul dalam bersaing.
Sikap Rendah Hati dan
Mendengar
Penelitian oleh Marshall School of Business, London Business
School, University of Illionis dan Northwestern University menemukan bahwa para
pemimpin perusahaan sering merasa bahwa merekalah yang terpandai dalam membuat
keputusan sehingga setiap ide inovasi harus melalui saringan satu kepala, yaitu
si pemimpin. Padahal, hasil penelitian membuktikan bahwa pemimpin yang efektif
dan inovatif justru pemimpin yang mengumpulkan orang-orang yang kritis dan siap
memberi umpan balik dan masukan terhadap praktek-praktek perusahaan, lembaga
atau negara. Seorang pemimpin tidak perlu mengeluarkan “power”nya untuk menggerakkan inovasi. Sebaliknya, sikap rendah hati
penting dimiliki untuk menumbuhkan spirit
inovasi. Secara logis kita bisa membayangkan bahwa di bawah tekanan, ide-ide cemerlang
tidak bakal muncul. Suasana kritik mengkritik yang positif, serta tantang
menantang ide perlu digalakkan. Kita bahkan perlu mengembangkannya spirit “jawaban belum tentu ada di pihak
kita” sehingga semangat mencari tahu, mendengar orang lain, terutama
mendengarkan pelanggan terus digalakkan.
Pelanggan sebagai Sumber
Inspirasi
Bila kita mau jujur, sering kali kita takut berhadapan dengan
pelanggan kita sendiri. Saat seorang nasabah super penting mengomplain jasa
sebuah bank, para direksi bank tersebut mengatakan bahwa mereka merasa tidak
punya kekuatan untuk bisa menghadapi nasabah tersebut. Ya, pelanggan penting
memang perlu kita hormati. Servis yang kita berikan juga perlu konsisten dan
stabil. Namun kita tidak bisa melupakan bahwa pelanggan penting ini punya
kebutuhan yang berkembang dari waktu ke waktu. Bisa jadi, ia mempunyai ide-ide
yang membuka peluang bagi kita untuk berinovasi. Kita memang harus selalu
menumbuhkan keyakinan bahwa pelanggan adalah sumber inspirasi bagi kita. Untuk
bisnis yang baru mulai berjalan, keyakinan ini bisa mudah dipraktikkan. Namun
untuk perusahaan yang bisnisnya sudah besar dan sukses, ketakutan untuk
bergerak dan berubah sesuai dengan keinginan pelanggan sering enggan dimulai.
Meski hal ini sangat manusiawi, kita perlu sadar bahwa berdiam diri adalah
sikap bunuh diri yang tidak bisa kita implementasikan. Perusahaan mempunyai
pilihan untuk mendengar ide dan kebutuhan pelanggan atau ditinggalkan pelanggan
karena servis yang ada sudah tidak memadai lagi.
Berpikir Riset
Era perang servis semakin dirasakan. Kita tak bisa menunda
inovasi servis, baik itu dalam pengembangan produk, proses, juga terhadap “people” alias tim internal kita sendiri.
Bila kita melakukan benchmark
terhadap perusahaan dengan kualitas world-class,
baik itu Google, Zappos atau Southwest Airlines, kita akan melihat bahwa mereka
selalu memikirkan inovasi untuk mengembangkan tim dan membuat orang-orang yang
bekerja di perusahaan itu happy dan engaged. Bila kita serius meningkatkan
kualitas dan produktivitas, kita tidak bisa lagi melihat inovasi sebagai
sesuatu yang asing dan berjarak, tetapi harus kita adopsi sebagai bagian dari
diri kita, mentalitas kita.
Inovasi yang baik sulit terjadi bila kita tidak mengasah mindset riset. Sudah waktunya pelaku
servis mengembangkan sistematika berpikir, pembuatan prototipe dan melakukan
proses trial seperti halnya
perusahaan yang membuat produk perangkat keras. Seluruh karyawan perlu didorong
untuk senantiasa mencari tahu apa saja yang bisa meningkatkan servis. Tantangan
ini bahkan bisa sekaligus meningkatkan kekompakan front office dan bacj office
karena kesamaan tujuan untuk memperbaiki servis pada pelanggan.
Prototipe atau ide yang muncul dapat kita implementasikan
dalam sebuah setting laboratorium,
kita coba dan kita ukur dampaknya. Kegiatan prototyping
ini perlu dilakukan dengan intensif, cepat dan teliti, mengingat biaya bersaing
yang semakin lama semakin ketat. Bila keterlibatan karyawan dan manajemen
puncak dalam kegiatan riset ini sudah semakin meluas, perusahaan bis amelihat
inovasi demi inovasi mengalir di seantero perusahaan. Bila ini terjadi, barulah
kita bisa mengkalim diri sebagai perusahaan yang inovatif. Bayangkan saja,
betapa makmurnya negara kita, bila ada 50 persen perusahaan-perusahaan inovatif
di Indonesia.
Refleksi Buat Paroki
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan
bahan permenungan buat pengembangan sebuah paroki.
1.
Tulisan
di atas mau mengatakan bahwa kita dapat maju jika kita berani meninggalkan
sesuatu yang lama dan beralih kepada sesuatu yang baru. Hal yang sama juga
dengan pengembangan paroki. Pastor paroki bersama umat harus berani menemukan
cara atau hal baru dalam berpastoral. Jika menemukan sesuatu yang baru yang
dirasakan baik dan berguna bagi pengembangan paroki, maka sesuatu itu harus
diterima dan dijalankan. Yang penting sesuatu itu tidak bertentangan dengan
iman dan kebijakasanaan keuskupan.
Untuk itu pastor paroki harus
memiliki inisiatif pribadi dalam mencari dan menemukan gagasan baru. Tentulah
setiap pastor memiliki “otak” sendiri yang darinya bisa digunakan untuk
berpikir. Amat sangat disayangkan jika pastor berjalan dengan menggunakan
“otak” orang lain. Jangan takut salah. Dalam pengembangan karya pastoral, cara try and error dalam diterapkan. Yang
penting selalu diadakan evaluasi.
2.
Hendaklah
pastor paroki memiliki sikap rendah hati dan mau mendengarkan. Yang didengarkan
ini adalah rekan sekerja dan juga umat. Orang yang mau mendengarkan adalah
orang yang rendah hati. Pastor paroki jangan merasa tersaingi bila rekan kerja
atau umat menyampaikan usul saran atau bahkan pandangan kritis. Pastor paroki
jangan merasa bahwa pendapat atau gagasannya adalah yang paling benar. Gagasan
itu harus rela diuji dan dikritisi oleh rekan kerja dan umat.
Karena itu, adalah suatu keprihatinan
jika pastor paroki selalu memaksakan kehendaknya (gagasan) sendiri, sekalipun
gagasannya kurang baik. Malah ada pastor paroki yang berusaha mempertahankan
gagasannya dengan membawa atau mengatas-namakan institusi tertinggi, misalnya
uskup atau keuskupan. Sikap seperti ini dapat menghambat perkembangan karya
pastoral.
Jangan takut dengan perbedaan
pendapat. Justru perbedaan pendapat itu menunjukkan dinamika kehidupan. Dengan
adanya perbedaan pendapat, kita dapat melihat sesuatu dari berbagai macam sudut
pandang. Oleh karena itu, Suasana kritik mengkritik yang positif, serta tantang
menantang ide perlu digalakkan.
3.
Jadikanlah
umat sebagai sumber inspirasi. Jangan merasa diri hebat. Kebanyak pastor merasa
dirinya super sehingga menganggap
remeh umat. Ke-super-annya membuat
dirinya tidak menemukan sesuatu yang baik dan benar pada diri umat. Padahal ada
begitu banyak hal dari umat yang bisa digunakan untuk karya pastoral.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
dalam diri pastor kemampuan untuk mendengarkan suara umat. Untuk itu, sikap
yang harus ditumbuhkan adalah sikap rendah hati.
oleh:
adrian
sumber:
Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS,
23 Juni 2012, hlm 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar