Setelah cukup panjang perdebatan pro dan kontra soal dana aspirasi di
tengah masyarakat, rapat paripurna DPR kemarin akhirnya memutuskan dana
aspirasi sebesar 20 miliyar setiap anggota dewan. Anggota dewan seakan tidak
memedulikan suara-suara rakyat; dan lebih parah lagi mereka mengabaikan suara
hatinya sendiri. Semuanya karena uang 20 miliyar.
Dalam rapat kemarin, memang ada partai yang dengan tegas menolak. Beberapa
ketua umum partai sudah menyerukan agar anggotanya menolak jika nantinya
terjadi voting. Akan tetapi, ternyata jumlah “penggila” uang jauh lebih banyak,
sehingga merekalah yang memenangi pertaruhan itu.
Jadi, dengan disahkannya dana aspirasi ini, maka setiap anggota DPR akan
mendapat uang 20 miliyar setiap tahun. Belum diketahui bagaimana mekanisme
pembagiannya dan penggunaannya. Apakah langsung 20 miliyar diterima atau
bertahap? Bagaimana penggunaan dan pertanggungjawabannya?
Banyak suara menilai bahwa dana aspirasi ini rawan bagi korupsi. Memang ada
desakan kepada KPK untuk memantau “perjalanan” dana aspirasi ini. Namun,
sebagaimana yang kita ketahui, sebelum KPK mau melaksanakan tugasnya, DPR sudah
siap-siap memangkas kewenangannya. Karena itu, indikasi niat untuk korupsi atas
dana aspirasi ini ada.
Akan tetapi, tulisan ini tidak mau mengutak-atik soal korupsi. Kami juga tidak akan mempermasalahkan lagi dana aspirasi yang sudah disahkan paripurna DPR itu. kami hanya mau mengungkapkan sedikit kebingungan kami soal dana aspirasi itu. sebenarnya dana aspirasi itu untuk siapa? Untuk rakyatkah atau untuk melanggengkan kekuasaan?
Kalau pertanyaan ini ditanyakan kepada anggota DPR, pastilah mereka akan
menjawab dengan lantang bahwa ini untuk rakyat (bukan tidak mustahil akan
ditambah kalimat-kalimat mulia lainnya). Tentu akan muncul pertanyaan lain,
apakah untuk menampung aspirasi rakyat dibutuhkan uang sebesar 20 miliyar
setiap tahun?
Karena itu, perlu ditegaskan peruntukan dana aspirasi itu kepada publik
sehingga ada kejelasan. Tugas sekretaris dewan untuk menjelaskan kepada anggota
dewan dan kepada masyarakat perihal dana aspirasi itu. Karena agak berlebihan
jika 20 miliyar itu hanya digunakan untuk acara jumpa konstituen dan menampung
aspirasi mereka.
Ada kemungkinan dana aspirasi itu digunakan juga untuk
pembangunan-pembangunan yang menjawab kebutuhan masyarakat. Misalnya, seorang
anggota dewan menang di daerah pemilihan A. Ketika ia turun, ia menemukan ada
banyak kekurangan sarana prasana di dapilnya itu, seperti jalan raya, gedung
sekolah, dll. Nah, dana aspirasi 20 miliyar itu dapat digunakan
untuk pembangunan infrastruktur yang ada di daerah tersebut. Atau membantu
rakyat dalam memperbaiki rumah (bedah rumah) atau rumah ibadah yang ada di
dapilnya. Intinya, dengan dana 20 miliyar itu, seorang anggota dewan dapat
melakukan sesuatu yang berguna bagi masyarakat di daerah, tempat ia mendapatkan
suara.
Akan tetapi, di balik tujuan mulia itu (jika memang dana aspirasi digunakan
demikian), dana aspirasi itu masih menyisahkan persoalan. Bukankah untuk
pembangunan infrastruktur daerah sudah ada dalam APBD daerah? Jika memang 20
miliyar itu dipakai untuk menunjang APBD, kenapa tidak langsung dimasukkan ke dalam
APBD saja? Bagaimana proses pengaturan dan pengawasannya?
Rasanya sulit kalau 20 miliyar itu dimasukkan ke dalam APBD. Tentulah
anggota dewan merasa tidak rela. Salah satu alasannya adalah karena dalam dana
aspirasi itu ia hendak menanamkan pengaruh. Dengan 20 miliyar setiap tahun,
seorang anggota dewan dapat mematrikan namanya di setiap bangunan (jalan raya,
rumah, gedung sekolah, rumah ibadah, dll). Dan kalau namanya sudah terpatri,
pastilah semua itu menjadi modal besar bagi PEMILU berikutnya. Dia tidak perlu
lagi menyiapkan dana untuk kampanye. Uang 20 miliyar yang didapatnya setiap
tahun dan digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana di daerah
pemilihannya sudah menjadi bentuk kampanye.
Jika demikian, tentulah pendatang baru dalam PEMILU berikutnya akan
mengalami kesulitan untuk bersaing. Pendatang baru, yang belum memberi apa-apa
kepada rakyat, akan kalah bertarung dengan pemain lama, yang sudah memberi
apa-apa kepada rakyat. Dana aspirasi akan menutup peluang rakyat biasa untuk
maju dalam pemilihan nanti, karena rakyat sudah “dibuai” oleh dana aspirasi
sang wakil rakyat. Kecuali kalau masyarakatnya sudah melek politik. Kesadaran
politik membuat rakyat tahu bahwa uang 20 miliyar itu bukanlah uang pribadi
anggota dewan, tetapi uang rakyat sendiri.
Tentulah hal ini dapat merusak proses demokrasi, karena kekuasaan itu dapat
dengan mudah dilanggengkan. Misalnya, si A sudah membangun dapilnya dengan dana
aspirasi. Karena tindakannya, ia akan terus dipilih oleh rakyat. Ini bisa saja
terjadi hingga beberapa periode. Untuk melanggengkan pengaruhnya, si A dapat
meneruskannya kepada anggota keluarga atau kenalan lainnya.
Karena itulah, menjadi pertanyaan besar kami: dana aspirasi itu demi rakyat
atau demi kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar