Tentulah setiap orangtua ingin agar anaknya memiliki rasa percaya diri yang
bagus. Percaya diri (self confidence) adalah keyakinan seseorang akan
kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai
target tertentu. Kebanyakan orangtua berpikir bahwa rasa percaya diri yang
bagus dapat membantu anak berprestasi dan sukses.
Rasa percaya diri itu bukan bakat, melainkan sebuah kualitas mental (dalam
arti pencapaian yang dihasilkan dari proses pendidikan atau pemberdayaan).
Setiap anak punya hak untuk dilatih menjadi lebih percaya diri, sesuai dengan
keadaannya. Artinya, rasa percaya diri itu bukanlah sesuatu yang sudah ada
dalam diri seseorang, melainkan butuh pelatihan.
Kapan anak-anak bisa dilatih untuk menumbuhkan kepercayaan diri? Menurut
Erik Erikson, kepercayaan diri ini perlu dilatih dari sejak anak mengenal dunia
di luar kandungan atau sejak usia dini. Dengan beranjaknya usia, naluri
adaptatifnya anak secara perlahan dan bertahap ingin memupuk kepercayaan dirinya
melalui berbagai eksperiensi dan eksplorasi, misalnya dengan menjajal sesuatu,
bergerak bebas, dan lain-lain. Kata Erikson, orangtua yang sanggup memberikan
kasih sayang dan rasa aman, akan memupuk kepercayaan diri anak. Kasih sayang
dan rasa aman itu akan menancapkan kesimpulan dalam pikiran anak: ternyata
dunia ini bersikap baik sehingga tak ada alasan untuk takut.
Orangtua yang pintar mengembangkan naluri berotonomi si anak (misalnya
bebas bermain atas keputusannya), pintar menyalurkan hak berinisiatif atau
orangtua yang pintar memberi kesempatan kepada anak untuk mengasah berbagai
kebolehan dan kebiasaan (kompetensi), akan memupuk kepercayaan dirinya, mungkin
di bidang yang umum atau mungkin di bidang tertentu.
Memang anak adalah ‘makhluk’ dengan dua sisi. Satu sisi, dia adalah makhluk
pasif, tergantung bagaimana orangtua membentuknya; dan di sisi lain, dia adalah
makhluk aktif, bisa membentuk dirinya sendiri dan bahkan berhasil membentuk
perilaku orangtua. Sebagian perilaku dan respon orangtua dipengaruhi oleh
peranannya dalam mempengaruhi.
Karena itu, seperti kata Alfred Adler, model pola asuh yang paling membahayakan bagi perkembangan mental anak adalah terlalu melindungi atau terlalu mengabaikan. Yang menjadi titik tekan di sini bukan melindungi atau mengabaikan, melainkan ‘terlalu’-nya itu.
Kenapa Perlu Melatih Percaya Diri?
Secara umum, anak yang kepercayaan dirinya semakin bagus akan semakin
berpeluang untuk meraih kesuksesan yang sesuai dengan keinginannya, dibanding
dengan anak yang rendah. Sama juga dengan orang dewasa. Karena anak nantinya
juga akan menjadi, maka menjadi penting buat orangtua untuk memberikan landasan
mental yang bagus. Hal ini terkait dengan beberapa hal berikut.
Pertama, kepercayaan diri seseorang akan terkait
dengan pilihan sikap mentalnya terhadap tugas atau tantangan. Anak yang
kepercayaan dirinya tinggi akan memilih sikap mental ‘saya bisa’ (The I Can
Attitude). Sebaliknya, anak yang kepercayaan dirinya rendah, meski dia
bisa, tetapi sedikit-sedikit akan merasa susah, “tidak bisa, takut ah”,
dan berbagai ungkapan yang senada. Secara logika, anak yang kepercayaan dirinya
bagus lebih berpeluang untuk berprestasi.
Kedua, kepercayaan diri seseorang itu akan
terkait dengan persepsi yang terbangun di dalam diri seseorang dalam menghadapi
tugas atau tantangan. Anak yang kepercayaan dirinya bagus akan mempersepsikan
tantangan atau tugas itu sebagai sesuatu yang lebih kecil dari dirinya sehingga
mudah muncul kehausan untuk menaklukkannya. Bahkan dia mungkin merasa malu
kalau sampai tidak bisa.
Ketiga, kepercayaan diri seseorang itu akan
terkait dengan istilah locus of control. Di dunia ini, pasti
ada hal-hal yang sudah tidak bisa diubah lagi, seperti matahari terbit dan
terbenam, ada siang dan malam, manusia akan mati. Anak yang kepercayaan dirinya
bagus akan memunculkan sebanyak mungkin pemahaman yang kuat bahwa nasib drinya
lebih banyak ditentukan oleh pilihannya atau meletakkan locus of
control ke dalam dirinya, bukan sedikit-sedikit mengandalkan Tuhan,
mengandalkan keadaan, mengandalkan nasib baik atau mengandalkan orang lain (external
locus of control)
Pola Asuh yang Keliru
Ada sejumlah pola asuh yang berpotensi mengancam munculnya kualitas mental
yang disebut kepercayaan diri itu. Ini antara lain:
(1) Terlalu sering memberikan label negatif atau minor pada anak. Label ini
biasanya diciptakan melalui opini atau komentar, misalnya mengatakan anak tidak
bisaan, atau lebih ekstrem mengatakan anak bego atau bodoh, dan semisalnya.
(2) Terlalu sering memotong proses eksplorasi dan eksperiensi yang
dilakukan anak dengan terlalu banyak atau terlalu cepat mengeluarkan larangan
"jangan". Terkadang ini dibutuhkan ketika akibatnya bahaya, tetapi
terkadang perlu diberi kesempatan dulu sampai ada hasilnya. Misalnya saja, anak
ingin ikut campur pekerjaan orangtua. Jika itu memungkinkan, anak perlu diberi
kesempatan membuktikan dirinya.
(3) Menciptakan perbandingan negatif. Untuk membuktikan betapa tidak
hebatnya anak, orangtua menunjuk anak orang lain atau temannya atau saudaranya
yang lebih bagus sebagai bukti untuk menyerang. Ini kerap membuat anak minder
atau terancam. Lebih baik digunakan perbandingan positif, misalnya dengan
mengatakan, "Kalau dia bisa, kamu juga bisa; bahkan bisa lebih baik kalau
mau lebih giat belajar."
(4) Terlalu mengabaikan prestasi anak. Hasil kerja anak apapun bentunya
perlu penghargaan. Terkadang orangtua lupa memberikan penghargaan pada hasil
kerja anak, sehingga dia tidak merasakan sensasi apa-apa dengan prestasinya.
Ini kurang menggugah motivasinya.
(5) Memberikan ancaman dan rasa takut. Terlalu sering memunculkan
pernyataan yang berbau hopeless atau pesimisme atau
juga memunculkan pemahaman negatif tentang hidup, atau juga melakukan kekerasan
dan kediktatoran, bisa juga menyumbang benih-benih mental keminderan pada anak.
Darimana Kepercayaan Diri DIbentuk?
Menurut Bandura, pakar psikologi dari Stanford University, ada empat sumber
yang bisa dimanfaatkan untuk memupuk kepercayaan diri anak. Keempatnya itu
adalah berikut ini:
Pertama, pengalaman hidup. Merujuk ke sini,
orangtua perlu membantu anak untuk menciptakan sebanyak mungkin pengalaman
sukses, dari mulai yang kecil-kecil. Misalnya saja anak mengatakan tidak bisa
mengerjakan PR dari gurunya, padahal sebenarnya ia bisa. Untuk melawan
ini, orangtua perlu mendampingi proses yang dilakukan anak sampai ada
bukti ternyata dia bisa.
Misalnya lagi, orangtua menyuruh untuk membeli sesuatu di toko A, yang
dekat dengan rumah, dan ternyata tidak ada. Jika di toko lain ada,
maka orangtua perlu mengarahkannya untuk tidak cepat merasa terkendala,
dengan mencari di toko lain. Jika anak tahu bahwa dirinya sanggup menangani
kendala, maka pengalaman itu adalah bukti kesuksesannya.
Pengalaman menempati urutan teratas dalam hal memperbaiki tingkat
kepercayaan diri. Erikson menilai anak tidak bisa dibohongi orangtua dengan
pujian-pujian kosong. Anak perlu dikasih kesempatan untuk membuktikan dirinya
sampai dia berhak untuk dipuji.
Kedua, contoh atau model. Orangtua bisa
mendatangkan contoh kepada anak, entah dari temannya atau saudaranya
(perbandingan positif). Bisa juga orangtua memberikan contoh,
misalnya orangtua akhirnya berhasil menangani urusan setelah menempuh
berbagai cara atau menunjukkan bahwa tidak mudah merasa cepat terkendala.
Ketiga, persuasi sosial. Komentar positif atau
pengakuan dari lingkungan keluarga, sekolah atau yang lebih luas lagi akan
semakin memupuk kepercayaan diri anak. Umumnya, lingkungan di luar memberikan komentar
negatif. Karena itu, sebagai pengimbangnya, orangtua perlu memberikan
komentar yang positif. hanya saja, tujuannya bukan supaya anak senang atau
sekedar untuk supaya diam, melainan untuk memberikan penjelasan dan motivasi
positif.
Keempat, faktor psikologi. Anak yang jiwanya sedang
OK, nyaman dengan pakaian yang dipakai, dengan penampilannya,
dengan orangtua yang mendukungnya, akan lebih mudah membangun rasa percaya
diri dibanding dengan anak yang jiwanya sedang gelisah memikirkan jerawatnya,
warna pakaiannya, model rambutnya atau sedih jauh dari orangtuanya.
Peranan Pengasuhan Makin Penting
Dulu, alam dan keadaan eksternal ikut membantu orang melakukan berbagai
eksperiensi dan eksplorasi. Anak bebas bermain di alam luas dan nyaris tak ada
orangtua yang terancam oleh isu penculikan. Di samping itu, keadaan eksternal
juga menantang untuk dilawan, seperti kekurangan fasilitas dan lain-lain. Pada
akhirnya, kerja sana yang baik antara orangtua, tetangga, alam dan
persoalan hidup membuat anak-anak di jaman dulu lebih berakar dan penuh percaya
diri karena terlatih menghadapi krisis.
Sekarang ini anak lebih mudah mendapatkan kemudahan dan kenyamanan hidup, tetapi juga di sana ada berbagai ancaman dan hambatan yang membatasi kebebasannya untuk bereksplorasi dan bereksperiensi melalui permainan di alam luas. Karena itu, mungkin sudah saatnya orangtua lebih berkiblat pada metode pengasuhan "harian" yang menempa life's skill dan kesigapan anak mengatasi persoalannya secara mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar