Sesungguhnya
orang-orang yang ada di sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah
dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud. (QS 7: 206)
Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang disampaikan
langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Apa yang tertulis dalam kitab
itu, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas, diyakini sebagai
perkataan Allah sendiri. Keyakinan ini didasarkan pada firman Allah sendiri yang
banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu, umat islam akan marah
jika ada yang melecehkan Al-Qur’an. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama artinya
pelecehan terhadap Allah, dan umat islam wajib bangkit untuk melawan. Allah
sudah memberi perintah agar umat islam membela Allahnya yang mahakuat dan maha
perkasa. Dan terhadap pelaku pelecehan, Allah sudah menentukan hukumannya. Dalam
QS al-Maidah: 33 ditegaskan bahwa hukuman bagi
orang-orang yang memerangi Allah hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka secara silang.
Dari
pemahaman di atas dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas
merupakan wahyu Allah. Apa yang tertulis di atas adalah kata-kata Allah
sendiri. Umat islam sangat yakin bahwa hanya Muhammad satu-satunya penerima
wahyu Allah. Dengan demikian, konteks Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan
Muhammad mendengar; atau Muhammad adalah lawan bicara Allah. Kutipan kalimat di
atas disampaikan Allah kepada Muhammad. Dengan kata lain, kutipan kalimat tersebut
didengar oleh Muhammad, yang kemudian dituliskan oleh pengikutnya. Jadi,
kutipan ayat di atas dilihat sebagai wahyu Allah, yang disampaikan Allah kepada
Muhammad.
Memang Allah sudah mengatakan bahwa wahyu-Nya jelas dan mudah. Sengaja Allah membuat mudah dan jelas wahyu-Nya mengingat para pengikut Muhammad umumnya dari kalangan orang bodoh. Dengan membuat jelas dan mudah, maka umat dapat dengan mudah memahami pesan yang hendak disampaikan Allah lewat wahyu-Nya. Demikian pula wahyu Allah dalam kutipan di atas: mudah dan jelas. Akan tetapi, jika ditelaah dengan kritis, dengan alat bantu ilmu bahasa, maka akan ditemukan persoalan.
Pertama-tama
harus disadari dan dipahami kembali kalau kutipan ayat di atas diucapkan oleh
Allah. Jadi, waktu itu Allah berkata kepada Muhammad dengan menyebut “Tuhanmu”.
Kata ‘Tuhan’ bisa dimaknai sebagai Allah. Nah, secara logika, kata
“Tuhanmu” sebagai Allah sama sekali tidak merujuk pada Allah yang sedang
berbicara. Demikian pula ketika
Allah menyebut “menyembah Allah” atau “menyucikan-Nya”, atau “hanya kepada-Nya
mereka bersujud”. Semua itu ditafsirkan sebagai Allah, namun bukan Allah yang
sedang berbicara. Karena jika yang dimaksud itu adalah adalah yang berbicara,
maka seharusnya redaksi wahyu Allah adalah “Sesungguhnya
orang-orang yang ada di sisi-Ku tidak merasa enggan untuk menyembah-Ku dan
mereka menyucikan-Ku dan hanya kepada-Ku mereka bersujud.” Dengan demikian,
dapatlah dikatakan jika kutipan kalimat di atas merupakan wahyu Allah, maka
haruslah dikatakan ada DUA Allah, yaitu Allah yang berbicara dan Allah lain
yang disembah-sujud dan disucikan oleh orang-orang yang ada di sisi-Nya.
Dengan
perkataan lain kalau kutipan tersebut ditempatkan pada konteksnya, yaitu Allah
berbicara kepada Muhammad, maka anggapan sebagai wahyu Allah menjadi tidak
logis. Terlihat jelas Allah ada dua. Tentulah hal ini bertentangan dengan
konsep tauhid islam. Haruslah berani dikatakan bahwa kutipan kalimat di atas
bukanlah wahyu Allah; atau bukan merupakan kata-kata Allah kepada Muhammad.
Kutipan di atas hanyalah merupakan kata-kata Muhammad. Itu adalah perkataan
Muhammad yang diletakkan di mulut Allah sehingga seolah-olah itu menjadi wahyu
Allah. Kebetulan pengikut Muhammad rada bodoh sehingga tidak paham apa yang
dikatakan oleh Muhammad. Mereka hanya terbuai dengan keindahan suara yang
dihasilkan dari pengucapan “wahyu Allah” tersebut.
Jadi,
bisa dikatakan kutipan kalimat di atas merupakan kata-kata Muhammad, yang
“dijual”nya sebagai wahyu Allah. Dengan demikian konteks Allah berbicara dengan
Muhammad sebenarnya tidak ada sama sekali. Itu hanya karangan Muhammad, atau bisa juga dikatakan sebagai kebohongan Muhammad.
Bisa direka bahwa saat itu Muhammad hendak menyampaikan kepada para pengikutnya
bahwa para pengikut Muhammad tidak merasa enggan untuk menyembah Allah dan
mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud.
DEMIKIANLAH
kajian logis atas surah al-Araf ayat 206. Dari kajian ini dapat disimpulkan 2
hal. Pertama, jika ayat 206 ini dipercaya sebagai wahyu Allah, artinya
yang tertulis ini adalah kata-kata Allah, maka haruslah dikatakan ada dua
Allah. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan konsep tauhid islam. Kedua, bertentangan
dengan kesimpulan pertama, haruslah dikatakan ayat 206 bukanlah asli perkataan
Allah. Jika bukan wahyu Allah, maka haruslah dikatakan bahwa ayat 206 ini
merupakan kata-kata Muhammad. Apa yang tertulis dalam ayat 206 ini merupakan
kata-kata Muhammad kepada para pengikutnya. Hal ini seakan membuktikan
pernyataan-pernyataan orang kafir di Mekkah dahulu bahwa Al-Qur’an tak lebih
dari rekayasa atau kebohongan Muhammad.
Dengan
dua kesimpulan tersebut, masihkah Al-Qur’an dinilai sebagai wahyu Allah? Dan
masihkan Al-Qur’an dipercaya sebagai kitab suci?
Lingga,
15 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar