Bagi umat Kristen tentu sudah tak asing lagi kisah kebun anggur Nabot ini.
Kisahnya dapat dibaca di Kitab 1Raja-Raja
21: 1 – 16. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Raja Ahab merasa
iri hati dengan kebun anggur Nabot. Dia ingin memilikinya, namun Nabot tidak
memberinya. Dengan akal licik dan kekuasaannya, kebun itu akhirnya bisa
berpindah kepemilikan. Tentu setelah Nabot dibunuh.
Kisah ini sudah menjadi bacaan liturgi ekaristi. Mungkin orang bertanya apa
relevansi kisah tersebut untuk kehidupan kita dewasa ini. Kisah itu
diperkirakan terjadi pada rentang waktu 869 – 850 SM. Jadi, nyaris 3.000 tahun
yang lampau. Cerita kebun anggur Nabot merupakan cerita usang. Jika
dibarangkan, mungkin kisah ini sudah kadaluwarsa.
Sekalipun kisah kebun Nabot ini terbilang sudah lama sekali, namun tragedi
tersebut masih saja terjadi di zaman modern ini.
Adalah sebuah keluarga ingin mengabdikan hidup mereka untuk membantu masyarakat kecil lewat sebuah lembaga. Sadar bahwa untuk mengurus pendirian sebuah lembaga baru sangatlah sulit dan rumit, apalagi melihat latar belakang etnisnya, maka keluarga ini meminta sebuah yayasan untuk memayunginya. Yayasan ini setuju. Maka dibuatlah kesepakatan bersama.
Dalam perjalanan waktu, lembaga ini berkembang sangat pesat. Dari satu unit
kini menjadi tiga unit. Maklum, motivasi mereka murni dan Tuhan meridhoi usaha
mereka. Kemurnian motivasi mereka terlihat dari kinerja dan manajemen lembaga
yang baik dan manusiawi. Masyarakat pun merasa sangat senang dan terbantu
dengan kehadiran lembaga ini.
Melihat perkembangan yang pesat ini, segelintir pengurus yayasan mulai iri.
Hal ini mirip seperti Raja Ahab yang iri hati melihat kebun anggur Nabot. Motif
iri hati itu terletak pada uang. Pengurus yayasan melihat bahwa ada banyak uang
yang berputar di lembaga itu. Bukankah perkembangan pesat ditunjang dari uang
yang banyak? Dari perasaan iri ini muncul niat untuk menggabungkan lembaga itu
ke dalam yayasan. Dengan peleburan ini, tentulah uang lembaga itu menjadi uang
yayasan, yang selama ini sudah dinikmati oleh segelintir pengurus saja.
Maka mulailah pengurus yayasan mengutarakan niatnya kepada pemilik lembaga
itu, seperti Raja Ahab yang menyampaikan niatnya kepada Nabot. Sama seperti
Nabot, pemilik lembaga itu tidak setuju dengan berbagai alasan. Pengurus
yayasan tidak putus asa, seperti isteri Ahab yang mencoba berbagai cara.
Akhirnya didapat cara halus untuk mendapatkannya, yaitu memfitnah. Dalam kisah
kebun anggur Nabot, cara yang dilakukan adalah dengan fitnah dan berakhir pada
pembunuhan. Hal yang sama dialami pemilik lembaga itu. Pengurus yayasan
menyebarkan fitnah bahwa keluarga pemilik lembaga itu telah melakukan korupsi
atau manipulasi keuangan.
Kisah ini terjadi di zaman modern ini. Kisahnya serupa tapi tak sama. Jika
dalam kisah kebun anggur Nabot akhirnya muncul tokoh nabi yang memperingatkan
Raja Ahab sehingga ia sadar akan keberdosaannya, akankah di zaman kini juga
masih dibutuhkan nabi untuk memperingati “Raja Ahab-Raja Ahab modern” ini. Nabi
memang tetap diperlukan. Akan tetapi, setidaknya masing-masing kita dapat sadar
diri akan kesalahan Raja Ahab itu. Gereja memasukkan kisah kebun anggur Nabot
ke dalam bacaan liturgi dengan maksud agar tidak lagi terjadi peristiwa tersebut
dalam kehidupan. Jadi, dalam hal ini Gereja sudah menjadi nabi yang
menyampaikan pesan Allah (Kitab Suci).
Menjadi persoalan: apakah kita siap menjadi Raja Ahab pasca perampokan
kebun Nabot, yang mau mendengarkan suara “nabi” dan akhirnya bertobat? Ataukah
kita sudah tutup mata, tutup telinga dan tutup hati terhadap seruan “nabi” itu
sehingga kita terus beraksi memenuhi tuntutan nafsu diri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar