Korupsi sudah merajalela merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia
menjadi budaya, yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Ketika masalah
korupsi Al-Quran muncul, seakan tak ada lagi bagian hidup manusia yang luput
dari korupsi. Agama yang mengurus moral dan akhlak manusia pun sudah dirasuki
budaya korupsi. Kesucian agama telah hancur karena korupsi.
Bagaimana dengan Gereja? Apakah Gereja sebagai lembaga kudus bebas dari
korupsi? Apakah budaya koupsi sudah merasuki para pejabat Gereja, seperti uskup
dan imam? Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa itu mustahil, karena uskup
dan imam sudah mengikrarkan janji kemiskinan yang menjauhkan mereka dari
kemewahan harta kekayaan. Janji kemiskinan membuat mereka dapat melawan godaan
korupsi.
Bukan maksud saya untuk menuduh, tapi saya berangkat dari asumsi dasar
bahwa uskup dan imam itu adalah manusia; dan setiap manusia rentan terhadap
godaan uang. Dari asumsi ini dapatlah disimpulkan bahwa korupsi bisa juga
dilakukan oleh para pejabat Gereja itu. Artinya, budaya korupsi dapat juga
merasuki Gereja.
Bagaimana praktek korupsi dilakukan di Gereja? Inilah yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, Gereja yang dimaksud adalah paroki, dan saya, sebagai pastor paroki, adalah pelakunya. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana saya mengorupsi uang paroki?
Yang pertama sekali saya lakukan adalah membuat sistem
keuangan tertutup dan tunggal. Artinya, keuangan paroki hanya diatur
dan diketahui oleh saya. Bendahara paroki hanya membuatkan pembukuaannya. Dewan
Pastoral Paroki (DPP) dan pastor pembantu pun tidak tahu. Mereka baru
diberitahu pada laporan akhir tahun dalam rapat DPP pleno. Tentulah mereka
tidak akan mengetahui secara detail data-data keuangan selama satu tahun,
karena yang saya berikan hanyalah laporan rekapitulasinya.
Untuk menguatkan sistem ini saya akan mengatakan kepada umat bahwa apa yang
sudah diserahkan kepada Gereja, tidak boleh ditanya-tanya lagi. Tidak pantas.
Untuk menguatkan argument ini saya akan mengutip Injil, “Janganlah diketahui
tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6: 3). Dengan
pernyataan ini umat pun tidak akan berusaha untuk mencari-cari tahu soal
keuangan. Selain itu mereka sudah percaya bahwa semua pastor itu BAIK, karena
itu tak mungkin pastor akan mencuri uang Gereja.
Dengan sistem ini, saya akan dengan leluasa mengambil uang paroki. Uang
kolekte hari Minggu (misa Sabtu sore dan Minggu pagi) sesekali saya catut.
Sekalipun diumumkan minggu berikutnya, saya yakin tak ada umat yang tahu kalau
uang kolekte sudah dicatut. Uang kolekte misa harian di kelompok-kelompok saya
ambil sekian persen. Umat dan pastor pembantu yang pimpin misa tidak akan tahu,
karena setelah misa uang kolekte itu langsung diserahkan kepada saya. Hal yang
sama juga dengan iura stole atau stipendium. Yang
ini paling enak, karena uangnya ada dalam amplop yang tidak diketahui
nominalnya, kecuali oleh saya. Jadi, semakin besar nominalnya, semakin besar
juga potongannya.
Selain sumber di atas, saya juga masih memiliki sumber lain. Setiap misa
hari Minggu, selalu ada pemasukan dari parkiran. Uang tersebut disetorkan
kepada saya. Nah, inipun saya potong sekian persen. Para juru parkir itu tak
akan tahu kalau uang parkir saya catut karena mereka tidak membuat pembukuan.
Di samping itu mereka percaya bahwa pastor itu BAIK. Mereka percaya bahwa uang
parkir yang mereka serahkan akan digunakan untuk kepentingan pelayanan
pastoral. Artinya, mereka percaya uang parkir tidak akan disalahgunakan pastor.
Terkadang juga saya mendapat sumbangan dari para donatur. Malah ada donatur
yang agak rutin memberikan sumbangan. Mereka ini umumnya memiliki kepercayaan
bahwa setiap pastor itu BAIK, sehingga mereka hanya memberi saja tanpa ada
surat tanda terima. Bukankah Injil sudah menasehati “Janganlah diketahui tangan
kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.”? Maka terhadap sumbangan ini, saya
selalu menyambutnya dengan gembira dan kepada mereka saya akan bersikap ramah.
Tentulah, kepada bendahara paroki saya hanya menyampaikan nominal yang sudah
saya catut. Misalnya, jika saya terima 15 juta, maka saya sampaikan 10 juta.
Hanya saya yang tahu.
Cara kedua adalah dengan mark-up. Saya
selalu membuat mark-up biaya, baik biaya belanja barang maupun
biaya perjalanan dinas. Kan soal keuangan hanya saya saja yang
tahu. Misalnya biaya perjalanan dinas keluar kota. Jika perjalanan dinas ke
wilayah A normalnya menghabiskan biaya 150 ribu, maka saya akan mengeluarkan
biaya sebesar 350 ribu. Pencatatan di buku kas adalah saat uang dikeluarkan,
yaitu 350 ribu. Maka, saya sudah mengambil uang paroki setiap pelayanan ke
wilayah A sebesar 200 ribu. Demikian pula nanti kalau yang pergi itu adalah
pastor pembantu. Saya akan mengeluarkan biaya perjalanan 350 ribu. Kalau pastor
pembantu itu “bodoh” pastilah ia akan mengembalikan sisa uang 200 ribu; dan itu
merupakan rezeki buat saya karena di buku kas sudah dicatat uang keluar sebesar
350 ribu. Kalau pastor pembantunya “pintar” sehingga ia menghabiskan semua uang
itu, maka dia akan jarang saya tugaskan ke luar kota.
Cara ketiga adalah komisi atau proyek. Di sini
saya akan membuat banyak proyek yang darinya saya akan mendapatkan komisi.
Misalnya, pembangunan gereja/kapela/pastoran atau renovasi gedung
gereja/kapela/pastoran. Saya akan menghubungi kontraktor yang saya kenal.
Sekalipun nanti akan diadakan tender, tetap saja kontraktor saya yang menang.
Bukankah sebagai pastor paroki saya mempunyai pengaruh yang besar? Dari
kemenangan ini pastilah ia akan memberikan kepada saya sejumlah upeti sebagai
ungkapan terima kasih. Tentulah ucapan terima kasih ini tak diberikan secara
terbuka, melainkan secara sembunyi-sembunyi; hanya dia dan saya yang tahu. Soal
kualitas bangunan nantinya baik atau tidak, itu bukan urusan saya. Siapa tahu
saya sudah tidak di paroki itu lagi. Jadi, itu urusan pastor pengganti saya.
Jika tidak ada gedung yang dibangun baru atau direnovasi, maka saya akan
mengadakan proyek pembinaan umat. Saya akan mengajukan proposal ke dana APP
keuskupan, ke DEPAG dan kepada para donatur. Tentulah, semua dana yang masuk
itu akan saya curi dengan metode mark-up yang tak akan
diketahui siapapun karena sistem keuangan paroki adalah tunggal dan tertutup.
Cara keempat adalah dengan aturan. Waktu masih
frater, uang saku dipergunakan untuk keperluan kebutuhan pribadi sehingga tidak
ada kesempatan untuk memenuhi keinginan pribadi. Nah, setelah jadi
imam, apalagi pastor kepala paroki, saya akan mengubah paradigma itu. Saya mau
supaya uang saku atau gaji imam saya digunakan untuk memenuhi keinginan saya,
sementara kebutuhan saya dipenuhi dari kas paroki. Maka, saya akan membuat
aturan di paroki bahwa kebutuhan-kebutuhan pribadi saya selalu memakai anggaran
uang paroki. Tentulah, kebutuhan pribadi itu sudah saya atasnamakan kepentingan
umum atau pelayanan. misalnya, pulsa, semua perlengkapan mandi, minyak wangi,
perjalanan pribadi, biaya salon, cemilan, pakaian, dll. Semuanya dari kas
paroki, sehingga gaji saya tetap utuh dan bisa saya pergunakan untuk memenuhi
keinginan saya.
Demikianlah empat cara saya mencuri uang paroki. Intinya adalah
ketidaktransparanan laporan keuangan. Laporan keuangan yang tidak transparan
membuat saya leluasa mengambil uang paroki demi kepentingan pribadi saya. Karena
itu, saya sangat gelisah jika ada umat atau siapapun yang menuntut transparansi
keuangan paroki. Untungnya, umat sudah saya cekoki dengan ajaran Injil di atas.
Dan kebetulan nasehat Injil itu berasal dari Yesus sendiri. Tak mungkinlah
mereka akan melawan nasehat Yesus.
Selain itu saya juga diuntungkan dengan tidak adanya KPK di lingkungan Gereja, sehingga tindakan korupsi dan pencucian uang yang saya lakukan tidak akan pernah diungkit. Apalagi selama ini semua kasus korupsi dalam lingkungan Gereja selalu ditutup-tutupi karena Gereja malu aibnya diketahui orang lain.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar