Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap wanita islam identik dengan
kerudung, atau biasa disebut jilbab. Bahkan jilbab menjadi suatu kewajiban bagi
seorang muslimah. Karena itu, sejak anak-anak pun, perempuan mengenakan jilbab;
dan polisi wanita yang beragama islam pun menanggalkan seragam lazimnya dan
mulai memakai jilbab. Perintah ini datang dari Allah dengan perantaraan Nabi Muhammad,
sehingga wajib untuk diikuti.
Pendasaran kewajiban mengenakan jilbab ini dapat dijumpai dalam QS
al-Ahzab: 59. Bunyi surah tersebut adalah demikian, “Hai Nabi, katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’, yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam islam, selalu ada peristiwa yang mendasarkan turunnya firmal Allah
kepada Nabi Muhammad. Dan ada ilmu yang khusus mempelajari asal usul ayat-ayat
Al-Qur'an, yang dikenal dengan istilah Asbabun Nuzul.
Terkait dengan kewajiban jilbab, ada dua peristiwa yang menjadi sebab turunnya
surat ini.
Pertama, peristiwa yang dialami oleh seorang istri
Muhammad bernama Siti Saudah. Dikisahkan bahwa pada suatu hari Saudah keluar
rumah untuk keperluan. Pada waktu itu, Umar melihatnya dan berkata, “Hai
Saudah. Demi Allah, bagaimana pun kamu akan dapat mengenalmu. Karenanya cobalah
pikir mengapa engkau keluar?” Dengan tergesa-gesa ia pulang. Ketika bertemu
dengan Muhammad, ia berkata, “Ya Rasulallah, aku keluar untuk sesuatu
keperluan, dan Umar menegurku (karena ia masih mengenalku).” Karena peristiwa
inilah maka turun surah al-Ahzab: 59.
Kedua, peristiwa yang dialami oleh istri-istri
Muhammad. Diceritakan bahwa suatu malam, istri-istri Muhammad keluar dari tenda
untuk buang hajat (beol/pipis?). Pada waktu itu kaum munafiqin menganggu mereka
yang menyakiti. Hal ini diadukan kepada Rasulullah SAW, sehingga Rasul menegur
kaum munafiqin. Mereka menjawab, “Kami hanya menganggu hamba sahaya.” Setelah
peristiwa inilah maka turun surah al-Ahzab: 59.
Perlu diketahui bahwa pada saat peristiwa itu terjadi belum ada perintah
untuk mengenakan jilbab. Jadi, saat itu Saudah dan istri-istri Muhammad, bahkan
para istri pengikut nabi, tidak mengenakan jilbab. Kaum munafiqin mengira bahwa
mereka bukan istri Muhammad sehingga mereka menggodanya. Mereka tidak mengenal
sehingga dengan sendirinya menggoda. Akan tetapi, setelah peristiwa itu, maka
mulailah isteri-isteri Muhammad mengenakan jilbab. Demikian pula istri-istri
orang islam.
Namun ada beberapa persoalan, karena surah ini turun setelah ada dua peristiwa. Artinya, pewajiban mengenakan jilbab setelah turun surah al-Ahzab: 59. Pertama, kita tidak tahu waktu dari dua peristiwa tersebut, apakah peristiwa itu terjadi pada hari yang sama atau berlainan. Hal ini mengandaikan bahwa surah ini turun dua kali, yaitu saat Muhammad berbicara dengan Siti Saudah di rumah istri cantiknya, Aisyah, dan saat Muhammad menegur kaum munafiqin. Karena itu, bisa dipertanyakan, kenapa para istri Muhammad tidak mengenakan jilbab ketika mereka keluar hendak buang hajat? Bukankah surah pewajiban jilbab sudah turun ketika Muhammad berbicara dengan Siti Saudah? Atau sebaliknya.
Kedua, dalam surah al-Ahzab: 59 dikatakan bahwa
pengenaan jilbab memiliki tujuan supaya “mereka lebih mudah dikenal”. Di sini
dapat dipahami bahwa jika tidak mengenakan jilbab orang tidak akan dapat
mengenal. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “mengenal” di sini. Karena kalau
dilihat dari peristiwa pertama, yang menjadi dasar turunnya surah ini, Umar
tetap mengenal Saudah sekalipun dia tidak mengenakan jilbab (ini mengandaikan
bahwa surah pewajiban jilbab turun setelah peristiwa ini, sehingga dapat
dipastikan bahwa Saudah saat itu tidak mengenakan jilbab). Malah, jika mau
diikuti kejadian tersebut, pengenaan jilbab bertujuan supaya tidak dikenal
(bandingkan dengan perkataan Saudah, “karena ia masih mengenalku.”).
Ketiga, dalam surah al-Ahzab: 59 dikatakan bahwa
pengenaan jilbab memiliki tujuan supaya istri-istri Muhammad dan para istri
orang mukmin “tidak diganggu”. Ini tentulah didasarkan pada paristiwa
orang-orang munafiqin yang menganggu para istri Muhammad. Mungkin orang-orang
munafiqin ini tidak mengenal kalau yang sedang mereka ganggu adalah istri-istri
Muhammad. Seandainya pakai jilbab, pasti mereka kenal bahwa itu istri Muhammad,
sehingga tidak boleh diganggu. Hal ini kemudian diperluas menjadi tidak
mengganggu istri-istri para mukmin.
Di sini terlihat jelas bahwa peristiwa orang munafiqin menganggu para istri
Muhammad bertentangan dengan dengan peristiwa Umar yang menegur Saudah. Padahal
dua kejadian ini menjadi dasar turunnya surah al-Ahzab: 59. Dapatkah peristiwa yang
bertentangan menjadi dasar turunnya wahyu? Jika QS al-Ahzab: 59 ini diterapkan
pada peristiwa teguran Umar kepada Saudah, sama sekali tidak pas, karena
pengenaan jilbab bertujuan supaya tidak dikenal. Lagi pula saat itu Umar tidak
sedang menganggu Siti Saudah. Karena itu, jika memang ayat ini tidak cocok
dengan situasi saat itu, mungkinkah ada ayat lain yang pas untuk menjawab
situasi ini?
Keempat, ayat ini benar-benar membuat
diskriminatif. Perempuan yang tidak mengenakan jilbab boleh diganggu, sedangkan
yang memakai tidak. Padahal harkat dan martabat manusia, khususnya perempuan,
tidak terletak pada jilbab. Setiap orang berkewajiban untuk menghormati
perempuan, apakah dia mengenakan jilbab atau tidak. Ataukah Tuhannya Muhammad
memang bersikap diskriminatif? Kenapa Tuhan tidak menurunkan perintah supaya
orang, khususnya kaum pria, tidak menganggu perempuan?
Kelima, menjadi pertanyaan juga, apakah
terjamin bahwa jilbab sungguh-sungguh membuat perempuan tidak diganggu? Karena
sekalipun seorang perempuan sudah mengenakan jilbab, namun jika pria memang
suka menganggu, maka gangguan itu tetap saja terjadi. Biangnya ada pada kaum
pria yang tidak dapat menghormati dan menghargai perempuan. Kenapa prianya yang
tidak dibenahi?
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Lanjutkan ka e
BalasHapus