Dan (ingatlah), ketika Allah
mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah
kepadamu lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada
pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya.” (QS 3: 81)
Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Di sana mereka
tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga mendapatkan
pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Al-Qur’an
biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan bertindak dalam hidup
keseharian, selain hadis. Umat islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari
Allah SWT kepada nabi
Muhammad SAW. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan
Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam Al-Qur’an. Jadi, Allah sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an
merupakan perkataan-Nya, sehingga apa yang tertulis di
dalamnya diyakini sebagai kata-kata Allah sendiri. Hal ini yang
membuat Al-Qur’an dihormati sebagai sesuatu yang suci. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah. Orang yang melakukan hal itu harus dihukum berat
dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka secara silang sesuai perintah Allah (QS al-Maidah: 33).
Selain
itu juga umat islam melihat Al-Qur’an sebagai keterangan
dan pelajaran yang jelas. Ini juga didasarkan pada perkataan Allah sendiri.
Allah telah mengatakan bahwa diri-Nya telah memudahkan ayat-Nya sehingga umat
dapat dengan mudah memahami. Sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup, Allah
memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga mudah dipahami oleh
umat islam. Tak sedikit ulama menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu
yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi
pesan Allah itu. Dengan perkataan lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna
dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan
apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Penafsiran
atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan kehendak Allah
sendiri.
Berangkat dari dua premis di atas, maka bisalah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Dan apa yang dikatakan Allah itu sangatlah mudah dan jelas. Kutipan kalimat Allah di atas sebenarnya terdiri dari 3 kalimat, namun yang ditampilkan di atas hanya kutipan kalimat pertama. Dan pada kutipan kalimat pertama ini, kata “ingatlah” yang ada dalam tanda kurung bukanlah kata-kata Allah, melainkan tambahan kemudian yang berasal dari manusia.
Berhubung
Allah sudah berfirman bahwa wahyu-Nya itu jelas dan mudah, maka makna kalimat
Allah di atas pun demikian. Tafsirannya sangat jelas. Hal ini bisa dibaca pada
catatan kaki yang ada dalam Al-Qur’an. Pada Al-Qur’an terbitan CV. Pustaka
Agung Harapan, tafsiran kalimat Allah di atas dijelaskan pada catatan kaki
nomor 130. Di sana dikatakan, “Para nabi berjanji kepada Allah swt, bahwa
bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan beriman kepadanya
dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para umatnya.” Jadi,
dengan sangat mudah ulama islam menafsirkan kata “rasul” dalam kalimat Allah di
atas dengan merujuk pada sosok Muhammad.
Benarkah
tafsiran tersebut di atas? Tulisan ini tidak langsung menjawab pertanyaan
tersebut. Kami tidak hendak menilai benar atau salah. Kami hanya mengulas kalimat
Allah tersebut dan berupaya menyandingkan tafsiran tadi. Dari kajian logis
ditemukan beberapa persoalan atas kutipan kalimat Allah di atas.
Terlebih
dahulu harus dipahami dan disadari konteks turunnya wahyu, tidak hanya surah
Ali Imran ayat 81 saja, tetapi semua wahyu Allah yang ada dalam Al-Qur’an.
Konteksnya adalah Allah berbicara kepada Muhammad. Umat islam percaya bahwa
hanya Muhammad seorang sebagai penerima wahyu Allah, tidak ada yang lain.
Artinya, Muhammad adalah satu-satunya lawan bicara Allah. Dialah yang
mendengarkan setiap wahyu Allah, yang kemudian ditulis dan jadilah kitab yang
bernama Al-Qur’an. Jadi, konteksnya adalah Allah berbicara dan Muhammad
mendengarkan.
Seperti
yang telah disampaikan di atas, umat islam yakin apa yang tertulis di dalam
Al-Qur’an merupakan perkataan Allah. Dengan demikian, kutipan ayat di atas
merupakan kata-kata Allah sendiri. Jadi, waktu itu Allah berfirman kepada
Muhammad: Dan, ketika Allah mengambil
perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu
lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu,
niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Secara
linguistik dan akal sehat, kutipan kalimat ini bukanlah berasal dari Allah.
Patut dicurigai ia berasal dari manusia. Ini terlihat dari adanya kata “Allah”.
Jika tetap berpegang bahwa kutipan ini berasal dari Allah, maka siapakah yang
dimaksud dengan “Allah” dalam wahyu Allah ini? Tidaklah mungkin “Allah” yang
disebut adalah juga Allah yang berbicara, karena hal ini jelas-jelas menyalahi
logika akal sehat. Dengan demikian, kalimat Allah ini secara implisit
memperlihatkan bahwa Allah islam itu ada DUA, yaitu Allah yang berbicara dan
Allah yang membuat perjanjian dengan para nabi. Jika kutipan kalimat Allah ini
sungguh berasal dari Allah dan Allah hanya ada satu, seharusnya Allah yang
berbicara tidak menggunakan kata “Allah”, tetapi harus kata “Aku”.
Persoalan
lain dari kutipan wahyu Allah di atas tampak pada masalah historis. Dalam
kalimat Allah itu dikutip klausul “perjanjian” Allah dengan para nabi: “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah
kepadamu lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada
pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya.” Menjadi pertanyaan kapan perjanjian tersebut dibuat, dan
dimana perjanjian itu dituliskan atau “naskah” perjanjian itu ada dimana? bisa
dipastikan tak ada kesepakatan ulama islam atas masalah ini, khususnya terkait
waktu. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan lanjutan seperti kenapa Allah tidak
langsung memberi tahu hal ini, bagaimana mungkin Allah yang mahatahu tidak
tahu, yang semuanya membuat orang berkesimpulan Al-Qur’an bukan kitab yang
sempurna. Terkait pertanyaan “dimana” tentulah ulama islam langsung mengatakan
kitab Taurat dan Injil. Namun jika ditanya dimana persisnya, mereka hanya
mengulangi kata-kata Allah bahwa umat Yahudi dan Kristen telah menyembunyikannya.
Sayangnya, mereka tidak bisa membuktikan hal itu, sehingga pernyataan soal
penyembunyian itu hanyalah ucapan kosong belaka.
Sekarang
kita lihat ulasan atas kutipan kalimat Allah di atas. Kita mengandaikan kutipan
itu merupakan kata-kata Allah, yang disampaikan kepada Muhammad. Perkataan
Allah ini sebenarnya ditujukan kepada orang Yahudi dan Kristen. Hal ini
terlihat dari kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya (ayat 72 – 78). Dengan kata
lain, Allah meminta agar Muhammad menyampaikan pernyataan-Nya itu kepada
mereka. Bila mengaitkan dengan tafsiran ulama islam, artinya Muhammad diminta
Allah untuk menyampaikan perjanjian Allah dengan para nabi Yahudi dan Kristen
bahwa saat datang seorang Rasul bernama Muhammad, dan mereka harus beriman
kepadanya dan menolongnya.
Jika
seperti ini yang terjadi, dapat dipastikan orang Yahudi dan Kristen saat itu
akan tertawa terpingkal-pingkal. Dan bukan tidak mustahil tudingan bahwa
Muhammad berbohong akan terlontarkan, sebagaimana bisa dijumpai juga dalam
ayat-ayat Al-Qur’an (QS 25: 4; QS 21: 5; QS 30: 58; QS 32: 3, dll). Setidaknya
ada 2 alasan orang Yahudi dan Kristen bersikap demikian.
1. Bagi
orang Yahudi dan Kristen, tidak akan ada rasul berasal dari luar bangsa Yahudi.
Kitab Suci dua agama ini berisi sejarah keselamatan manusia yang dimulai dari
bangsa Israel. Mungkin orang bertanya kenapa bangsa Israel? Hal ini lantaran
pilihan Allah. Allah telah memilih bangsa Israel untuk keselamatan umat
manusia, yang bagi umat kristiani berpuncak pada peristiwa penyaliban dan kebangkitan
Yesus. Kenapa Allah memilih Israel? Ini mutlak hak preogatif Allah. Sejarah
keselamatan Allah ini tertulis dalam kitab suci, dan sekali lagi di sana sama
sekali tidak ada janji Allah tentang kedatangan seorang rasul atau utusan yang
bukan dari bangsa Israel.
2. Dapat
dipastikan kalimat Allah di atas turun di Madinah. Kita tidak tahu persis tahun
berapa turunnya. Tentulah orang Yahudi dan Kristen yang ada di Madinah menolak
pernyataan ini. Bagi mereka, tidak mungkin Allah memanggil manusia dengan moral
rendah. Sejarah islam di Madinah tentulah tak luput dari peristiwa Muhammad
menikahi anak gadis usia 6 tahun dan berhubungan seksual dengan anak usia 9
tahun, menikah dengan menantunya sendiri, serta menikah dengan begitu banyak
wanita. Belum lagi soal tangan Muhammad yang penuh berlumuran darah.
DEMIKIANLAH
ulasan logis atas surah Ali Imran ayat 81. Dari kajian ini terlihat jelas kalau
wahyu Allah ini, jika dipahami sesuai konteks dan berdasarkan ilmu bahasa,
menampilkan beberapa kejanggalan. Dengan kata lain, wahyu Allah ini tidak masuk
akal. Tafsiran atasnya pun bermasalah. Semua ini hendak menunjukkan bahwa
Al-Qur’an, atau setidaknya kutipan ayat di atas, bukanlah wahyu Allah. Sudah
sejak jaman Muhammad di Mekkah ada pernyataan dari orang-orang kafir kalau
Al-Qur’an merupakan hasil rekayasa Muhammad (QS al-Anbiya: 5). Bukan tidak
mustahil jika kalimat Allah di atas juga adalah hasil rekayasa Muhammad.
Lingga,
27 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar