Dan mereka menyembah
selain Allah, apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak (pula)
mendatangkan bencana kepada mereka. Orang-orang kafir adalah penolong (setan untuk berbuat durhaka) terhadap Tuhannya. (QS 25: 55)
Pusat spiritualitas umat islam adalah Al-Qur’an. Ia
dipercaya sebagai wahyu Allah yang disampaikan langsung kepada nabi
Muhammad SAW (570 – 632 M). Kepercayaan ini didasarkan pada perkataan Allah sendiri yang
banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Karena Allah itu mahabenar, maka
perkataan-Nya, yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah juga benar. Hal inilah
yang kemudian membuat Al-Qur’an dikenal sebagai kitab kebenaran. Jika ditanya
kepada umat islam kenapa begitu, pastilah mereka menjawab karena itulah yang ditulis
dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak hanya dilihat sebagai kitab kebenaran.
Karena sumbernya adalah Allah yang mahabenar dan maha sempurna, maka Al-Qur’an
juga dipercaya sebagai kitab yang jelas. Ini pun sama jika ditanya kepada umat
islam kenapa begitu, pastilah mereka menjawab karena itulah yang tertulis dalam
Al-Qur’an.
Berangkat dari dua premis ini, maka kutipan ayat
Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan berasal dari Allah dan merupakan satu
kebenaran. Apa yang tertulis di atas (kecuali yang ada di dalam tanda kurung),
semuanya diyakini merupakan kata-kata Allah, yang kemudian ditulis oleh
manusia. Seperti itulah kata-kata Allah (sekali lagi minus yang di dalam tanda
kurung). Karena surah ini masuk dalam kelompok surah
Makkiyyah, maka bisa dipastikan bahwa Allah menyampaikan wahyu ini
saat Muhammad ada di Mekkah. Namun sedikit sulit jika mengaitkan dengan Al-Qur’an
sebagai kitab yang jelas, karena kutipan di atas tampak belum jelas.
Kutipan wahyu Allah di atas terdiri dari 2 kalimat. Jika kutipan di atas ditelaah dengan menggunakan logika atau akal sehat, maka akan menemukan beberapa hal penting yang menarik untuk direnungkan.
1. Pada kalimat pertama terdapat 3 kata “mereka” dengan
status yang berbeda-beda. Yang pertama sebagai subyek, 2 lainnya sebagai obyek
tujuan. Menjadi pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan “mereka” dalam wahyu
Allah ini? Apakah “mereka” ini merujuk pada “orang-orang
kafir” yang ada pada kalimat kedua? Jika memang demikian,
kenapa “orang-orang kafir” ini tidak langsung diletakkan pada awal kalimat pertama
sehingga menjadi jelas dan tidak membuat bingung di kemudian hari?
Ataukah
kata “mereka” ini merujuk kepada “manusia yang diciptakan dari air” yang ada
pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 54? Memang menurut tata bahasa hal ini bisa
diterima, karena baik “mereka” maupun “manusia yang diciptakan dari air”
sama-sama berbentuk jamak. Akan tetapi, kata atau frase ini sulit untuk
disatukan dengan frase “menyembah selain Allah”. Ada kemungkinan kata “mereka” ini merujuk kepada orang
kafir yang disebut pada ayat 52. Pendekatan ini sedikit masuk akal karena bisa
dikaitkan dengan kalimat kedua dan disatukan dengan frase “menyembah
selain Allah”. Bukankah orang kafir itu adalah
orang yang menyembah selain Allah?
2. Anak kalimat pada kalimat pertama cukup unik. Di sana
tertulis “apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka
dan tidak (pula) mendatangkan bencana kepada mereka”. Anak kalimat ini bisa disederhanakan sebagai berikut:
“tak untung dan tak juga rugi”. Artinya netral. Ada 2 tafsiran atas situasi
tidak untung dan tidak rugi ini. Tafsiran pertama dikaitkan dengan kegiatan menyembah
selain Allah. Karena itu, bisa dipahami bahwa
aktivitas menyembah selain Allah sama sekali tidak mendatangkan keuntungan dan juga
kerugian. Hal ini mirip dengan wahyu Allah lainnya yang terdapat dalam QS an-Nahl:
73.
Tafsiran
kedua dikaitkan dengan yang disembah. Artinya, bahwa apa yang disembah selain
Allah itu sama sekali tidak mendatangkan keuntungan dan juga kerugian. Hal ini
mirip dengan wahyu Allah lainnya yang terdapat dalam QS Yunus: 106. Secara
implisit, wahyu ini hendak mengatakan bahwa jika yang disembah itu adalah Allah
SWT, maka orang hanya akan mendapatkan manfaat. Orang ini termasuk golongan
yang tidak rugi. Kata “rugi” dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan siksa di
api neraka.
Yang
membuat anak kalimat ini menarik adalah bila ia dikaitkan dengan wahyu-wahyu
Allah lainnya yang bersikap negatif terhadap sikap dan perbuatan menyembah
selain Allah. Misalnya, dalam QS al-Anam: 56
dikatakan bila menyembah selain Allah maka tidak akan diberi petunjuk; atau
dalam QS al-Mukminun: 117 dikatakan bila menyembah selain Allah maka tidak
beruntung (alias rugi). Dalam QS al-Baqarah: 5, orang yang mendapat petunjuk
adalah orang yang beruntung. Jika kata “rugi” dikaitkan dengan neraka, maka
kata “petunjuk” dan “beruntung” dikaitkan dengan surga. Selain itu, ada banyak
wahyu Allah yang menyatakan bahwa jika menyembah selain Allah maka akan
mendapatkan azab (QS Hud: 26; QS al-Furqan: 42; QS asy-Syuara: 213, dll). Kata
“azab” dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan neraka, meski sering juga umat
islam mengaitkannya dengan setiap petaka yang menimpa.
3. Menarik juga bila mencermati kalimat kedua dari wahyu
Allah di atas. Jika mengutip wahyu Allah yang asli (minus kalimat dalam tanda
kurung), maka kalimatnya bisa dimaknai bahwa orang-orang
kafir adalah penolong terhadap Tuhannya. Tapi bila kalimat dalam tanda kurung, yang merupakan
tambahan kemudian yang berasal dari manusia, diikutkan, maka kalimatnya dapat
dimaknai bahwa orang-orang kafir adalah penolong setan. Artinya,
wahyu Allah yang asli maknanya berbeda dengan wahyu Allah yang tertulis
sekarang ini (setelah mendapatkan tambahan).
Untuk
makna pertama (wahyu asli) ini, secara implisit hendak dikatakan bahwa Tuhan
membutuhkan pertolongan. Pemaknaan seperti ini bukanlah hal yang baru bagi
Muhammad. Dalam Al-Qur’an banyak ditemui wahyu Allah yang menunjukkan bahwa
ternyata kaum muslim adalah penolong bagi Allah (QS Ali Imran: 52; QS al-Hajj:
40; QS Muhammad: 7 dan QS as-Saff: 14). Memang tak sedikit juga ditegaskan
bahwa hanya Allah SWT sajalah yang menjadi penolong bagi umat islam. Jadi,
bahwa Allah membutuhkan pertolongan dari umat-Nya bukanlah sesuatu yang
memalukan dan merendahkan hakikat Allah yang mahakuat dan perkasa. Pemaknaan
seperti inilah yang dihayati umat islam ketika ada penghinaan terhadap islam.
Umat islam wajib membela Allah dan agama-Nya.
Untuk
makna kedua (setelah mendapatkan tambahan) ini, bisa dikatakan bahwa setan
membutuhkan pertolongan dari orang kafir. Pemaknaan seperti ini mirip dengan
wahyu Allah dalam QS al-Araf: 202. Menjadi pertanyaan, Apakah
setan mengabdi kepada orang kafir? Apakah orang kafir menciptakan setan atau
setan yang menjadikan seseorang menjadi kafir? Dalam QS an-Nahl: 101
dikatakan bahwa kekuasaan setan hanya atas orang yang menjadikannya sebagai
pemimpin. Jika dimaknai setan membutuhkan pertolongan orang kafir, hal ini
sedikit bertentangan dengan wahyu Allah lainnya. Misalnya, dalam QS al-Baqarah:
257 dikatakan bahwa setan justru menjadi pelindung bagi orang kafir, atau dalam
QS az-Zukhruf: 36 setan merupakan teman yang senantiasa menyertai orang kafir.
Terkait
dengan makna kedua ini, ada hal membingungkan bila dikaitkan dengan tindakan
durhaka terhadap Tuhan. Siapa sebenarnya yang berbuat
durhaka terhadap Tuhannya: orang-orang kafir atau
setan? Sebagai satu kalimat uang utuh, maka bisa dikatakan bahwa yang berbuat
durhaka adalah setan dengan bantuan orang kafir. Menjadi
pertanyaan, kenapa setan membutuhkan pertolongan manusia untuk berdurhaka
kepada Tuhan? Bukankah setan sejak awal adalah kaum durhaka dan musuh Allah?
4. Persoalan kecil muncul terkait dengan kata “Tuhannya”
yang ada pada kalimat kedua. Kata ini hendak menunjukkan ada Tuhan lain selain
Allah SWT, dan Tuhan yang lain itu disembah oleh orang kafir, sekalipun
aktivitas menyembah itu tidak mendatangkan keuntungan dan juga kerugian
(menurut pemahaman Allah SWT). Pemahaman seperti ini membuktikan bahwa islam
mengakui keberadaan Allah yang lain, meski tidak diimani dan tidak disembah. Konsep
ini sebenarnya belum benar-benar monoteisme, melainkan henoteisme atau lebih tepat disebut monolatri, pengabdian eksklusif kepada Allah SWT, satu-satunya
Allah yang diimani dan disembah, yang berbeda dengan allah-allah lain. Dengan perkataan lain, paham monorteisme islam bukanlah monoteisme sejati,
karena ternyata islam mengakui pula pelbagai
manifestasi Allah lain.
DEMIKIANLAH 4 poin penting hasil penelaahan dengan akal
sehat atas wahyu Allah dalam QS al-Furqan: 55 sebagaimana dikutip di atas. Dari
4 poin tersebut didapatkan adanya ketidak-jelasan dan juga pertentangan. Ketidak-jelasan
ini seakan hendak membantah wahyu Allah sendiri yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah kitab atau keterangan yang jelas. Ketidak-jelasan dan juga pertentangan
hendak menyanggah bahwa Allah itu maha mengetahui dan maha sempurna. Karena itu,
dapatlah disimpulkan bahwa kutipan ayat di atas bukanlah wahyu Allah. Bagaimana
mungkin Allah yang mahatahu dan maha sempurna menghasilkan wahyu yang tidak
jelas? Jika kutipan ayat di atas bukan wahyu Allah, lantas dari mana kutipan
ayat tersebut? Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengutip pernyataan
orang-orang kafir (ini khas dalam Al-Qur’an) yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
merupakan hasil rekayasa Muhammad. Artinya, orang-orang dulu sudah berpikir
bahwa apa yang disampaikan atau diwartakan Muhammad adalah karangannya sendiri
dengan menganggapnya sebagai wahyu Allah.
Dabo Singkep, 11 Maret 2021
by adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar