Dia (Allah) pencipta langit
dan bumi. Bagaimana (mungkin) Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai
istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS
6: 101)
Al-Qur’an
merupakan pusat spiritualitas dan dasar iman bagi hidupnya. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang disampaikan
langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Apa yang tertulis dalam kitab
itu, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas, diyakini sebagai
perkataan Allah sendiri. Keyakinan ini didasarkan pada firman Allah sendiri
yang banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu, umat islam akan
marah jika ada yang melecehkan Al-Qur’an. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama
artinya pelecehan terhadap Allah, dan umat islam wajib bangkit untuk melawan.
Allah sudah memberi perintah agar umat islam membela Allahnya yang mahakuat dan
maha perkasa. Dan terhadap pelaku pelecehan itu, Allah sudah menentukan
hukumannya, yaitu dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
secara silang (QS al-Maidah: 33).
Umat
islam meyakini bahwa Allah itu maha segalanya. Berhubung Allah itu maha benar,
maka Al-Qur’an diyakini sebagai kitab yang benar. Dasar keyakinan umat islam
ini tidak hanya berdasarkan dari konsekuensi logis atas keyakinannya akan Allah
yang maha benar, melainkan karena Allah sendiri sudah menyatakan hal tersebut
dalam kitabnya. Malah bisa dikatakan perkataan Allah inilah yang menjadi
keyakinan utamanya, karena bagi umat islam Allah tidak mungkin salah dan
berbohong.
Berangkat dari dua pemahaman di atas, maka kutipan ayat di atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Kutipan ayat di atas diambil dari surah al-Anam, surah keenam dalam Al-Qur’an, ayat 101. Memang harus juga diakui tidak semua yang tertulis di atas merupakan kata-kata Allah. Dua kata yang berada dalam tanda kurung, yakni kata “Allah” dan kata “mungkin” dapat dipastikan merupakan tambahan kemudian yang berasal dari tangan manusia. Dengan kata lain, dua kata itu tidak pernah diucapkan oleh Allah. Sebenarnya tanpa ada tambahan itu pun, kalimat Allah sudah jelas. Kata “mungkin” hanya untuk mempertegas kata di depannya, sedangkan kata “Allah” untuk menjelaskan arti kata ganti “Dia”. Tanpa kata “Allah”, pembaca sudah tahu bahwa yang dimaksud dengan “Dia” adalah Allah. Ini bila dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya. Dari ayat 95, sudah digunakan kata ganti “Dia” sebagai ganti Allah yang ada di depannya. Memang menjadi pertanyaannya, kenapa sebelum ayat 95 Allah memakai kata ganti “Kami” sebagai ganti Allah (ayat 89 – 94, dan sebelum ayat 89 kembali pakai “Dia”). Atau kenapa sesudah ayat 104 Allah memakai kata ganti “Kami” sebagai ganti Allah. Jadi, di sini sudah terlihat jelas 3 hal, yaitu betapa Allah islam tidak konsisten, Allah islam tidak jelas dan/atau Allah islam lebih dari satu (karena “kami” dan “dia” adalah 2 entitas yang berbeda).
Kutipan
kalimat Allah di atas jelas sekali maknanya. Hal ini sejalan dengan firman
Allah bahwa wahyu yang disampaikan-Nya adalah mudah dan jelas. Kemudahan dan
kejelasan ini membuat pembaca tidak kesulitan menangkap makna atau pesan Allah.
Karena jelas dan mudah, maka dengan sangat mudah pula orang langsung menyatakan
bahwa wahyu Allah tersebut tanpa masalah. Padahal jika ditelaah secara kritis
dengan alat bantu nalar akal sehat, maka akan ditemukan beberapa persoalan.
Persoalan baru ditemui ketika kita menempatkan wahyu Allah itu pada konteksnya,
yakni Allah berbicara kepada Muhammad. Jadi, pada waktu itu Allah berkata
kepada Muhammad, “Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak,
padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia
mengetahui segala sesuatu.”
Persoalan
yang langsung terlihat adalah siapa yang dimaksud Allah dengan kata “Dia”.
Memang dengan sangat mudah kita akan mengatakan “Dia” itu adalah Allah, karena
memang Allah adalah pencipta langit dan bumi, Dia-lah yang menciptakan dan
mengetahui segala sesuatu. Berdasarkan konteksnya, pernyataan Allah menciptakan
langit dan bumi serta mengetahui segala sesuatu ini diucapkan oleh Allah.
Secara logika akal sehat, Allah yang berbicara berbeda dengan Allah yang disebutkan
itu. Bagaimana mungkin Allah yang berbicara adalah juga Allah pencipta, padahal
Allah ini menyebut “Dia”. Kata “dia” merujuk pada entitas di luar dari orang
yang menyebut. Jika Allah pencipta itu sama dengan Allah yang berbicara,
seharusnya Allah berkata, “Aku pencipta langit dan bumi. Bagaimana (mungkin)
Aku mempunyai anak, padahal Aku tidak mempunyai istri. Aku menciptakan segala
sesuatu; dan Aku mengetahui segala sesuatu.”
Sebagai
perbandingan, saya berkata, “Dia pergi ke Medan.” Tidaklah mungkin yang pergi
ke Medan itu saya. Yang pergi ke Medan itu adalah dia; dan dia itu bukanlah
saya. Bila yang pergi ke Medan itu saya, maka redaksinya adalah, “Aku pergi ke
Medan.” Demikian halnya dengan wahyu Allah di atas. Ketika Allah menyebut
“Dia”, dan kata itu dimaknai sebagai Allah, maka haruslah dikatakan ada DUA
Allah, yang pertama adalah Allah yang berbicara, dan kedua Allah pencipta.
Dengan demikian Allah islam bukan ada SATU, tetapi ada DUA.
Demikianlah
persoalan kecil yang muncul dari kutipan kalimat Allah di atas. Sekalipun
kecil, dampaknya cukup besar, karena terkait dengan iman. Agama islam selalu
dikaitkan dengan agama tauhid, agama yang percaya pada Allah yang maha esa.
Umat islam sangat yakin Allah itu satu. Adalah dosa besar bila menduakan atau mempersekutukan
Allah. Akan tetapi, telaah kritis atas wahyu Allah ini justru membuktikan bahwa
Allah islam itu ada dua, yang yang mengatakan itu adalah Allah sendiri. Jadi,
Allah yang mengatakan bahwa Allah itu esa dan melarang umat islam menduakan
Allah, tapi Allah sendiri yang mengatakan Allah itu ada dua. Di sini sepertinya
Allah menyangkal diri-Nya sendiri. Atau mungkin bisa dikatakan bahwa yang
dilarang menduakan Allah itu umat, sedangkan Allah boleh.
Di
sini terlihat kekacauannya. Melihat kekacauan ini dengan mudah orang
menyimpulkan bahwa tidaklah mungkin kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan
wahyu Allah. Bagaimana mungkin Allah yang sempurna menghasilkan yang kacau
balau. Bagaimana mungkin Allah menyangkal diri-Nya sendiri. Mungkin ada yang
mengatakan bahwa kutipan kalimat di atas diucapkan oleh Jibril, utusan Allah,
kepada Muhammad. Dengan demikian haruslah dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak
sepenuhnya wahyu yang langsung dari Allah, karena ternyata Allah menyampaikan
wahyu-Nya melalui perantara. Kalau pun benar Jibril yang berbicara kepada
Muhammad, tetaplah harus dikatakan kutipan kalimat di atas bukan merupakan
wahyu Allah atau bukan asli kata-kata Allah. Secara logika dan juga linguistik
itu adalah perkataan Jibril yang mau menjelaskan kepada Muhammad tentang Allah,
yaitu bahwa Allah itu pencipta langit dan bumi; bahwa Allah tidak melahirkan
karena tak punya istri; bahwa Allah itu menciptakan dan mengetahui segala
sesuatu. Jika yang diucapkan Jibril itu sungguh kata-kata Allah, mengingat
Jibril adalah utusan Allah, maka
semestinya Jibril berkata, “Allah berfirman: ….” Dan ini harus sudah terlihat
pada ayat 95 karena pada ayat 94 tidak lagi dipakai kata “Dia” tetapi “Kami”
sebagai ganti Allah. Selain itu, kata ganti untuk Allah yang digunakan Jibril
adalah “Aku”, bukan “Dia”. Persoalan kecil lain adalah kenapa pada ayat 105
tidak lagi dipakai kata “Dia”, tetapi kata “Kami” sebagai ganti Allah? Apakah
kata “Kami” di sini hendak merujuk pada Allah dan Jibril? Jika memang demikian,
bukankah ini berarti sudah mempersekutukan Jibril dengan Allah?
Karena
itu, haruslah dikatakan ayat di atas berasal dari Muhammad. Kutipan di atas
adalah kata-kata Muhammad, yang diletakkannya di mulut Allah, sehingga
seolah-olah itu adalah perkataan Allah. Waktu itu, setelah “kesurupan” akibat
kedatangan wahyu Allah, Muhammad menyampaikan firman Allah kepada orang Mekkah
(mungkin khusus para pengikutnya). Muhammad ingin menjelaskan kepada orang
bahwa Allah itu pencipta langit dan bumi. Tidak mungkin Allah mempunyai anak,
karena Allah tidak mempunyai istri. Allah itu mahakuasa.
Menjadi
pertanyaan, apa yang menjadi latar belakang munculnya kutipan kalimat di atas?
Atau, apa yang menginspirasi Muhammad sehingga muncullah pernyataan tersebut?
Ada 2 kemungkinan untuk hal ini. Pertama,
Muhammad mau mengkritisi pandangan orang pagan dimana dewa-dewa punya anak.
Pandangan ini hidup di kalangan orang Arab dan suku-suku lain, yang terlihat
dari patung-patung yang menghiasi Ka’bah. Kedua,
Muhammad mau mengkritisi pandangan orang Kristen. Bisa saja Muhammad
mendengar omongan orang Kristen bahwa mereka adalah anak-anak Allah, atau
pernyataan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Atau juga Muhammad mendengar dan
ingin mengkritisi syahadat iman orang Kristen. Mana yang benar? Tidak ada
kepastian.
Yang
menarik kalau menelaah kalimat kedua dan ketiga dari kutipan kalimat di atas.
Sangat jelas kalau kalimat ini buah pemikiran manusia. Akan tetapi, pemikiran
ini jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan manusia. Setiap manusia yakin
Allah itu mahakuasa. Hal ini terlihat pada kalimat ketiga: “Allah menciptakan
segala sesuatu.” Jika mengakui Allah itu mahakuasa, bisa menciptakan segala
sesuatu, maka harus juga diakui Allah bisa mempunyai anak sekalipun tak punya
istri. Apa yang tidak mungkin bagi manusia, menjadi mungkin bagi Allah.
DEMIKIANLAH
kajian logis atas surah al-Anam ayat 101. Dari kajian ini terlihat jelas 2 hal,
yaitu jika diyakini kutipan di atas adalah wahyu Allah, maka Allah islam itu
ada DUA. Hal ini tentulah bertentangan dengan konsep tauhid islam. Hal kedua kalau
tetap meyakini Allah hanya ada SATU, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas harus
diakui bukanlah wahyu Allah. Bukan juga perkataan Jibril, utusan Allah. Kutipan
di atas merupakan perkataan Muhammad, yang dibuat seolah-olah kata-kata Allah.
Ini seakan menegaskan kembali apa yang pernah dikatakan orang kafir di Mekkah
pada masa Muhammad, bahwa Al-Qur’an merupakan rekayasa Muhammad (QS al-Anbiya:
5).
Lingga,
3 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar