Ketika muncul aksi penolakan
pembangunan gereja di salah satu daerah di Jawa Timur, yang dilakukan oleh
pengurus ranting NU, sontak warga Inronesia Raya kaget. Langsung saja aksi
tersebut menjadi viral di jagat net. Hal ini menjadi viral karena selama ini
orang mengenal NU sebagai islam garda terdepan bagi toleransi dan moderat.
Bahkan ada satu label yang kerap diberikan kepada NU, yaitu penjaga gereja.
Label ini diberikan karena salah satu anak NU, yakni banser, kerap menjaga
gereja kala hari raya keagamaan Kristen (natal dan paskah). Kenapa kali ini NU
bersikap kebalikan. Ada apa dengan NU.
Tidaklah heran akti penolakan
ini lantas menjadi pembicaraan banyak orang. Salah satunya adalah Ade Armando.
Dalam channel videonya, yang diberi judul “NU Itu Anti atau Pro Gereja?” pertama-tama
Ade meletakkan persoalan penolakan itu dalam konteks yang netral. Dari sini
kemudian Ade melontarkan satu pertanyaan mendasar: apakah NU sebenarnya
menghormati keberagaman atau tidak? Setelah melontarkan pertanyaan Ade pun
langsung menjawab, dimana intinya adalah sebagai berikut: tidak ada jawaban
tunggal, karena NU memang tidak tunggal.
Sebenarnya jawaban Ade terdiri
dari 2 kalimat. Pertama, tidak ada jawaban tunggal atas pertanyaan di
atas. Artinya, tidak ada jawaban hanya “ya” saja atau juga “tidak”
saja. Dari jawaban kalimat pertama ini, Ade lantas mengaitkan dengan NU sebagai
jawaban kalimat kedua: NU memang tidak tunggal. Ini berarti menghormati
atau juga tidak menghormati keberagaman itu ada dalam tubuh NU.
Kalimat kedua dari jawaban Ade ini sangat menarik. Ini benar-benar membuka mata banyak pihak. Dalam jawaban tersebut terlihat jelas Ade mengakui bahwa dalam organisasi NU ada yang menghormati keberagaman ada pula yang tidak menghormati keberagaman. Ade lantas memberi contoh tokoh-tokoh NU yang menghormati keberagaman, misalnya seperti Said Aqil Siraj, Gus Mus, Menteri Agama sekarang, dan masih banyak tokoh lainnya. Sedangkan tokoh NU yang tidak menghormati keberagaman disebutkan seperti Ustad Abdul Somad, Kyai Ma’ruf Amin (wakil presiden sekarang). Ma’ruf Amin masuk dalam kelompok ini karena peran dia dalam kejatuhan Ahok tahun 2017. Sekalipun dalam beberapa kesempatan Ma’ruf Amin tampil sebagai tokoh yang toleran, akan tetapi tetap harus dikatakan sikap dasarnya adalah intoleran. Masih banyak tokoh NU lain yang masuk dalam kelompok intoleran ini.
Terhadap dua kelompok ini
perlu diadakan pemahaman yang benar dan berimbang. Haruslah dikatakan bahwa
sosok-sosok seperti Said Aqil Siraj dan Gus Mus tidaklah bisa dikatakan
mewakili NU. Demikian pula Abdul Somad dan Ma’ruf Amin tidak bisa dilihat
sebagai perwakilan dari NU.
Apa yang menarik dari
keterangan yang diberikan Ade ini? Sekalipun berbeda sikap dalam menghadapi
keberagaman, haruslah dikatakan bahwa NU itu adalah ISLAM. Jadi, baik yang
menghormati keberagaman maupun yang tidak menghormati keberagaman, semua warga
NU adalah ISLAM. Nah, jika NU memang tidak tunggal, maka haruslah dikatakan
juga islam tidak tunggal. Jika ada islam toleran, maka ada juga islam
intoleran. Kalau ada islam moderat, berarti ada juga islam radikal. Apabila ada
islam damai, tentu ada pula islam permusuhan dan kebencian. Andai ada islam kasih, ada juga islam terror.
Jikalau ada islam pro NKRI, maka ada pula islam pro khilafah.
Dengan demikian jawaban “memang
NU tidak tunggal” yang berdampak pada kesimpulan islam juga tidak tunggal,
secara tidak langsung dan secara implisit, hendak mengakui keberadaan islam
radikal, intoleran, khilafah dan seterusnya. Artinya, radikalisme dan intoleran
itu adalah islam; atau terorisme dan khilafah itu memang sungguh islam. Ini
sekaligus menjadi kritik atas tanggapan umat islam moderat yang selalu
mengatakan bahwa teroris telah membajak islam; bahwa terorisme itu bukan islam;
bahwa radikalisme itu bukan islam, dan seterusnya. Jadi, kalau kita mengakui
keberadaan islam moderat, akui juga keberadaan islam radikal. Jika kita
mengakui adanya islam kasih dan damai, janganlah kita mengabaikan islam terror
dan penuh permusuhan. Islam itu memang tidak tunggal.
Tentulah sebagian orang akan
bertanya kenapa bisa terjadi seperti ini. Jawabannya sederhana: AL-QUR’AN.
Sumber utama islam adalah Al-Qur’an. Dari sumber ini mengalir ajaran dan
perintah kasih dan juga benci, damai dan permusuhan. Akan tetapi, bagi mereka
yang pernah belajar Al-Qur’an, sebenarnya tahu bahwa tidak ada dikotomi atau
dualisme dalam Al-Qur’an. Prinsip atau asas pembatalan sebenarnya membuat
Al-Qur’an menjadi tunggal, yaitu hanya tinggal kebencian, permusuhan dan
kekerasan. Hukum pembatalan telah menghapus ajaran dan perintah kasih dan
damai.
Dabo Singkep, 22 Maret
2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar