Wahai nabi! Perangilah orang-orang kafir dan
orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah
neraka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (QS 66: 9)
Umat
islam sangat yakin kalau Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung
disampaikan kepada nabi Muhammad SAW. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah
merupakan kata-kata Allah SWT sendiri yang disampaikan kepada Muhammad. Hal
inilah yang membuat umat islam memandang kitab tersebut sungguh suci, sehingga umat
islam menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama
artinya pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal itu,
berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).
Al-Quran dianggap
dan dinilai sebagai keterangan dan pelajaran
yang jelas, karena memang begitu yang dikatakan Allah sendiri. Secara sederhana
hal ini dimaknai bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang jelas. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa
dengan mudah pula memahaminya. Sebagai pedoman dan penuntun
jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga
mudah dipahami oleh umat islam. Umumnya
para ulama menafsirkan kata “jelas” di sini
dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah
menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah itu sudah
jelas makna dan pesannya, tak perlu banyak ditafsirkan lagi. Maksud dan pesan
Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah at-Tahrim ayat 9 di atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Dan apa yang disampaikan Allah ini sudah jelas maknanya. Dengan mudah umat akan memahami bahwa kutipan ayat di atas merupakan perintah Allah kepada Muhammad untuk memerangi orang kafir dan orang munafik. Berhubung Muhammad dijadikan teladan agung bagi umat islam, maka perintah tersebut berlaku juga untuk umat islam.
Dengan
demikian, dari tafsiran atas kutipan ayat di atas dengan sederhana bisa
dikatakan bahwa umat islam diperintahkan untuk berperang; dan sasarannya adalah
orang kafir dan orang munafik. Menjadi pertanyaan, siapa itu orang kafir dan
siapa itu orang munafik. Secara sederhana, orang kafir adalah orang non islam.
Mereka ini tak percaya Al-Qur’an sebagai kitab suci, menolak Muhammad sebagai
nabi dan tak mengimani Allah SWT sebagai Allah. Sedangkan orang munafik bisa
dipahami sebagai orang islam yang tingkah laku dan hidupnya tidak menunjukkan
keislamannya.
Kiranya
kutipan ayat di atas menjadi salah satu ideologi terorisme islam. Target yang
diincar kaum teroris adalah orang kafir dan umat islam yang tak islami, yang
biasa diberi istilah thogut. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa ideologi
terorisme islam berakar dari wahyu Allah yang ada dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian perang dan terror adalah kehendak Allah SWT, dan ini menjadi satu
kewajiban bagi umat islam.
Membaca
firman Allah ini, tak sedikit umat islam menolak pemaknaan kewajiban perang
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an. Mereka menolak tafsiran demikian dengan
mendasarkan pada pandangan “Agama mengajarkan kebaikan”. Dengan pendasaran
inilah mereka akhirnya mengatakan bahwa kaum teroris atau umat islam yang
mencintai perang telah membajak ayat-ayat Al-Qur’an, atau telah salah
menafsirkan wahyu Allah tersebut. Dengan perkataan lain, mereka mau mengatakan
bahwa tafsiran merekalah yang benar. Tak sedikit juga umat islam akhirnya
membuat semacam rasionalisasi atau pembenaran diri terhadap tudingan yang
terkait dengan wahyu perang Allah ini. Mereka mengatakan bahwa kutipan ayat di
atas harus dilihat dari konteks waktunya. Artinya, perintah memerangi orang
kafir dan kaum munafik hanya berlaku pada masa Muhammad saja, tidak lagi pada
masa kini. Rasionalisasi lainnya adalah bahwa perang yang diperintahkan Allah
dalam kutipan di atas dimaknai sebagai perang melawan kejahatan, kemasiatan dan
juga hawa nafsu.
Benarkah
rasionalisasi demikian? Seratus persen SALAH. Rasionalisasi seperti itu
jelas-jelas bertentangan dengan maksud dan kehendak Allah. Rasionalisasi
berdasarkan konteks waktu membuat bukan saja wahyu Allah di atas tidak lagi
relevan untuk masa sekarang, tetapi membuat Muhammad bukan teladan agung.
Dengan begitu, wahyu Allah tersebut jadi mati. Dan jika demikian wahyu Allah
kehilangan sifat kekalnya. Sedangkan rasionalisasi berdasarkan tafsir baru jelas
tidak sesuai dengan maksud dan kehendak Allah. Dalam kutipan ayat di atas, perintah
perang harus dimaknai sebagai perang yang sesungguhnya, dimana akan terjadi
bunuh membunuh.
Makna
perang adalah perang berulang kali ditegaskan oleh Allah dalam beberapa
kesempatan. Misalnya, dalam surah Ali Imran ayat 195, Allah berfirman, “… yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku
masukkan mereka ke dalam surga...” Dan dalam surah at-Taubah ayat 111, Allah
berkata, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh
…” Contoh wahyu Allah lainnya bisa dibaca dalam QS al-Fath: 17; QS al-Baqarah:
216; QS an-Nisa: 74 atau QS at-Taubah: 38.
Dari
kutipan-kutipan wahyu Allah di atas terlihat jelas perintah perang dalam QS
at-Tahrim ayat 9 di atas tidak bisa dimaknai dengan tafsiran baru. Perang yang
dimaksud adalah sungguh perang, dimana orang yang berperang akan membunuh,
dibunuh atau terbunuh. Dan perintah ini merupakan perintah bagi umat islam.
Pemaknaan lain tentulah tidak sesuai dengan kehendak Allah. Pemaknaan seperti
itu jelas-jelas hanya untuk menyelamatkan pandangan “Agama mengajarkan
kebaikan”, bukannya melaksanakan perintah Allah. Karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa kaum teroris sudah sesuai pada jalan Allah, karena mereka sungguh-sungguh
melakukan kehendak Allah.
DEMIKIANLAH
kajian atas wahyu Allah dalam surah at-Tahrim ayat 9. Dengan kajian ini, satu
kesimpulan dasar yang bisa diambil adalah tidak ada kedamaian dalam islam
karena islam bukanlah agama kasih, tetapi agama perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar