Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan
mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan
Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. (QS 2: 129)
Publik
sudah tahu kalau Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah
satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam, selain hadis. Hal ini
disebabkan karena Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung.
Artinya, Allah langsung berbicara kepada Muhammad, yang kemudian meminta
pengikutnya untuk menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa
yang tertulis di dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Al-Qur’an
dikenal juga sebagai wahyu Allah. Penghinaan terhadap Al-Qur’an berarti juga
penghinaan terhadap Allah. Dan ini dilihat sebagai bentuk serangan terhadap
Allah. Umat islam diwajibkan untuk membela Allah yang mahakuat dan mahaperkasa itu bila diri-Nya
diserang. Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah, yaitu dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang (QS al-Maidah: 33).
Secara umum dapat dikatakan bahwa kitab suci umat islam itu terdiri dari
114 surah. Ada perbedaan dalam memaknai kata “surah” ini, bahkan di kalangan
islam sendiri. Ada yang menilainya sebagai “bab’, ada pula yang menganggapnya
sebagai “kitab”. Ke-114 surah tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok,
berdasarkan turunnya wahyu Allah. Yang pertama adalah kelompok makkiyyah (surah
makkiyyah), surah-surah yang berisi wahyu Allah yang turun saat Muhammad masih
berada di Mekkah. Yang kedua adalah surah madaniyyah, surah-surah yang berisi
wahyu Allah yang turun saat Muhammad berada di Madinah.
Berangkat dari premis-premis di atas, dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan perkataan Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad saat ia berada di Madinah. Kutipan ayat Allah di atas merupakan kutipan kalimat pertama dari wahyu Allah dalam ayat 129. Membaca wahyu Allah ini tidak boleh dipisahkan dari 2 ayat sebelumnya, karena ketiga ayat ini merupakan satu kesatuan. Wahyu Allah ini berisi doa Ibrahim dan Ismail kepada Allah. Doa tersebut mempunyai tema tersendiri.
Al-Qur’an selalu
dilihat sebagai kitab yang mudah dan jelas, karena di dalamnya Allah sudah
mengatakan akan memudahkan ayat-Nya sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh
umat. Banyak ulama menafsirkan hal ini sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an harus sebagaimana
tertulis. Seandainya tidak, tetaplah tidak jauh dari apa yang tertulis.
Kutipan wahyu Allah di atas jelas, yaitu tentang
permintaan untuk kehadiran seorang rasul dengan 3 tugasnya: membacakan
ayat-ayat Allah, mengajarkan Kitab dan Hikmah, serta menyucikan umat. Wahyu
Allah ini dibaca sebagai ramalan akan kedatangan seorang rasul. Jika
membandingkan Kitab Taurat, wahyu Allah ini mirip seperti wahyu Allah kepada
Musa dalam Kitab Ulangan 18: 18. Yang membedakan adalah sumbernya: Kitab Taurat
dari Allah, sedangkan Al-Qur’an dari Ibrahim. Harus jujur dikatakan bahwa kejelasan
wahyu Allah di atas hanya sampai di sini. Karena jika kita baca lebih lanjut
maka akan ditemukan kebingungan.
Pusat kebingungan itu terletak pada: siapa rasul yang dimaksud itu? Tafsiran
atas kata “rasul” dalam doa Ibrahim ini bisa melebar kemana-mana, membuat Al-Qur’an tidak lagi bisa
disebut sebagai kitab yang jelas. Umat islam, dengan sangat mudah dan mengikuti
pola dan cara orang Kristen, mengatakan ayat ini hendak menunjuk kepada sosok
nabi Muhammad. Dengan perkataan lain, wahyu Allah ini merupakan ramalan akan
kedatangan Muhammad, sebagaimana juga klaim umat islam terhadap Ulangan 18: 18.
Di sini tampak jelas kalau umat islam doyan klaim, sehingga bisa digelari “raja
klaim”. Dalam ayat 125 tampak satu contoh klaim mereka kalau ka’bah adalah
makam Ibrahim.
Kita tinggalkan dahulu persoalan klaim-klaim itu. Mari
kita telaah klaim umat islam bahwa kutipan ayat di atas meramalkan kedatangan
Muhammad; atau kata “rasul” dalam ayat itu merujuk pada sosok Muhammad.
Pertama-tama hari disadari bahwa kutipan ayat ini berasal dari mulut Ibrahim.
Hadir bersama Ibrahim, Ismail yang diyakini sebagai jalur keturunan Arab Islam.
Nah, dalam doanya itu, Ibrahim mohon
kehadiran seorang rasul dari kalangan MEREKA
sendiri. Dari segi bahasa, kata ganti “mereka” merujuk pada pribadi-pribadi
orang yang di luar (jauh dari) pembicara. Lawannya adalah bukan dari
kalangannya. Jadi, rasul yang dimaksud bukan dari kalangan keturunan Ismail;
dan kalau bukan dari keturunan Ismail maka kata “rasul” itu sama sekali tidak
mengacu kepada Muhammad. Karena jika memang merujuk pada Muhammad, seharusnya
redaksi kalimatnya sebagai berikut: dari
kalangan kami sendiri. Dengan demikian klaim islam bahwa kutipan ayat di
atas sebagai ramalan kedatangan Muhammad adalah salah.
Dari sinilah tafsiran meluas. Ada yang mengatakan kata
“mereka” merujuk pada kelompok orang dari keturunan Ishak. Bukankah Ishak juga
merupakan keturunan Ibrahim? Jika pemahaman ini diterima, maka ada yang
mengatakan kalau “rasul” yang dimaksud dalam doa Ibrahim itu terpenuhi dalam
diri nabi Musa. Namun ada pula yang menafsirkannya dengan Yesus atau nabi Isa.
Ada juga yang mengatakan kata “mereka” merujuk pada kelompok orang yang bukan
dari keturunan Ibrahim, alias orang kafir. Bukankah doa Ibrahim ini dipanjatkan
saat dia dan Ismail berada di Mekkah, dimana saat itu ada banyak orang kafir?
Wahyu Allah ini mungkin menjadi dasar kelompok Ahmadiyah, yang menganggap Gulam
Ahmad sebagai nabi.
DEMIKIANLAH persoalan yang ada dalam kutipan wahyu
Allah di atas. Harus dikatakan bahwa klaim bahwa seorang rasul yang diutus itu
adalah Muhammad adalah isapan jempol belaka. Kutipan ayat di atas tidak bisa
dipakai untuk membenarkan ramalan akan kedatangan Muhammad. Karena itu, dapatlah
disimpulkan kalau kutipan ayat di atas membuat Al-Qur’an bukan sebagai kitab
yang jelas sebagaimana dikatakan Allah. Perkataan Allah bertentangan dengan
dirinya sendiri.
Lingga, 4 Mei 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar