Pantaskah aku mencari
hakim selain Allah, padahal Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu
secara rinci? Orang-orang yang telah Kami beri kitab mengetahui benar bahwa
(Al-Qur’an) itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. (QS 6: 114)
Tak bisa dipungkiri bahwa umat islam percaya bahwa
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad, yang
kemudian ditulis di atas kertas. Sekalipun ada di kertas, tapi umat islam yakin
bahwa itu adalah kata-kata Allah sendiri. Karena Allah itu suci, maka kertas
yang ditulisi perkataan Allah itu adalah suci juga. Maka tak heran ketika ditemukan
lembaran-lembaran Al-Qur’an di tempat sampah, yang sebagiannya sudah terbakar,
umat islam merasa marah. Hal itu dilihat sebagai bentuk penghinaan terhadap
Allah. Allah sendiri sudah meminta umat islam untuk membunuh mereka yang
menghina-Nya (QS al-Maidah: 33).
Dasar keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan
wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad adalah perkataan Allah
sendiri. Allah sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari diri-Nya.
Berhubung Allah itu mahabenar, maka apa yang dikatakannya juga adalah benar.
Mana mungkin Allah yang mahabenar itu berbohong? Tak mungkin Al-Qur’an itu ciptaan manusia, karena manusia bisa
berbohong. Logika pikir orang islam kira-kira begini: bahwa Al-Qur’an itu wahyu
Allah karena Allah sendiri yang mengatakannya adalah benar, sebab Allah itu
mahabenar yang tak bisa berbohong.
Berangkat dari premis ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di
atas haruslah dikatakan berasal dari Allah dan merupakan satu kebenaran. Apa
yang tertulis di atas (kecuali kata “Al-Qur’an”), semuanya diyakini merupakan kata-kata Allah, yang
kemudian ditulis oleh manusia. Seperti itulah kata-kata Allah ketika diucapkan.
Dan perkataan Allah ini disampaikan kepada Muhammad,
karena hanya Muhammad saja sebagai penerima wahyu. Jadi, bisa dikatakan bahwa
konteks seluruh Al-Qur’an adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengar. Karena surah ini masuk
dalam kelompok surah Makkiyyah, maka bisa dipastikan bahwa Allah menyampaikan wahyu ini
saat Muhammad ada di Mekkah.
Jika kutipan kalimat Allah di atas dilepaskan dari konteksnya, maka pembaca akan dengan sangat mudah memahaminya; dan kalimat Allah itu sangatlah indah dan baik. Akan tetapi, akan berbeda jika kutipan teks di atas ditempatkan pada konteksnya. Orang yang mempunyai nalar akal sehat akan langsung menemukan keanehan dan persoalannya. Akar persoalan terletak pada 4 kata kunci, yaitu aku, Dialah, Kami dan Tuhanmu.
Pertama,
kata ‘aku’. Siapa yang dimaksud dengan ‘aku’ ini. Dalam kutipan ayat di atas,
kata ‘aku’ ini sama sekali tidak diberi keterangan. Namun secara linguistik dan
berdasarkan konteks Al-Qur’an, kata ‘aku’ ini merujuk pada Allah yang berbicara
kepada Muhammad. Mari kita perjelas persoalannya. Waktu itu Allah berkata,
“Pantaskah aku (Allah) mencari hakim selain Allah,…” Allah mencari hakim selain
Allah. Apa maksudnya? Apakah Allah hendak menduakan diri-Nya sendiri? Jika
Allah tidak mau diduakan, sebagaimana yang pernah diungkapkan-Nya, kenapa di
sini Allah menyatakannya? Apakah ada indikasi Muhammad telah menduakan Allah?
Kedua,
kata ‘Dialah’. Dengan sangat mudah kata ‘Dia’ di sini dimaknai sebagai Allah.
Hal ini terlihat dari penggunaan huruf kapital. Dari kalimat di atas terlihat
jelas bahwa Allah yang ini adalah Allah yang menurunkan Kitab, yang kemudian
ditafsirkan sebagai Al-Qur’an. Akan tetapi, secara linguistik dan juga akal
sehat terlihat jelas bahwa Allah ini bukanlah Allah yang berbicara. Allah yang
menurunkan Kitab tidak sama dengan Allah yang sedang berbicara kepada Muhammad,
yang menurunkan ayat di atas. Jika Allahnya satu dan sama, maka seharusnya kata
ganti yang dipakai adalah ‘Aku’. Dengan demikian, adanya kalimat ini hendak
menunjukkan kalau
Allah itu ada DUA. Apakah Allah ini terindikasi dijadikan hakim, sehingga Allah
yang berbicara berkata, “Pantaskah aku mencari hakim selain Allah”?
Ketiga,
kata ‘Kami’. Secara linguistik, kata ‘kami’ atau juga ‘kita’ merupakan kata
ganti orang ketiga jamak. Dalam ‘kami’ ada ‘aku’ dan ‘dia’; sedangkan dalam
‘kita’ ada ‘aku’ dan ‘engkau’. Memang kata ‘kami’ kerap digunakan juga sebagai
bentuk perhalus bahasa demi kesopanan. Dalam kutipan ayat di atas, kata ‘kami’
dengan sangat mudah dimaknai sebagai Allah. Hal ini terlihat dari penggunaan
huruf kapital. Tapi apakah Allah yang dimaksud adalah Allah yang sedang
berbicara kepada Muhammad? Dan apakah kata ‘kami’ yang dipakai hendak
menekankan kesopanan? Tentu saja keduanya bukan, karena diawal kalimat kata
ganti untuk Allah yang dipakai adalah ‘aku’. Karena dimaknai sebagai Allah,
maka kata ‘kami’ di sini merujuk pada Allah yang sedang berbicara dan juga
Allah yang menurunkan Kitab. Dengan kata lain, kata ‘kami’ mau menegaskan dan membuktikan kejamakan
Allah; Allah islam tidak hanya ada satu.
Keempat,
kata ‘Tuhanmu’. Berdasarkan konteksnya, kata ini diucapkan oleh Allah. Kata
‘Tuhan’ bisa juga diartikan dengan Allah. Jika dilihat dari aspek linguistik
dan juga secara nalar akal sehat, Allah yang terkandung dalam kata ‘Tuhan’ ini
bukanlah Allah yang sedang berbicara. Secara linguistik terlihat jelas Allah
yang dimaksud adalah Allah yang menurunkan Kitab. Jadi, bisa dikatakan bahwa di
sini Allah mau menyampaikan kepada Muhammad bahwa Kitab itu telah diturunkan
oleh Allahnya Muhammad dengan benar. Menjadi pertanyaan, apakah Allah yang
berbicara bukan Allahnya Muhammad? Bukankah Allah yang berbicara ini adalah
Allah yang menurunkan wahyu, yang kemudian menjadi Al-Qur’an? Di sinilah letak
kekacauan logika wahyu Allah. Di satu sisi terlihat Allah itu ada DUA, di sisi
lain terlihat kalau kutipan kalimat di atas bukanlah wahyu Allah.
DEMIKIANLAH
kajian logis atas persoalan yang muncul dari wahyu Allah dalam surah al-Anam
ayat 114. Dari kajian logis di atas ditemukan beberapa poin kesimpulan:
1. Jika
kutipan ayat di atas diyakini sebagai wahyu Allah, maka haruslah dikatakan
bahwa Allah islam ada DUA. Kedua Allah itu adalah Allah yang berbicara dan
Allah yang menurunkan Kitab.
2. Jika
kutipan ayat di atas diyakini sebagai wahyu Allah, maka haruslah dikatakan
bahwa Allah islam itu tidak sempurna dan tidak jelas. Bagaimana mungkin Allah yang
maha sempurna menghasilkan yang tidak sempurna dan kacau balau.
3. Jika
Allah itu diyakini sebagai maha sempurna, maka haruslah dikatakan bahwa kutipan
ayat di atas bukanlah dari Allah, tetapi hasil karya manusia yang pikirannya
kacau balau. Secara linguistik pun langsung terlihat kalau kutipan ayat di atas
adalah bahasa manusia, bukan wahyu Allah; bukan Allah yang sedang berbicara.
Bagaimana mungkin jika Allah yang berbicara tapi kata ‘aku’ tidak dimaknai
sebagai Allah, malah kata ‘dia’.
4. Jika
kutipan ayat di atas bukanlah dari Allah tapi dari manusia, maka bisa dikatakan
manusia yang melahirkan kutipan ayat di atas adalah manusia yang bodoh dengan
pemikiran yang kacau. Siapa manusia itu? Merujuk pada surah al-Anbiya ayat 5,
maka manusia dengan pikiran yang kacau itu adalah Muhammad. Pada surah ini
orang kafir sudah menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan hasil rekayasa Muhammad.
Pelabuhan
Pinang, 12 Agustus 2022
Mantap ka e
BalasHapus