Dia (Muhammad) berkata, “Ya
Tuhanku, berilah keputusan dengan adil. Dan Tuhan kami Maha Pengasih, tempat
memohon segala pertolongan atas semua yang kamu katakan.” (QS 21: 112)
Tak
bisa bantah bahwa umat islam percaya bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang
langsung disampaikan kepada Muhammad, yang kemudian ditulis di atas kertas. Meski
ada di kertas, tapi umat islam yakin bahwa itu adalah kata-kata Allah sendiri.
Karena Allah itu suci, maka kertas yang ditulisi perkataan Allah adalah suci
juga. Pelecehan terhadap Al-Qur’an, misalnya dengan menginjak atau
mendudukinya, sama artinya dengan penghinaan terhadap Allah. Umat islam wajib
membela Allah sesuai permintaan Allah, dan orang yang melakukan penghinaan tersebut,
berdasarkan perintah Allah, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).
Dasar
keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung
disampaikan kepada Muhammad adalah perkataan Allah sendiri. Allah sudah
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari diri-Nya. Berhubung Allah itu
mahabenar, maka apa yang dikatakannya juga adalah benar. Mana mungkin Allah
yang mahabenar itu berbohong? Tak mungkin Al-Qur’an itu ciptaan manusia, karena
manusia bisa berbohong. Logika pikir orang islam kira-kira begini: Al-Qur’an
itu wahyu Allah karena Allah sendiri yang mengatakannya adalah benar, sebab
Allah itu mahabenar yang tak bisa berbohong.
Berangkat
dari premis di atas, maka haruslah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Memang
harus diakui juga bahwa apa yang tertulis itu tidaklah sepenuhnya merupakan
perkataan Allah. Kata “Muhammad” yang ada dalam tanda kurung, bisa dipastikan
merupakan tambahan kemudian yang berasal dari manusia. Dengan kata lain, kata
tersebut tidak ada dalam perkataan Muhammad waktu itu. Jadi, sejatinya
kata-kata Allah yang asli adalah, Dia
berkata, “Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil. Dan Tuhan kami Maha
Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kamu katakan.”
Sepintas tidak ada persoalan dengan kalimat Allah yang asli ini. akan tetapi, ketika kalimat Allah itu ditelaah dengan nalar akal sehat dan dengan melihat konteksnya, maka langsung terlihat persoalannya. Harus dan perlu diketahui dan disadari bahwa konteks kalimat Allah ini adalah: Allah berbicara kepada Muhammad. Dengan demikian, Muhammad adalah lawan bicara Allah. Umat islam percaya hanya Muhammad sebagai penerima wahyu Allah, dan hanya Allah yang menyampaikan firman-Nya. Allah tidak memakai perantara. Inilah kepercayaan dan keyakinan umat islam. Dan itulah konteks dari wahyu Allah ini.
Akan
tetapi, ketika kalimat Allah itu ditempatkan pada konteksnya, bagi yang punya
nalar akal sehat, langsung merasakan keanehannya. Allah berbicara kepada
Muhammad, dan mengucapkan, “Dia berkata….” Bagaimana mungkin kata “dia” ini
ditafsirkan sebagai Muhammad, padahal Muhammad adalah lawan bicara Allah?
Secara logika akal sehat, DIA di sini adalah sosok lain yang bukan Muhammad dan
Allah. Menjadi pertanyaan, siapa yang dimaksud DIA dalam kalimat Allah di atas?
Jika kita membandingkan dengan ayat 110, kata “Dia” oleh umat islam ditafsirkan
sebagai “Allah”. Ini, sama seperti ayat 112, terlihat dari kata “Allah” dalam
tanda kurung sesudah kata “dia”. Kenapa dalam ayat 110 kata “dia” diartikan
sebagai Allah, sedangkan dalam ayat 112 sebagai Muhammad? Inilah kekacauan
logika Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan kalau Al-Qur’an itu, atau setidaknya
kutipan kalimat Allah di atas, bukanlah wahyu Allah.
Persoalan
lain. Jika kata “dia” ditafsirkan sebagai Muhammad, maka dua kalimat ini “Ya
Tuhanku, berilah keputusan dengan adil. Dan Tuhan kami Maha Pengasih, tempat
memohon segala pertolongan atas semua yang kamu katakan.” adalah kalimat
Muhammad, bukan wahyu Allah. Dengan kata lain, waktu itu Allah hanya mau
mengatakan perkataan Muhammad. Dengan demikian, ayat 112 ini dapat dipastikan
bukanlah asli wahyu Allah, tetapi pernyataan Muhammad yang dikatakan Allah.
Lantas, kenapa kalimat ini ada dalam Al-Qur’an? Bukankah Al-Qur’an itu kumpulan
wahyu Allah?
Persoalan
lain lagi terdapat pada 2 kalimat yang diyakini umat islam sebagai pernyataan
Muhammad: “Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil. Dan Tuhan kami Maha
Pengasih, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kamu katakan.” Bila
dicermati dengan seksama, 2 kalimat ini seperti bentuk doa. Dengan demikian,
waktu itu Muhammad mengucapkan doa, dan didengar Allah, lalu disampaikan
kembali oleh Allah; entah kepada siapa. Yang menarik pada kalimat pertama,
Muhammad menyebut, “Tuhanku”, sementara dalam kalimat kedua, “Tuhan kami”.
Kenapa ada perbedaan? Apakah “tuhan” yang disebut pada kalimat pertama berbeda
dengan “tuhan” kedua? Apakah “tuhan” yang pertama hanya khusus milik Muhammad,
sedangkan “tuhan” kedua milik Muhammad bersama pengikutnya? Hal ini hendak
menunjukkan kekacau-balauan logika Al-Qur’an.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kata “dia” dalam kutipan ayat di atas
sebagai kata ganti Muhammad, dan 2 kalimat berikutnya adalah pernyataan
Muhammad. Jadi, waktu itu Allah mengulangi pernyataan Muhammad. Untuk apa dan
untuk siapa? Surah al-Anbiya berakhir pada ayat 112. Kepada siapa Allah
menyampaikan pernyataan Muhammad ini? Ingat, Muhammad adalah satu-satunya
penerima wahyu Allah. Jika untuk Muhammad, lantas untuk apa pula Allah
menyampaikan pernyataan yang berasal dari Muhammad sendiri? Sekali lagi hal ini
memperlihatkan betapa kacau balaunya logika Al-Qur’an. Masihkah diyakini ini
merupakan wahyu Allah?
Mungkin
ada ulama yang mengatakan bahwa wahyu Allah ini disampaikan Allah kepada Jibril,
dan Muhammad mendengarkannya. Artinya, waktu itu Allah berbicara kepada Jibril,
dan Muhammad hanya sebagai pendengar. Apa yang didengar Muhammad, kemudian
ditulis; dan jadilah ayat 112 surah al-Anbiya ini. Dengan kata lain, Allah
menyampaikan kepada Jibril pernyataan Muhammad, yang berbentuk doa. Benarkah
logika seperti ini? Tetap saja logika ini menimbulkan masalah. Untuk apa pula
Allah menyampaikan pernyataan Muhammad kepada Jibril? Apakah untuk menegaskan
bahwa diri-Nya (baca: Allah yang berbicara dengan Jibril) adalah adil dan
menjadi tempat memohon segala pertolongan? Jika demikian, betapa Allah ini
mengidap penyakit narsis.
DEMIKIANLAH
persoalan yang muncul dari kalimat Allah dalam surah al-Anbiya ayat 112. Satu
kesimpulan sederhana dari kajian logis ini adalah betapa ayat Al-Qur’an ini
kacau balau dan tak masuk akal sehat. Hal ini sepertinya menegaskan apa yang
pernah dikatakan oleh JK Sheindlin bahwa Al-Qur’an adalah “pikiran orang
bingung yang ditulis di atas kertas.” Dengan perkataan lain, telaah logis atas
kutipan ayat di atas menunjukkan betapa Al-Qur’an bukan kitab yang jelas. Dan
karena bukan merupakan kitab yang jelas, patutlah dicurigai bahwa Al-Qur’an itu
hasil rekayasa Muhammad.
Lingga,
21 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar