Sungguh, bukti-bukti
yang nyata telah datang dari Tuhanmu. Barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka
(manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat
kebenaran itu), maka dialah yang rugi. Dan aku (Muhammad) bukanlah penjaga(mu).
(QS 6: 104)
Publik
sudah tahu kalau Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah
satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam. Hal ini disebabkan karena
Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung
berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad kemudian meminta pengikutnya untuk
menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di
dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an dikenal juga
sebagai wahyu Allah. Karena Allah itu maha benar, maka benar pula apa yang
tertulis di dalam Al-Qur’an. Selain itu, Al-Qur’an dinilai suci karena Allah
adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qur’an berarti juga penghinaan terhadap
Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberi bentuk hukuman bagi mereka yang menghina-Nya (QS al-Maidah: 33).
Al-Qur’an
dikenal juga sebagai kitab atau keterangan yang jelas. Kata “jelas” di sini
dimaknai bahwa apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an harus dimaknai secara lugas.
Dengan kata lain, ketika Allah berbicara, Allah tidak menggunakan kata-kata
kias. Karena itu, kata “membunuh” harus dipahami dengan tindakan menghilangkan
nyawa seseorang, tidak ada makna lain. Demikian pula dengan kata “perang” atau
“jihad”. Memang tidak semua perkataan Allah itu selalu bermakna lugas. Ada
beberapa yang memiliki makna kias, terlebih kata-kata yang berkonotasi seksual.
Misalnya, kata “bercampur” dimaknai dengan bersetubuh. Sekalipun memakai makna
kias, tetap saja perkataan Allah itu mudah dipahami, karena Allah sendiri sudah
berfirman bahwa diri-Nya telah memudahkan Al-Qur’an supaya mudah dipahami.
Berangkat dari premis-premis di atas, dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa kutipan di atas tidaklah sepenuhnya merupakan perkataan Allah. Tulisan yang berada di dalam tanda kurang harus diakui sebagai tambahan kemudian yang berasal dari tangan-tangan manusia. Dengan perkataan lain, kata-kata yang ada dalam tanda kurung tidak pernah diucapkan oleh Allah. Karena itu, aslinya wahyu Allah ini berbunyi sebagai berikut: “Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu. Barangsiapa melihat, maka bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta, maka dialah yang rugi. Dan aku bukanlah penjaga.”
Ketika
wahyu Allah berada dalam bentuk aslinya, maka yang dijumpai adalah
ketidak-jelasan makna. Apa bukti nyata yang datang dari Tuhan? Apa yang
dilihat? Apa maksud “bagi dirinya sendiri”? Apa dan siapa yang dijaga? Semuanya
tidak jelas. Dengan demikian, ia bertentangan dengan wahyu Allah sendiri, yang
menyatakan Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas. Yang ada sekarang sungguh
tidak jelas. Ketidak-jelasan ini akhirnya melahirkan kebingungan bagi umat
islam di kemudian hari. Akhirnya, dengan inisiatif mereka kemudian ditambahkan beberapa kata pada
wahyu Allah tersebut. Dengan penambahan itu maka wahyu Allah menjadi sedikit mudah
dipahami, yakni bahwa yang melihat kebenaran akan mendapatkan manfaat bagi
dirinya sendiri, sedangkan yang buta akan rugi sendiri; dan Muhammad bukanlah
penjaga. Sekalipun sudah ditambah beberapa keterangan, tetap saja wahyu Allah
ini menyisakan kebingungan dan juga persoalan.
Persoalan
yang ada dari kutipan kalimat Allah di atas adalah benarkah kutipan tersebut,
sekalipun tanpa tambahan keterangan, merupakan asli wahyu Allah. Artinya, kalau
teks di atas dipahami pada konteksnya, maka waktu itu Allah berbicara kepada
Muhammad. Apa yang dikatakan Allah itu, kemudian ditulis oleh pengikut
Muhammad. Tentulah Muhammad mengulang lagi apa yang dikatakan Allah. Karena
itulah, harus dipahami kutipan teks di atas merupakan perkataan Allah yang
disampaikan kepada Muhammad. Akan tetapi, jika kutipan ayat di atas ditempatkan
pada konteksnya, tentulah bagi orang yang masih punya nalar akal sehat segera
menemukan persoalan.
Setidaknya
ada 2 kata yang membuat kutipan di atas menjadi tidak logis sebagai wahyu
Allah. Pertama, “Tuhanmu”. Kata “Tuhan” di sini sama maknanya dengan
Allahmu. Pernyataan kalimat pertama
dari kutipan di atas: “bukti-bukti yang nyata telah datang dari Tuhanmu” yang
diucapkan oleh Allah, menunjukkan bahwa bukti-bukti nyata itu datangnya bukan
dari diri-Nya, tetapi dari Tuhannya Muhammad. Dengan demikian, ada DUA Allah/Tuhan,
yaitu Allah yang berbicara dan Allahnya Muhammad. Allah yang berbicara dan
Allah Muhammad ini merupakan 2 entitas yang berbeda. Jika keduanya satu dan
sama, seharusnya tidak dipakai kata “Tuhanmu”, tetapi langsung saja “Aku atau
Kami”. Kedua, “Aku”. Kata “aku” oleh ulama di kemudian hari diartikan
sebagai Muhammad. Sangat jelas ini bertentangan dengan logika akal sehat dan
juga ilmu bahasa. Jika konteks Al-Qur’an itu adalah Allah berbicara dengan
Muhammad, maka kata “aku” di sini merujuk pada Allah yang berbicara, bukan Muhammad.
Allah sebagai subyek orang pertama, sedangkan Muhammad orang kedua.
Demikianlah
kajian logis atas surah al-Anam ayat 104. Dari kajian sederhana ini terlihat
jelas betapa wahyu Allah itu kacau balau. Pernyataan Allah bahwa wahyu-Nya jelas
dan mudah tidak terlihat pada wahyu-Nya di ayat ini. Dengan kata lain, kutipan
ayat 104 ini menunjukkan pertentangan dengan pernyataan Allah. Hal inilah yang
akhirnya membuat orang bisa mengambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an, atau
setidaknya surah al-Anam ayat 104 bukanlah wahyu Allah. Harus berani jujur
untuk mengatakan kutipan ayat di atas merupakan hasil rekayasa atau karangan
Muhammad.
Tanjung
Pinang, 11 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar