Dan aku tidak tahu, boleh
jadi hal itu cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai waktu yang ditentukan. (QS
21: 111)
Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman yang berasal dari Allah
sendiri. Firman itu disampaikan secara langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 –
632 M). Berhubung Muhammad adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis,
maka setelah mendapatkan firman Allah itu dia langsung mendiktekan kepada
pengikutnya untuk ditulis. Semua tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan, dan
jadilah kita yang sekarang dikenal dengan nama Al-Qur’an. Karena itu, apa yang
tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah sendiri. Tak heran
bila umat islam menganggap kitab tersebut sebagai sesuatu yang suci, karena
Allah sendiri adalah mahasuci. Penghinaan terhadap Al-Qr’an adalah juga
penghinaan terhadap Allah, dan orang yang melakukan hal tersebut wajib dibunuh.
Ini merupakan kehendak Allah sendiri, yang tertuang dalam Al-Qur’an (QS
al-Maidah: 33).
Keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah didasarkan
pada firman Allah sendiri. Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an, yang merupakan
perkataan Allah, yang mengatakan hal tersebut. Al-Qur’an diturunkan agar
menjadi petunjuk bagi umat islam. Setiap umat islam wajib mengikuti apa yang
dikatakan dalam Al-Qur’an. Untuk kemudahan ini maka sengaja Allah mudahkan
Al-Qur’an untuk peringatan (QS al-Qamar: 17). Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah
kitab yang sudah jelas dan mudah dipahami.
Berangkat
dari keyakinan umat islam ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas
haruslah dikatakan merupakan perkataan Allah. Apa yang tertulis di atas
merupakan kata-kata Allah sendiri yang disampaikan kepada Muhammad. Kutipan di
atas hanya terdiri dari 1 kalimat majemuk. Jadi, sesuai konteksnya, waktu itu
Allah berbicara kepada Muhammad, “Dan aku tidak tahu, boleh
jadi hal itu cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai waktu yang ditentukan.”
Kalimat Allah inilah yang kemudian diminta Muhammad ke pengikutnya untuk
ditulis.
Bagi yang punya akal sehat, ketika membaca ayat ini, yang diyakini kata-kata Allah kepada Muhammad, langsung menemukan keanehan dan ketidak-jelasan. Pertama-tama orang langsung bingung makna dari kalimat Allah ini. Orang kesulitan menemukan maknanya, sekalipun sudah mengaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Kebingungan
semakin bertambah ketika mengaitkan kalimat Allah tersebut dengan konteks
wahyu. Ingat, konteks wahyu adalah Allah berbicara dan Muhammad mendengarkan.
Apa yang didengar Muhammad, itulah yang kemudian ditulis. Dengan demikian, apa
yang tertulis dalam Al-Qur’an, sebagai surah al-Anbiya ayat 111, merupakan
perkataan Allah yang didengar oleh Muhammad. Ketika kalimat Allah itu
ditempatkan pada konteksnya, bagi yang punya nalar akal sehat, langsung
merasakan keanehannya. Allah berbicara kepada Muhammad, dan mengucapkan, “Dan
aku tidak tahu, boleh jadi hal itu cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai waktu
yang ditentukan.” Dari kalimat ini langsung ketahuan Allah tidak tahu. Kita
tidak tahu apa yang tidak diketahui oleh Allah. Inilah kekacauan logika
Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan kalau Al-Qur’an itu, atau setidaknya kutipan
kalimat Allah di atas, bukanlah wahyu Allah.
Mungkin
ada ulama yang mengatakan bahwa dalam kutipan wahyu Allah ini kata “aku” bukan
berarti Allah. Karena itulah, dalam Al-Qur’an, penulisan kata tersebut tidak
menggunakan huruf kapital. Benarkah logika ini? Tentu saja tidak. Dengan
mengatakan kata “aku” bukan berarti Allah, langsung terlihat tafsiran tersebut
keluar dari konteksnya. Ingat, konteks wahyu adalah Allah berbicara dan
Muhammad mendengarkan. Ketika Allah berbicara, tentulah tidak ada kejelasan
apakah Allah memakai huruf kapital atau tidak. Yang pasti Allah menyebut kata
“aku”. Sebagai perbandingan, saya berbicara dengan Anda, dan berkata, “Kemarin
aku makan roti.” Apakah kata “aku” dalam kalimat itu berarti bukan saya. Orang
yang masih waras tentulah mengatakan “aku“ di sini merujuk pada orang yang
berbicara. Jadi, pada kutipan kalimat Allah di atas, kata “aku” itu berarti
Allah; dan Allah itu tidak tahu. Bagaimana mungkin Allah yang mahatahu menjadi
tidak tahu?
Selain
“aku” ada juga kata ganti “kamu”. Kedua kata ganti ini tidak jelas merujuk
kepada siapa? Memang, sesuai konteksnya, kata “aku” itu merujuk pada Allah yang
berbicara, dan kata “kamu” merujuk pada “Muhammad” sebagai lawan bicara Allah.
Benarkah demikian? Sangat yakin, umat islam akan menolak tafsiran ini. Akan
tetapi, penolakan justru membuat mereka keluar dari konteks turunnya wahyu.
DEMIKIANLAH
persoalan yang muncul dari kalimat Allah dalam surah al-Anbiya ayat 111. Satu
kesimpulan sederhana dari kajian logis ini adalah betapa ayat Al-Qur’an ini
kacau balau dan tak masuk akal sehat. Hal ini sepertinya menegaskan apa yang
pernah dikatakan oleh JK Sheindlin bahwa Al-Qur’an adalah “pikiran orang
bingung yang ditulis di atas kertas.” Dengan perkataan lain, telaah logis atas
kutipan ayat di atas menunjukkan betapa Al-Qur’an bukan kitab yang jelas. Dan
karena bukan merupakan kitab yang jelas, patutlah dicurigai bahwa Al-Qur’an itu
hasil rekayasa Muhammad.
Lingga,
19 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar