Selasa, 16 Maret 2021

TINJAUAN KRITIS ATAS BUKU "PERANG SUCI"


 

Fenomena kekerasan dengan mengatas-namakan islam dan Tuhan menjadi suatu keprihatinan bagi Karen Armstrong. Keprihatinan Karen ini dituangkan dalam bukunya Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1988 di Inggris (hlm 9). Karen Armstrong mengawali ulasannya dari peristiwa Perang Salib pertama yang diserukan oleh Paus Urbanus II pada tanggal 25 November 1095 (Bab I, hlm 27 – 94). Bagi Karen, perang salib ini menimbulkan luka dan kebencian yang tak terdamaikan pada tiga agama Samawi ini, yang darinya melahirkan prasangka-prasangka (hlm 12). Karen menilai bahwa perang salib berkaitan erat dengan konflik modern dan hubungan yang tegang selama bertahun-tahun di antara agama Yahudi, Islam dan Kristen. Karena itulah, Karen Armstrong berkesimpulan bahwa “Perang Salib adalah salah satu sebab langsung dari konflik di Timur Tengah saat ini.” (hlm 18 – 19).

Tentang bukunya ini, yang edisi bahasa Indonesianya pertama kali diterbitkan tahun 2003, Karen Armstrong mengakui bahwa bukunya berbeda dengan buku-buku lain yang juga mengulas perang salib. Sekalipun mengakui dirinya bukan ahli sejarah yang profesional, namun Karen memiliki modal dalam ilmu teologi dan sastra. Artinya, sekalipun bukunya tidak seperti buku sejarah lainnya, namun bekal teologi dan sastra membuat bukunya menjadi menarik (hlm 19 – 21). Ini terbukti dari beberapa pujian yang ada di sampul belakang buku ini.

Lepas dari pujian atas karya Karen Armstrong ini, buku ini tentu tak luput juga dari kelemahan. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami akan menyampaikan beberapa catatan kritis atas buku ini.

A.    Soal Referensi

Pertama sekali harus diakui bahwa referensi untuk buku ini sungguh luar biasa. Keluar-biasaan itu, seperti yang dikatakan Achmad Syafii Maarif, membuat isi buku ini mendalam dan konprehensif. Namun kami juga menyadari keterbatasan kami untuk mengecek referensi-referensi tersebut.

Akan tetapi ada beberapa uraian dalam buku itu yang seharusnya menyertakan sumber, namun tidak terdapat sumbernya. Tentulah hal ini sedikit mengurangi kualitas buku ini. Sebagai bukti kami menyebutkan tiga contoh saja, seperti:

1.     Pada halaman 211 tertulis: “Kaum Muslim yang membaca Alquran ... menyatakan bahwa kaum Yahudi adalah musuh Islam.... Ayat-ayat itu tentu saja ... berbeda dengan ayat-ayat yang ....” Kenapa tidak disebutkan referensi ayat Al-Qur’annya?

2.     Pada halaman 561 tertulis: “Al-Qur’an tidak mengizinkan perjanjian damai yang dapat merugikan Islam ...” Surat apa dan ayat berapa yang menyatakan hal itu?

3.     Ada tertulis: “Urban telah mengatakan ... bahwa memerangi orang Kristen .... kriminal dan memalukan. Ini selalu menjadi ajaran Kristen sejak masa St. Agustinus.” Mana referensi untuk membenarkan pernyataan ini?

B.     Soal Informasi

Terus terang, membaca buku ini dapat membuka wawasan kita. Ada begitu banyak informasi yang disampaikan, misalnya

1.     Pada halaman 74 dipaparkan soal praktek razia pada masa awal keislaman. Dari sini kita akhirnya dapat memahami mengapa FPI atau ormas islam lainnya sering atau suka melakukan razia. Mungkin ini menjadi dasarnya: kebiasaan lama pada zaman nabi.

2.     Perang suci dalam dunia kristen baru pertama kali muncul sejak Paus Urbanus menyerukan Perang Salib yang pertama pada tanggal 25 November 1095 (hlm 94).

3.     Kita juga bisa mengetahui perbedaan antara penaklukan yang dilakukan oleh kekaisaran islam dengan kekaisaran kristen (hlm 88 – 89). Perbedaan itu terletak pada moralitas pimpinannya. Kalau kekaisaran islam pemimpinnya bermoral, sedangkan yang kristen tidak.

4.     Buku ini juga menyajikan informasi keragaman Israel yang dapat mengubah pemahaman kita selama ini (hlm 135 – 200).

5.     Tentu kita akan kaget kalau dikatakan bahwa ada banyak pemimpin Arab yang menentang negara Palestina (hlm 207).

6.     Pada halaman 207 – 240 kita dapat mengetahui betapa negara Israel menjadi aib di Timur Tengah. Karena itu, ada ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa orang Yahudi merupakan musuh islam, sehingga para penyair Palestina akan mengajak rakyatnya untuk berperang. Namun sayangnya penulis tidak mengungkapkan kenapa Israel adalah aib di Timur Tengah.

Analisa kami, Israel dilihat sebagai aib, karena keberadaan Israel membuat ketidak-sempurnaan Timur Tengah sebagai wilayah islam. Artinya, islam sebenarnya menghendaki agar Timur Tengah seluruhnya adalah daerah islam.

7.     Dalam Bab 7 (hlm 435 – 499) kita akan mengetahui perubahan zionisme menjadi perang suci. Akan tetapi perlu juga diketahui bahwa ada begitu banyak orang Israel yang mencintai damai dan menghendaki negara Palestina (hlm 474 – 477, lihat juga 557).

8.     Ada informasi sunat pada kaum perempuan (hlm 532 – 534) dan Albigensisme yang sangat menarik (hlm 605 – 616).

C.     Pertanyaan Kritis

1.     Dari uraian pada halaman 805, kita dapat mengajukan pertanyaan: benarkah dukungan terhadap Israel sering diilhami oleh sebuah hasrat alamiah untuk memperbaiki kesalahan mereka?

2.     Kenapa Karen Armstrong tidak menjelaskan alasan kekristenan Eropa berubah menjadi agama kasih sejak revolusi Perancis? Kenapa perubahannya begitu mudah dan permanen? Kenapa islam masih tetap dengan dunia kekerasannya? Dengan kata lain, kalau kita mengambil istilah Kitab Suci orang kristen, orang islam masih dalam dunia Perjanjian Lama, sedangkan orang katolik sudah masuk dalam dunia Perjanjian Baru.

3.     Pada halaman 820 secara implisit Karen Armstrong menilai bahwa perdamaian islam dan Yahudi tergantung pada perdamaian umat kristen. Kenapa bisa begitu?

D.    Catatan Kritis

1.     Bagi orang kristiani, terutama katolik, membaca kisah Perang Salib dalam buku ini bisa mendapatkan masukan berharga. Kisah perang salib itu menjadi bahan refleksi sekaligus tamparan iman. Terus terang uraian tentang perang salib itu sangat memalukan, bukan karena kekalahannya melainkan karena penyimpangannya. Karena itu benar apa yang dikatakan oleh Karen Armstrong bahwa Perang Salib merupakan sebuah penyimpangan dari ajaran Yesus yang penuh cinta damai (hlm. 824).

2.     Pada bagian belakang sampul buku, The Boston Phoenix memuji objektivitas uraian buku ini. Akan tetapi kami melihat bahwa isi buku ini tak lepas dari opini subjektif penulis. Karen Armstrong tidak menampilkan sejarah apa adanya tetapi malah jatuh pada subjektivitas pribadi. Subjektivitas penulis terlihat dari prasangkanya. Pada halaman 813 Karen Armstrong mengkritik Barat (termasuk kekristenan) jatuh dalam prasangka atas saudaranya islam. Padahal Karen Armstrong sendiri sudah jatuh dalam prasangka. Ada banyak hal yang bisa membuktikan hal ini.

a)     Dalam menilai peristiwa sejarah Karen memakai sudut pandang yang tidak proporsional. Ada ketimpangan pada Karen dalam menilai sejarah islam dan kristen. Terhadap sejarah kristen Karen sering memakai cara pandang sekarang, sedangkan islam dengan cara pandang lampau. Misalnya saat menilai kegagalan tentara salib dan tentara islam.

b)    Sering kita temukan bahwa Karen selalu curiga terhadap buku-buku dari penulis kristen yang bernada negatif tentang islam, sekalipun mereka berdasarkan data dan fakta. Tudingan Karen atas penulis-penulis, yang dinilainya dipengaruhi prasangka Abad Pertengahan, mau menunjukkan bahwa dirinyalah pemegang kebenaran tentang islam dan Muhammad. Ada kesan Karen melihat islam itu positif dan ingin memaksakan orang lain menerima pendapatnya.

c)     Pada halaman 637 ada perbandingan (misi Amerika Serikat dengan misi para misionaris) yang mau dipaksakan, atau perbandingan yang kurang tepat pada halaman 671 – 672 antara Raja Louis IX dengan Frederick. Hal ini mau menunjukkan subjektivitas penulis.

d)    Pada halaman 365 – 366 Karen Armstrong memuji hidup menikah daripada selibat seperti yang dilakukan para imam Katolik.

3.     Kita bisa mengatakan bahwa penilaian positif Karen Armstrong atas islam hanya untuk mencari popularitas dan larisnya penjualan bukunya. Karena itu, buku-buku yang ditulis Karen selalu diincar penerbit islam. Misalnya Sejarah TuhanMuhammadMasa Depan Tuhan dan Berperang Demi Tuhan yang semuanya diterbitkan oleh penerbit Mizan.

4.     Dari uraian buku ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Perang Suci menjadi kebijakan islam sedunia dari dulu hingga sekarang. Seperti yang dikatakan Karen Armstrong bahwa kini para pemimpin islam berpendapat bahwa perang melawan agresi Barat merupakan kewajiban islam (hlm 314). Karena itu, jika ada serangan Barat ke Palestina atau negara islam lainnya di Timur Tengah, umat islam di belahan bumi lainnya, seperti Indonesia, akan bereaksi. Atau jika ada serangan terhadap agama islam atau Muhammad, semua umat islam di seluruh dunia akan beraksi.

Akan tetapi kekristenan sudah menghentikan seruan perang suci itu sejak terjadinya pemisahan negara dan Gereja. Perang Suci hanya menjadi kebijakan Barat, mungkin hingga kini, tapi bagi Gereja Katolik itu sudah menjadi bagian masa lalu. Kalau dulu Barat itu identik dengan kekristenan, maka sekarang harus dipisahkan. Karena itu, seruan Perang Salib Presiden Goerge W Bush, bukanlah seruan kekristenan, melainkan Barat (termasuk Amerika Serikat).

Hal ini dapat dibuktikan. Sampai saat ini tidak ada aksi agresif dari orang kristen yang mewakili agama kristen. Tapi kita masih bisa menemukan agresifitas orang islam yang mengatas-namakan agamanya. Bahkan kecurigaan orang islam terhadap orang kristen masih dapat ditemukan. Kita ambil contoh soal izin membangun rumah ibadah. Orang kristen akan menemukan kesulitan membangun rumah ibadah di wilayah Indonesia Barat yang mayoritas penduduknya beragama islam. Akan tetapi orang islam akan mudah mendirikan rumah ibadah dan pesantren di wilayah Indonesia Timur yang mayoritas penduduknya beragama kristen, seperti Papua, NTT.

5.     Satu hal yang kurang diperhatikan orang dan luput dari pembahasan Karen Armstrong berkaitan masalah tiga agama Abraham ini adalah soal adanya spirit kristenisasi dan/atau islamisasi tapi tidak ada yahudinisasi. Hal ini sebenarnya bisa menjadi latar belakang konflik. Jika islam menguasai Palestina, maka akan ada proses islamisasi orang kristen dan/atau yahudi. Hal ini tentu tidak disukai oleh baik kristen maupun yahudi. Demikian pula jika kristen menguasai Palestina, tentulah orang islam menolaknya karena akan ada proses kristenisasi. Bagaimana jika yahudi yang berkuasa? Tak akan ada  proses yahudinisasi atas orang kristen maupun islam, karena keyahudian itu berkaitan dengan suku. Karena itu, baik orang kristen maupun islam tak perlu merasa takut dan curiga akan diyahudikan dirinya.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar