Maka apakah orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sungguh, Kami telah menyediakan (neraka) Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir. (QS 18: 102)
Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Umat
islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan Allah sendiri, yang dapat
dibaca dalam beberapa surah Al-Qur’an. Jadi, Allah
sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan perkataan-Nya, sehingga ia dikenal juga sebagai kalam Allah. Karena itu, Al-Qur’an dihormati sebagai
sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah atau penyerangan
terhadap keluhuran Allah. Orang yang melakukan hal itu harus dihukum berat
dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka secara silang (bdk. QS al-Maidah: 33).
Selain
itu juga umat islam melihat Al-Qur’an sebagai keterangan
dan pelajaran yang jelas. Ini juga didasarkan pada perkataan Allah sendiri.
Allah telah memudahkan Al-Qur’an sehingga
dapat dengan mudah dipahami oleh
umat islam. Tak sedikit ulama menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu
yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi
pesan Allah itu. Dengan perkataan lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna
dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan
apa yang tertulis dalam Al-Qur’an.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat dari dua premis di atas, maka bisalah dikatakan bahwa kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Wahyu Allah di atas terdiri dari 2 kalimat. Kalimat pertama merupakan pertanyaan retoris, yang mempertanyakan niat orang kafir mau merebut umat islam. Dalam kalimat pertama ini terlihat jelas kalau Allah mengutip pernyataan orang kafir dan menjadikannya sebagai pertanyaan retoris. Sementara kalimat kedua merupakan pernyataan Allah tentang nasib orang kafir. Dikatakan bahwa Allah menyediakan neraka sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.
Baik
kalimat pertama maupun kalimat kedua, Allah menyebut frase “orang kafir”.
Menjadi pertanyaan, siapa yang dimaksud orang kafir ini? Untuk mengetahui
jawabannya, pertama-tama harus diketahui dahulu wahyu ini turun dimana? Surah
al-Kahf masuk dalam kelompok surah makkiyyah. Karena itu, bisa dikatakan bahwa kutipan
wahyu Allah di atas turun di Mekkah, saat Muhammad baru merintis karya
kerasulannya. Dewasa ini orang kafir itu dipahami sebagai orang yang bukan
islam. Akan tetapi, makna ini tidak bisa diterapkan pada orang yang bukan islam
pada saat di Mekkah. Ada banyak kelompok orang yang bukan islam di Mekkah pada
awal perutusan Muhammad, namun tidak semuanya itu disebut kafir. Orang Yahudi
dan Nasrani disebut sebagai ahli kitab. Lantas siapa orang kafir dalam wahyu
Allah ini? Dapat dipastikan bahwa yang dimaksud orang kafir ini adalah orang
Arab yang belum menerima pewartaan Muhammad.
Kajian
seperti ini bukan tanpa persoalan. Mengingat dewasa ini orang kafir itu adalah
orang yang tidak menerima islam, wahyu Allah di atas seperti kehilangan
relevansinya. Sebagaimana diketahui, sejak di Madinah, orang Yahudi dan Nasrani
sudah dikelompokkan dalam golongan kaum kafir. Apakah neraka disiapkan Allah
juga untuk mereka-mereka ini, sebagaimana diwahyukan Allah? Jika memang
demikian, hal ini semakin menegaskan arogansi dan sikap intoleran islam. Islam
adalah agama yang tidak bisa menghargai perbedaan. Islam hanya mau memaksakan
kehendaknya.
Akan
tetapi, yang menarik dari kutipan wahyu di atas sebenarnya terletak pada
penggunaan kata ganti untuk Allah. harus dipahami bahwa 2 kalimat di atas
adalah kata-kata Allah sendiri. Dalam 2 kalimat itu Allah menggunakan 2 kata
ganti yang berbeda. Pada kalimat pertama Allah menggunakan kata ganti “Aku”,
sedangkan pada kalimat kedua kata ganti “Kami”. Kenapa Allah menggunakan 2 kata
ganti yang berbeda pada satu wahyu-Nya? Hal ini hendak menunjukkan kalau Allah
tidak konsisten. Allah suka berubah-ubah.
Dua
kata ganti yang dipakai Allah jelas sangat berbeda satu sama lain maknanya.
Kata ganti “Aku”, secara linguistik, merujuk pada Allah yang sedang berbicara,
sementara “Kami” tidak hanya pada Allah yang sedang berbicara tetapi juga ada
Allah yang lain. Menurut ilmu bahasa, kata “kami” adalah kata ganti orang
pertama jamak. Pada kata “kami” ada aku
yang berbicara dan dia yang bersama aku. Jadi, jika kata “Kami” yang dipakai
pada kalimat kedua dimaknai sebagai “Allah”, maka kata tersebut hendak
menunjukkan keberadaan Allah yang lain selain Allah yang sedang berbicara.
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa neraka tidak hanya disediakan oleh Allah
yang sedang berbicara. Neraka, dalam kalimat kedua, disediakan oleh Allah yang
sedang berbicara bersama Allah yang lain.
Sangatlah
jelas bahwa penggunaan kata “kami” pada kutipan wahyu Allah di atas bukanlah dalam
tujuan memperhalus bahasa. Memang, dalam ilmu bahasa kata “kami” biasa
digunakan untuk memperhalus bahasa. Akan tetapi, menjadi aneh ketika melihat
kalimat pertama, dimana Allah memakai kata “Aku”. Jika memang bertujuan untuk
memperhalus bahasa, kenapa tidak sekaligus dari kalimat pertama digunakan kata
“kami”? Jadi, kata “aku” dan kata “kami” dalam wahyu Allah ini adalah dua kata
yang berbeda maknanya. Dan Allah sepertinya sengaja menggunakan dua kata
tersebut. Dengan demikian, Allah islam tidak hanya satu, tetapi dua atau lebih.
Oleh
karena itu, adalah ironi jika islam mengkritik agama lain yang Allahnya banyak,
sementara Allahnya sendiri juga lebih dari satu. Dari telaah linguistik atas
kutipan wahyu Allah di atas ditemukan bahwa Allah itu tidak hanya ada SATU.
Allah bukan cuma Dia yang menyampaikan wahyu. Ada Allah lain, yang bersama
dengan Allah yang menyampaikan wahyu terlibat dalam penyediaan neraka bagi
orang kafir. Dengan demikian, islam bukanlah agama monoteisme, karena Allahnya
lebih dari satu.
Dabo, 13 Desember 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar