“Adalah
melalui Syariah, yang umumnya diterjemahkan sebagai “Hukum Islam”, (agama)
Islam diekspresikan dalam masyarakat Muslim… Syariah telah menerjemahkan Islam
dengan tepat. Jika Islam berarti tunduk kepada Kehendak Allah, maka Syariah
adalah jalan yang menunjukkan bagaimana sikap tunduk itu diwujudkan, peta rute
yang sesungguhnya mengenai agama sebagai sebuah cara hidup. Oleh karena itu
bagi banyak orang Muslim, Islam adalah Syariah dan Syariah adalah Islam”.
(Ziauddin Sardar, Desperately Seeking Paradise, London, Granta
Books, 2004, h. 216-217)
Introduksi
Pada
abad 21 ada himbauan yang semakin besar untuk menerapkan Syariah di Barat,
terutama di Inggris Raya, dan agar Syariah diterapkan dengan seutuhnya di
banyak negara dengan mayoritas penduduk yang adalah orang Muslim. Syariah
adalah sebuah kata Arab yang berarti “jalan”. Pada masa kini kata itu digunakan
dalam pengertian “Hukum Islam”, yaitu sebuah sistem yang terperinci dari hukum
religius yang dikembangkan oleh para sarjana Muslim dalam tiga abad permulaan
Islam. Hukum ini mengekspresikan cara hidup Islam – lebih banyak daripada
Qur’an – dan merupakan kunci untuk memahami Islam.
Syariah
meliputi semua aspek kehidupan dan tidak memisahkan antara
wilayah sekuler dari wilayah religius. Syariah memberikan kerangka kerja yang
mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang, ritual-ritual
dan perintah-perintah yang menjadi panduan bagi seorang Muslim untuk menjalani
kehidupannya. Banyak orang Muslim yang percaya bahwa Syariah menjaga mereka
dari (berbuat) dosa seperti pagar atau sebuah penghalang di jalan. Syariah juga
merupakan sebuah penanda identitas yang memisahkan orang Muslim dari orang
non-Muslim. Syariah sangat mempengaruhi tingkah-laku dan cara pandang banyak
orang Muslim, bahkan di negara-negara sekuler dimana Syariah tidak mempunyai peranan
dalam pembentukan hukum disana.
Norma
Ilahi yang Sempurna
Banyak
orang Muslim percaya bahwa Syariah adalah hukum yang diwahyukan Tuhan, sempurna
dan kekal, mengikat individu-individu, kelompok masyarakat dan negara dalam
semua detilnya. Oleh karena itu mereka percaya bahwa kritik apapun terhadap
Syariah adalah sesat/bidat. Banyak orang Muslim Sunni yang percaya bahwa
Syariah sangat tidak bisa diubah, walaupun kelompok Syiah mengijinkan adanya
kemungkinan untuk menginterpretasi dan mengadaptasikannya ke dalam
keadaan-keadaan yang baru.
Orang
Muslim yang menyangkali validitas Syariah atau mengkritiknya dalam cara apapun
dipandang sebagai non-Muslim (kafir atau murtad) oleh kaum tradisionalis dan
Islamis. Oleh karena itu mereka menghadapi ancaman penganiayaan sebagai orang
yang murtad, dan kejahatan seperti ini, berdasarkan syariah harus dihukum mati.
Perkembangan
dan Karakteristik Syariah
Syariah
Mensistematisir Semua Tindakan Manusia
Syariah
adalah sebuah sistem legal yang kompleks yang bersumber dari teks-teks Qur’an
dan hadith (catatan tradisi perkataan dan perbuatan Muhammad) melalui
interpretasi, komentari dan kasus hukum. Syariah diciptakan dalam sebuah
konteks dalam mana orang-orang Muslim memegang kekuasaan politik, dan dengan
demikian kurang memberikan petunjuk bagi orang-orang Muslim yang hidup sebagai
kaum minoritas di bawah (pemerintahan) orang non-Muslim.
Syariah
berusaha menggambarkan secara terperinci semua kemungkinan perbuatan manusia,
membaginya menjadi halal dan haram. Kemudian membaginya lagi ke dalam berbagai
tingkatan yang baik atau jahat, seperti apa yang diwajibkan, dianjurkan,
netral, merupakan pilihan atau dilarang. Syariah merupakan kumpulan peraturan,
yang mengatur secara terperinci segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup
rohani, ibadah, ritual penyucian, pernikahan dan warisan, pelanggaran kriminal,
perdagangan dan tingkah-laku pribadi hingga ke detil yang sekecil-kecilnya.
Syariah juga mengatur pemerintahan dalam negara Islam dan hubungannya dengan
non-Muslim dalam negara tersebut sebagaimana juga dengan musuh-musuh di luar
negeri.
Mazhab-mazhab Hukum
Empat
mazhab hukum ortodoks Sunni, yang dinamai sesuai para pendirinya, dikembangkan
dan ditetapkan pada akhir abad ke-10. Mereka adalah mazhab Hanafi, Maliki,
Shafi’i dan Hanbali. Keempat mazhab ini berbeda dalam berbagai detil, termasuk
cara mereka dalam mengambil keputusan legal, tetapi mereka saling menerima satu
sama lain sebagai ortodoks. Versi Syiah sangat mirip dengan mazhab-mazhab
Sunni.
Karya
para pendiri mazhab tersebut dilanjutkan oleh para murid mereka, dan selama
lebih dari berabad-abad beberapa buku pegangan hukum yang telah banyak diterima
disusun oleh para sarjana terkemuka yang diperkirakan telah mengemukakan segala
sesuatu yang perlu diketahui mengenai hukum bagi semua generasi.
Para
pakar legal dan skolastik menafsirkan dan menerapkan Syariah dengan melihat
pada teks-teks Qur’an dan hadith yang relevan, yang telah disaring melalui
sejarah panjang preseden legal, buku-buku panduan dan komentar-komentar. Para
ahli hukum Muslim modern sering membedakan antara Syariah, hukum ilahi yang
diwahyukan, dan fiqh, yaitu penafsiran para ahli hukum mengenai Syariah.
Usaha-usaha
untuk Mereformasi dan Serangan Balik Kaum Islamis
Sejak
abad ke-19 ada upaya-upaya untuk mereformasi Syariah ke arah liberal untuk
dapat mengakomodasikannya ke dalam dunia modern. Umumnya para reformis melihat
kembalinya kepada sumber-sumber Islam sebagai “kunci emas” yang akan
menyembuhkan masyarakat Muslim dari ketertinggalan negara mereka dan kelemahan
di bidang politik. Banyak yang merendahkan otoritas dari ke-4 mazhab legal dan
tradisi-tradisi yang muncul kemudian; pendekatan ini memampukan para ahli hukum
untuk menyeleksi dan mencampur mazhab-mazhab yang berbeda, untuk menjadikan apa
yang baik bagi komunitas (maslaha) sebagai prinsip tuntunan yang utama. Umumnya
para reformis seperti itu menekankan pentingnya nalar, dan membedakan antara
inti dari nilai-nilai universal dalam Syariah (yang tidak dapat diubah dan
kekal) dan bagian yang lebih besar yang berurusan dengan relasi-relasi sosial
(yang terbuka terhadap perubahan dan adaptasi dengan konteks-konteks yang
baru).
Namun
demikian, dalam dunia Muslim kontemporer, para tradisionalislah dan terutama
kaum Islamis yang menjunjung cara pandang tradisional terhadap Syariah, dan
mereka ini yang mendominasi opini publik Muslim. Ini mengakibatkan para
reformis liberal hanya menjadi sekelompk kecil minoritas yang umumnya tinggal
di Barat. Para reformis liberal menghadapi tekanan yang berat dari kaum Islamis
dan tradisionalis yang mencap mereka sebagai orang yang murtad dan kafir dan
menyerang mereka secara verbal, secara legal dan secara fisik.
Syariah
dan Standar Modern
Orang
Muslim sering mengklaim bahwa Syariah sangat moderat berdasarkan
standar-standar dari abad ke-7 hingga ke-10 ketika Syariah itu diciptakan.
Namun demikian sejak saat itu Syariah tidak berubah, dan oleh karena itu sangat
keras dibandingkan dengan standar-standar dunia modern. Syariah menyalahi
banyak prinsip modern hak azasi manusia, kebebasan beragama dan kesetaraan
semua orang di hadapan hukum. Syariah secara inheren mendiskriminasi wanita,
non-Muslim dan “orang Muslim yang sesat”, demikian pula dengan orang Muslim
yang memilih untuk memeluk keyakinan lain.
Lima
Wilayah Utama dimana Syariah tidak Bersesuaian dengan Hak-hak Azasi Manusia
1. Penghukuman-penghukuman
Hudud
Ini
adalah penghukuman-penghukuman berat yang diberikan Syariah untuk beberapa
pelanggaran apabila seseorang menyebut dirinya sebagai Tuhan. Penghukuman untuk
kejahatan ini dipandang sebagai ketetapan ilahi dan tidak dapat diubah oleh
manusia. Penghukuman ini meliputi 100 kali cambukan atau dilempari dengan batu
sampai mati untuk perzinahan; 80 kali cambukan untuk tuduhan palsu mengenai
perzinahan; pemotongan tangan untuk pencurian; 40 atau 80 kali cambukan untuk
minum-minuman keras; pemenjaraan, amputasi atau hukuman mati (dengan cara
disalib untuk kasus-kasus yang berat) untuk perampokan di jalan; dan hukuman
mati karena murtad dari Islam. Banyak sarjana Islam, akademisi dan penceramah
populer mendukung penerapan hukuman hudud di masa kini, karena melihatnya
sebagai penanda identitas dari kebangkitan Islam yang sejati. Para sarjana
Islam yang ternama menanggapi secara negatif sebuah himbauan pada Maret 2005
oleh seorang profesor Islamis yang populer, Tariq Ramadan, untuk menghentikan
hukuman hudud secara temporer. Ada yang mengklaim bahwa usaha apapun untuk
memperlunak Syariah berarti menyerah pada konsep-konsep Kristen Barat.
2.
Yahudi, Kristen dan non-Muslim lainnya
Diskriminasi
berdasarkan agama adalah sesuatu yang fundamental bagi Syariah. Islam harus dominan
dan hanya orang Muslim yang merupakan warga negara penuh, maka orang Muslim
diperlakukan jauh lebih superior terhadap semua yang lainnya.
Orang
Yahudi dan orang Kristen disebut sebagai kaum dhimmi (secara literal berarti
“orang-orang perjanjian [yang dilindungi]” yaitu yang diijinkan untuk hidup).
Namun demikian perlindungan ini berdasarkan syarat bahwa mereka tidak memiliki
senjata, mengetahui kedudukan mereka yang rendah dalam masyarakat,
memperlakukan orang Muslim dengan hormat, membayar pajak khusus (jizya), dan
tidak bersikap arogan.
Banyak
hukum Syariah yang sepele digunakan untuk membatasi dan menghina kaum dhimmi
dalam hidup keseharian mereka. Mereka dapat menjalankan keyakinan mereka dalam
sinagoge dan gereja mereka tetapi tidak di tempat-tempat umum (lonceng-lonceng
tidak boleh dibunyikan), Tidak boleh membangun gereja, dan gereja-gereja yang
sudah ada tidak boleh diperbaiki. Kaum dhimmi tidak dapat bersaksi dalam sebuah
pengadilan Syariah terhadap seorang Muslim. Mereka tidak boleh menyaksikan iman
mereka kepada orang Muslim. Mereka tidak boleh memegang jabatan publik yang
menempatkan mereka dalam posisi yang mempunyai otoritas atas orang Muslim. Yang
dapat mereka lakukan hanyalah melayani para penguasa Muslim mereka dengan
kapasitas administratif mereka. Secara umum sikap penghinaan terhadap
non-Muslim selama berabad-abad diciptakan dengan menerapkan hukum seperti
itu; berarti bahwa bahkan di negara-negara Muslim sekuler modern yang secara
konstitusional menjamin kesamaan hak bagi semua warga negara, non-Muslim
mendapatkan diskriminasi dalam banyak hal. Kaum pagan non-Muslim, dalam Syariah
klasik harus diberi pilihan memeluk Islam atau mati.
3.
Bidat Muslim dan orang murtad
Orang-orang
Muslim yang menerima pengajaran yang dianggap sesat oleh kaum ortodoks Islam
menurut Syariah harus disamakan dengan paganisme dan oleh karena itu pantas
untuk dihukum mati. Hal yang sama berlaku pada orang Muslim yang memeluk agama
lain (murtad), mereka dipandang sebagai pengkhianat. Semua mazhab Syariah
sepakat bahwa seorang pria dewasa yang murtad dari Islam harus dibunuh. Bahkan
jika hukuman mati tidak dilaksanakan, pernikahan mereka otomatis dibatalkan dan
mereka menghadapi hukuman-hukuman berat seperti pembuangan, tidak mendapat hak
waris, kehilangan harta benda, ancaman-ancaman, pemukulan, penyiksaan, dan
pemenjaraan.
Banyak
kaum sekuler atau Muslim liberal yang mendapati diri mereka berada dalam bahaya
karena digolongkan sebagai orang yang murtad sebab mereka mempunyai pandangan
yang oleh kelompok-kelompok religius atau kaum Islamis militan dianggap sesat.
Sekte-sekte “bidat” Muslim mendapat siksaan yang sangat berat. Inilah yang
terjadi pada sekte Ahmadiyah di Pakistan dan Indonesia, dan agama Bahai di
Iran.
4.
Perang Suci – jihad
Syariah
mengemukakan jihad sebagai salah satu kewajiban agama yang paling mendasar,
dengan jelas menyebutkan melalui daftar regulasi bahwa jihad dipahami sebagai
peperangan fisik. Yang berkaitan dengan konsep jihad adalah pembagian dunia ini
menjadi dua wilayah yang beroposisi: Rumah Islam (Dar al-Islam) dan Rumah
Perang (Dar al-Harb). Orang Muslim harus mengobarkan jihad untuk mengubah Rumah
Perang (dimana orang non-Muslim mendominasi secara politis) menjadi Rumah Islam
(yang secara politis didominasi oleh orang Muslim). Sementara beberapa orang
Muslim modern menolak pemahaman yang agresif mengenai jihad yang seperti ini,
kebanyakan orang Muslim setuju bahwa jihad meliputi mempertahankan wilayah
Muslim dan orang-orang Muslim dari segala bentuk agresi; ini mengakibatkan
terbukanya pintu untuk mengiterpretasi konflik apapun yang melibatkan orang
Muslim sebagai sebuah kasus jihad yang defensif. Kelompok-kelompok teror Islam
membenarkan kejahatan mereka dengan memakai peraturan Syariah mengenai jihad.
5.
Status wanita
Syariah
juga melakukan diskriminasi atas dasar jender. Pria dipandang lebih superior.
Wanita diperlakukan sebagai kaum yang kurang kecerdasannya, moral dan agamanya,
dan oleh karena itu harus dilindungi dari kelemahan mereka sendiri. Aturan
Syariah menekankan kesopanan dalam berpakaian dan bertingkah-laku dan segregasi
jender. Mereka menempatkan wanita di bawah perwalian legal dari kerabat pria.
Para wanita secara inheren kurang bernilai daripada pria di banyak bidang
pemerintahan. Seorang pria diperbolehkan beristri hingga 4 orang, tetapi wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. Seorang pria dapat menceraikan istrinya
dengan mudah; seorang wanita akan menghadapi rintangan yang sangat besar jika
ia hendak menceraikan suaminya. Hak waris seorang anak perempuan hanya separoh
dari bagian anak laki-laki, dan kesaksian seorang wanita di pengadilan hanya
bernilai separoh dari kesaksian seorang pria. Dalam kasus-kasus pembunuhan,
kompensasi untuk seorang wanita lebih sedikit daripada untuk pria.
Di
banyak masyarakat Muslim, segregasi di depan publik ditekankan atau diberlakukan.
Pengadilan-pengadilan Syariah sering menunjukkan bias jender yang jelas. Ini
terlihat dengan banyaknya praktek menuduh korban-korban perkosaan sebagai
pelaku hubungan seksual yang tidak baik (zina), sebuah pelanggaran yang
mendatangkan hukuman-hukuman yang berkisar antara pemenjaraan dan dicambuk atau
dilempari batu sampai mati. Oleh karena itu si korban diubah menjadi si
penjahat. Banyak jumlah korban perkosaan di Pakistan yang dipenjarakan oleh
karena hal ini. Di beberapa negara, seperti di Turki dan Tunisia, aturan-aturan
sekuler telah memperbaiki situasi yang dialami wanita. Belum lama ini
Marokko meluncurkan sebuah versi aturan Syariah mengenai keluarga yang jauh
lebih liberal, yang memberikan lebih banyak kesetaraan untuk wanita.
Tantangan
Syariah di Negara-negara Barat
Syariah
memberikan sebuah tantangan terhadap masyarakat Barat oleh karena adanya
tekanan konstan dalam komunitas Muslim untuk mengimplementasikannya dan
memperlebar pengaruhnya. Bagi banyak orang Muslim di negara Barat, hukum
sekuler kurang memiliki legitimasi terutama dalam hal hukum keluarga. Sebuah
survey yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa dua per tiga orang Muslim
Inggris lebih memilih mengikuti Syariah dalam kasus-kasus dimana hukum kerajaan
Inggris berseberangan dengan hukum Islam.
Banyak
Muslim mengklaim bahwa mereka mempunyai hak sebagai kelompok religius minoritas
untuk mengikuti kebiasaan dan hukum mereka sendiri, termasuk Syariah. Ada
himbauan-himbauan yang diberikan agar Syariah diberi tempat untuk turut
membentuk hukum sipil Inggris. Beberapa kelompok Muslim telah berkampanye untuk
inkorporasi legal hukum keluarga Islam ke dalam sistem hukum Inggris. Pada 1990
Institut Muslim menyarankan agar “diciptakannya sebuah kerangka kerja legal
Muslim untuk memutuskan kasus-kasus yang kemudian dapat diakui validasinya
dalam hukum Inggris”.
Diciptakannya
Sebuah Alternatif Kerangka Kerja Legal yang Paralel
Banyak
orang Muslim di negara Barat berusaha untuk sedapat mungkin hidup sesuai
peraturan Syariah, menciptakan sebuah peluang dimana para sarjana religius dan
pengacara Islam menawarkan jasa mereka. Ini telah menciptakan sebuah alternatif
struktur legal dalam pengadilan-pengadilan dan dewan-dewan Syariah.
Semakin
menguatnya jejaring paralel institusi-institusi Islam, maka semakin kuat pula
tekanan dilancarkan pada orang Muslim untuk menggunakannya (Syariah) terhadap
institusi-institusi non-Muslim. Sekali alternatif Syariah digunakan, itu
kemudian akan menjadi kewajiban bagi orang Muslim untuk menaati Syariah dalam suatu
kasus tertentu.
Yang
serius dipertanyakan adalah besarnya jumlah tekanan sosial, keluarga dan
komunitas yang harus ditanggung anggota-anggota yang paling lemah dalam
komunitas Muslim – terutama kaum wanita dan anak-anak – untuk menaati
keputusan-keputusan pengadilan seperti itu bahkan ketika mereka ditempatkan
pada posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan keputusan-keputusan
yang diberikan dalam sistem pengadilan resmi Inggris. Bagi mereka yang hidup
dalam komunitas-komunitas yang picik dan mempunyai ikatan tradisional yang
kuat, menaati tekanan-tekanan seperti itu adalah hal yang tidak dapat
terelakkan.
Banyak
pemimpin Muslim secara konstan memberi tekanan pada masyarakat Barat,
institusi-institusi dan sistem-sistem legal untuk sedapat mungkin mengadaptasi
konsep-konsep dan model-model syariah Muslim, sementara pada waktu yang sama
membangun alternatif sistem Syariah mereka sendiri.
Pernikahan
Anak-anak
Di
beberapa negara Muslim pernikahan anak-anak adalah sah. Bagi banyak orang
Muslim tradisional, pernikahan anak-anak dapat diterima karena Muhammad
menikahi istri kesayangannya Aisha ketika ia masih berusia 6 tahun dan
mewujudkan perkawinannya itu ketika Aisha berusia 9 tahun. Inilah sebabnya
mengapa, setelah revolusi Iran pada 1979, para penguasa Iran yang baru,
menurunkan usia minimum pernikahan untuk anak perempuan menjadi 9 tahun.
Baru-baru ini di India, All India Muslim Personal Law Board berusaha untuk
mendapatkan pengecualian bagi orang-orang Muslim dari batas usia minimun yang
sah yaitu 18 tahun yang ditetapkan oleh hukum India. Menurut dewan tersebut,
pernikahan anak-anak adalah bagian dari Syariah yang bersifat “absolut, final
dan tidak dapat dinegosiasikan”.
Bahkan
di Inggris pernikahan anak-anak dimungkinkan. Konsul Syariah Darul Uloom London
memberikan beberapa aturan mengenai perceraian di website-nya, yang sangat
jelas mengindikasikan bahwa konsul tersebut mempertimbangkan kemungkinan
menceraikan anak-anak perempuan yang usianya belum lagi mencapai masa puber.
Poligami
Di
bawah Syariah seorang pria diijinkan untuk beristri hingga 4 orang. Poligami
diijinkan di banyak negara Muslim tapi dilarang di negara-negara Barat. Ini
menimbulkan masalah bagi penduduk Muslim di Barat yang menikahi istri lain baik
sebelum imigrasi mereka (ke Inggris) atau ketika mereka mengunjungi “kampung
halaman/negara asal” mereka. Parlemen Muslim Inggris Raya telah mengeluh bahwa
banyak keluarga yang dipaksa untuk hidup di luar hukum karena pernikahan
poligamis mereka tidak diakui di Inggris. Diperkirakan jumlah keluarga yang
menjalani poligami di Inggris ada ratusan.
Sunat
perempuan
Praktek
sunat pada perempuan banyak terjadi di beberapa komunitas Muslim, terutama di
Mesir, Afrika Timur, Yaman dan Indonesia. Beberapa pemimpin Muslim mengutuk
praktek ini sebagai praktek yang tidak islami tapi banyak yang percaya bahwa
hal ini telah ditetapkan dalam Syariah. Mereka juga percaya bahwa ini penting
untuk menjaga kesucian wanita karena kehormatan keluarga bergantung pada hal
ini. Pada 1994 mantan Sheik Al-Azhar, Mesir, Jad Al-Haqq ‘Ali Jad Al-Haqq,
memerintahkan bahwa sunat adalah kewajiban Islam bagi wanita sama seperti pria.
Di Inggris ini adalah pelanggaran kriminal berdasarkan Undang-undang Pelarangan
Sunat Bagi Wanita tahun 1985 (1985 Prohibition of Female Circumcision Act),
tapi diperkirakan ada 7.000 anak perempuan di Inggris berada pada usia yang
beresiko menjalani prosedur ini kapan saja. Untuk menghindari hukum ini,
keluarga mereka membawa mereka ke luar negeri untuk berlibur dan kemudian
menyunatkan mereka di luar Inggris.
Kerudung
Dalam
Syariah ada perbedaan antara berbagai mazhab hukum berkenaan dengan sejauh mana
wanita dapat terlihat di depan publik. Mazhab hukum Hanafi dan Maliki
mengijinkan wajah dan tangan untuk terlihat di depan umum, maka tidak perlu
mengenakan cadar di wajah. Diantara kelompok Hanbali ada dua opini, beberapa
mengijinkan wajah dan tangan terlihat, yang lainnya melarang. Kelompok Shafi’i
menuntut agar wajah dan tangan wanita harus ditutupi jika tampil di depan umum,
maka wanita dituntut untuk mengenakan semacam cadar di wajah. Nampaknya
mayoritas sarjana klasik setuju bahwa wajah wanita boleh diperlihatkan,
sedangkan sekelompok minoritas mengatakan bahwa wajah harus ditutupi. Maka
prakteknya beragam di tiap wilayah bergantung pada mazhab hukum mana yang
diikuti di daerah itu.
Baik
Qur’an dan hadith mendesak kesopanan wanita dalam berpakaian dan memerintahkan
mereka untuk menutupi diri mereka di depan publik. Problem ini adalah masalah
interpretasi kata-kata asli Arab yang digunakan. Misalnya kata “jilbab” jelas
merupakan pakaian luar, tapi seperti apa? Apakah semacam jubah yang menutupi
pakaian dalam, ataukah menutupi kepala, dan wajah dan juga pergelangan kaki?
Apakah kata lainnya yaitu “juyub” berarti hanya dada, atau juga berarti kepala,
wajah, leher dan dada?
Beberapa
wanita Muslim modern di Barat mengadopsi versi yang sangat ketat sebagai cara
untuk menyatakan identitas Muslim mereka. Nampaknya organisasi-organisasi
Muslim di Barat memanipulasi isu ini lebih jauh lagi hingga melakukan
islamisasi kelompok masyarakat dimana mereka berdiam. Jelaslah menutupi wajah
merupakan masalah bagi keamanan dan upaya-upaya pemberantasan terorisme. Namun
di Amerika, Council on American-Islamic Relations telah berhasil membujuk
negara bagian Kansas, Pennsylvania, Indiana, Montana, dan Washington untuk
mengijinkan para wanita Muslim agar mereka boleh menutupi wajah mereka saat
mereka difoto untuk Surat Ijin Mengemudi mereka, dan hanya mata mereka yang
terlihat.
Ekonomi
Dalam
dua dekade terakhir ada pertumbuhan spektakuler dalam keuangan dan perbankan
Islam di seluruh dunia, terutama di negara-negara Muslim, tetapi yang belum
lama ini juga terjadi di Barat. Pada masa lalu tidak ada semacam dewan yang
memikirkan masalah ekonomi, tapi kaum Islamis modern telah mentransformasi
berbagai aturan syariah yang berceceran mengenai perdagangan dan transaksi
keuangan menjadi sebuah sistem ekonomi yang komprehensif. Namun demikian tidak
semua orang Muslim setuju dengan kaum Islamis yang mengatakan bahwa diperlukan
adanya sistem ekonomi Islam yang terpisah. Debat diantara orang Muslim berpusat
pada arti pelarangan riba dalam Qur’an. Beberapa Muslim menerjemahkan riba
sebagai “laba”; oleh karena itu mereka cenderung mengijinkan bunga yang ringan.
Namun demikian kaum Islamis yang menginterpretasikan riba hanya sebagai
“bunga”, beranggapan bahwa bunga dalam bentuk apapun adalah tidak islami; oleh
karena itu mereka percaya bahwa adalah salah untuk berpartisipasi dalam sistem
ekonomi yang normal dan menuntut adanya pemisahan produk-produk keuangan Islam.
Interpretasi
yang melarang semua bentuk bunga nampaknya kini telah menang.
Sebagai tambahan institusi-institusi Barat telah memberikan produk-produk
keuangan Syariah, Dow Jones di Amerika telah memproduksi
Islamic Market Index (DJIM). Saat keuntungan minyak dan sumber-sumber kekayaan
Muslim lainnya didaur ke dalam produk-produk investasi Islam, pasar keuangan
Islam akan mengklaim saham yang terus bertambah di pasar global. Ini berarti
bahwa institusi-institusi Barat secara perlahan akan memilih untuk mengislamkan
sistem mereka sendiri, dalam usaha untuk tetap menguasai saham mereka dalam
pasar yang menguntungkan ini. Maka orang non-Muslim tidak mempunyai pilihan
lain selain menggunakan produk-produk dan sistem keuangan Islam.
Produk-produk
Halal
Berdasarkan
Syariah, makanan tertentu seperti babi dan alkohol haram untuk orang Muslim.
Syariah juga mengatakan bahwa pemotongan hewan harus dilakukan oleh orang
Muslim dengan sebuah ritual religius yang meliputi pemotongan leher hewan itu
dan mengeluarkan darahnya sampai habis. Membuat hewan itu pingsan sebelum
pemotongan juga dilarang. Hanya daging yang dihasilkan melalui pemotongan
dengan cara demikianlah yang dipandang halal (diijinkan) untuk dimakan. Makanan
halal disediakan di banyak institusi publik di Inggris seperti di
sekolah-sekolah, rumah-sakit dan penjara. Kadangkala disajikan untuk semua
orang, tanpa memandang agama. Demikian pula, kebanyakan domba yang diekspor
dari Selandia Baru adalah halal, apakah itu akan dikirim ke sebuah negara yang
mayoritas Muslim atau ke Barat. Konsul Muslim Inggris telah merekomendasikan
bahwa metode Islam dalam memotong hewan dapat diadopsi secara universal untuk
semua konsumen. Kecenderungan ini dapat dilihat sebagai bagian dari proses
Islamisasi, sehingga orang non-Muslim pada akhirnya akan menjalani hidup sesuai
aturan-aturan Islam.
Walaupun
Qur’an secara spesifik hanya melarang babi dan alkohol, Konsul Makanan dan
Nutrisi Amerika telah membuat sebuah daftar yang memuat 36 kategori makanan,
minuman, dan produk-produk kosmetik yang berbeda yang meliputi 301 produk yang
sesuai dengan tuntutan Syariah. Produk-produk seperti ini tidak boleh
mengandung bahan-bahan yang dilarang (babi dan alkohol) dan harus diproses
menurut panduan Islam. Untuk menjaga proses setifikasi agar tidak dipalsukan,
orang-orang Muslim di New Jersey, Illinois, Minnesota, Michigan, Texas,
Virginia dan California telah berhasil membujuk para legislator mereka
untuk menerbitkan undang-undang halal.
Prinsip
Syariah Digunakan untuk Mengijinkan Eksistensi Minoritas Muslim di Barat
Di
bawah pembagian tradisional dunia menjadi Rumah Islam dan Rumah Perang, para
sarjana Muslim merekomendasikan agar orang Muslim yang berada di bawah
pemerintahan non-Muslim harus kembali pindah ke negara-negara Muslim sehingga
akan lebih mudah bagi mereka untuk hidup menurut Syariah. Dewasa ini, banyak
sarjana menerima validitas Muslim yang tinggal di Barat di bawah pemerintahan
non-islami, tetapi bergumul dengan pembenaran legal dan implikasi dari situasi
tersebut. Beberapa pemimpin Muslim di Barat menjadikan ketaatan kepada hukum
negeri itu tergantung pada keselarasannya dengan syariah atau tidak. Menurut
Imam Muhammad Taher dari Mesjid Agung Leeds, ketika hukum negeri itu
berkontradiksi dengan Syariah, maka hukum negara itu tidak berlaku bagi orang
Muslim dan mereka tidak usah menaatinya.
Namun
demikian, beberapa sarjana modernis telah berusaha mendefinisikan kembali
negara-negara Barat sebagai bagian dari “Rumah Islam” tapi ini telah ditentang
dengan keras oleh kebanyakan orang Muslim. Yang lainnya telah mengembangkan
konsep-konsep seperti mendefinisikan negara-negara Barat sebagai “Rumah Aman”
(Dar al-Aman) atau “Rumah Perjanjian” (Dar al-‘Ahd) untuk membenarkan
orang-orang Muslim yang hidup di negara-negara Barat dan mematuhi norma-norma
Syariah.
Prinsip
“darura” Syariah digunakan oleh banyak sarjana Muslim untuk membenarkan
minoritas Muslim yang tinggal di Barat yang mengadaptasi norma-norma Barat,
termasuk menaati sistem legal Barat dan loyal pada negara-negara Barat. Darura
menyatakan bahwa dalam keadaan genting yang mengancam jiwa dan kesejahteraan
Muslim, yang tidak sah dapat menjadi sah (kepentingan mengatasi larangan), maka
mengijinkan orang-orang Muslim di sebuah negara non-Muslim untuk
mengesampingkan peraturan-peraturan Syariah yang berkonflik dengan hukum negeri
itu.
Sheikh
Tantawi dari Universitas al-Azhar University, Kairo biasa menggunakan argumen
ini untuk membenarkan orang-orang Muslim di Perancis yang menaati larangan
mengenakan kerudung/jilbab di sekolah-sekolah dan di institusi publik lainnya.
Sarana-sarana legal lainnya diberlakukan demi kebaikan publik (maslaha) dan
ijin untuk menggunakan aturan-aturan yang sesuai dari mazhab hukum manapun dan
tidak hanya membatasi diri pada satu mazhab hukum saja.
Sementara
semua ini adalah sarana yang bermanfaat bagi kaum Muslim moderat untuk
membenarkan kehidupan mereka di tengah masyarakat yang non-Muslim, secara umum
hal ini hanya dipandang sementara, diterapkan hanya pada waktu Muslim mengalami
kesulitan. Implikasinya adalah semua Muslim harus berjuang untuk mengubah
situasi yang tidak ideal ini demi terwujudnya cita-cita dominasi politik Muslim
dan pemerintahan Syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar