Itulah Allah, Tuhan
kamu; tidak ada tuhan selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia;
Dialah pemelihara segala sesuatu (QS 6: 102)
Al-Qur’an
diyakini oleh umat islam merupakan wahyu Allah yang secara langsung disampaikan
kepada Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut: Allah berbicara
kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Apa yang didengar Muhammad itulah
yang kemudian ditulis dan akhirnya menjadi sebuah kitab yang diberi nama
Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan meyakini bahwa apa
yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah kata-kata Allah SWT sendiri. Karena itu,
umat islam menaruh hormat yang tinggi kepada Al-Qur’an. Pelecehan terhadap
Al-Qur’an sama artinya pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal
itu, berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).
Umat
islam menganggap dan menilai Al-Quran sebagai keterangan dan pelajaran
yang jelas, karena memang demikianlah yang dikatakan Allah sendiri. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa
dengan mudah pula memahaminya. Sebagai pedoman dan penuntun
jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga
mudah dipahami oleh umat islam. Umumnya
para ulama menafsirkan kata “jelas” di sini
dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah
menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah itu sudah
jelas makna dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah
sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat
dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah al-Anam ayat 102 di atas merupakan
perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad
mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh
Muhammad SAW. Dan apa yang disampaikan Allah ini sudah jelas maknanya. Dalam kutipan wahyu Allah di
atas terdapat 3 kata ganti “Dia”. Secara ilmu bahasa, kata ganti itu dengan
jelas merujuk pada kata “Allah” di awal kalimat. Sementara kata ganti “kamu”
dengan jelas merujuk pada Muhammad sebagai lawan bicara Allah.
Apabila wahyu Allah ini dibaca tanpa memperhatikan konteksnya, maka dengan sangat gamblang orang akan menemui pesannya, yaitu pengajaran tentang tauhid. Dengan perkataan lain, kutipan wahyu Allah di atas hendak menegaskan konsep tauhid, yang menjadi ciri khas islam. Ini hendak menegaskan bahwa wahyu Allah itu memang mudah dan jelas. Umat dapat dengan mudah menemukan pesan dari wahyu Allah itu. Secara sederhana kata “tauhid” dimaknai sebagai kepercayaan pada SATU Allah; percaya Allah itu hanya ada SATU.
Akan
tetapi, jika memperhatikan konteksnya, maka akan ditemukan makna
lain dari wahyu Allah di atas. Bahkan makna tersebut tidak sejalan dengan makna
tanpa konteks. Terlebih dahulu harus disadari konteksnya adalah Allah berbicara
kepada Muhammad. Apa yang dikatakan Allah, itulah yang tertulis di atas. Dengan
kata lain, waktu itu Allah bertemu Muhammad lalu berfirman, “Itulah Allah, Tuhan kamu; tidak ada tuhan
selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; Dialah pemelihara
segala sesuatu.” Jika menggunakan akal sehat, kita langsung menemukan bahwa
Allah yang disebut dalam wahyu itu bukanlah Allah yang sedang berbicara. Dia
berbeda. Dengan demikian, berdasarkan konteksnya terlihat jelas ada DUA Allah,
yakni Allah yang berbicara dan Allah pencipta dan pemelihara. Keduanya berbeda.
Jika Allah yang berbicara itu adalah juga Allah yang disebut tadi, secara
linguistik, Allah seharusnya berkata, “Itulah
Aku, Tuhan kamu; tidak ada tuhan selain Aku; pencipta segala sesuatu, maka
sembahlah Aku; Akulah pemelihara segala sesuatu.”
DEMIKIANLAH
telaah logis atas surah al-Anam ayat 102. Dari kajian ini kita dapat beberapa
poin kesimpulan.
1. Jika
QS an-Anam: 102 ini sungguh wahyu Allah, maka haruslah dikatakan bahwa islam
mempunyai DUA Allah.
2. Dapat
dikatakan bahwa maksud hati hendak menegaskan ajaran tauhid, yang terjadi
justri bertentangan dengan ajaran tersebut.
3. Melihat
kekacauan ini, patutlah diragukan Al-Qur’an itu, atau setidak-tidaknya QS
al-Anam: 102, sebagai wahyu Allah.
4. Secara
linguistik bisa dikatakan bahwa kutipan ayat di atas merupakan kata-kata
Muhammad. Dengan kata lain, saat itu Muhammad sedang memberi pelajaran tauhid
kepada pengikutnya.
5. Akan
tetapi, bila dimaknai Muhammad sedang memberi pelajaran tauhid kepada
pengikutnya, maka Allah yang disembah itu bukan Allah Muhammad, karena jika
sama seharusnya dipakai kata ganti “kita” bukan “kamu”.
6. Patut
dicurigai, kutipan ayat di atas merupakan kata-kata Muhammad yang diletakkan
pada mulut Allah. Dengan perkataan lain, Muhammad yang mengatakannya, lalu
menyampaikan ke pengikutnya sebagai perkataan Allah. Berhubung pengikut
Muhammad bodoh, mereka menerima saja perkataan itu. Di balik pernyataan ini
secara implisit hendak dikatakan bahwa Muhammad itulah Allahnya.
Luar biasa
BalasHapus