Sudah
sering kita dengar kisah pilu para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di negara
Arab Saudi. Mereka disiksa sampai ada yang mengalami cacat fisik. Tak sedikit
juga TKW itu diperkosa (menurut standar umum). Bahkan ada di antara mereka yang
meregang nyawa. Derita pilu yang dialami para TKW ini ironisnya terjadi di
sebuah negara yang berlandaskan pada ajaran agama, yaitu agama islam. Mirisnya
lagi, para korban kekerasan dalam rumah tangga itu umumnya beragama islam.
Sekalipun
ada kekerasan seksual (perkosaan), namun berita kasus TKW diperkosa nyaris tak
pernah terdengar (kalau tak mau dikatakan tak ada sama sekali). Meski ada
proses pengadilan, pelaku biasanya dijerat dengan pasal kekerasan fisik, bukan
kekerasan seksual, walau korban benar-benar mengalami hal tersebut.
Tentu
orang akan bertanya, sungguhkah ada terjadi perkosaan terhadap TKW? Jika
menyimak sepenggal lirik lagu Doel Sumbang yang berjudul, “Balada Seorang TKW”,
kita tidak saja menyakini adanya kasus perkosaan itu tetapi juga hilangnya
kasus tersebut dari kehidupan, alias tidak ada. Doel Sumbang menulis, “Mungkin karena kau jelita ibu // Majikanmu mau
memperkosamu // Janganlah kau ragu ibu // Ambillah palu atau mutu // Dan
hajarlah anu-nya // Kemudian hajarlah anu-nya.” Di
sini, secara implisit, terdengar nada kebencian dan kemarahan terhadap hukum
yang tidak adil. Sekalipun ada tindak perkosaan, namun hukum pengadilan tidak
bisa membuktikan dan menghukum pelakunya. Karena itulah Doel Sumbang menawarkan
“main hakim sendiri” biar keadilan ditegakkan.
Atau kita bisa membaca tulisan Muthiah Alhasany di
kompasiana dengan judul “Ini Penyebab TKW Diperkosa di Arab Saudi”. Judul
tersebut sudah mengisyaratkan adanya perkosaan di tanah islam itu. Akan tetapi,
selalu saja kasus perkosaan ini tidak terdengar ke publik. Karena itu, menjadi
pertanyaan, kenapa kasus perkosaan di Arab Saudi atau negara islam pada umumnya
sulit dibuktikan sehingga nyaris kasus tersebut tidak ada? Jadi, sekalipun ada,
namun tidak ada.
Jawabannya
terletak pada hukum yang dipakai, yaitu hukum yang berdasarkan agama. Seperti
yang sudah diketahui Arab Saudi adalah negara agama, yang mendasarkan hukumnya
pada hukum islam. Hukum islam mengacu pada Al-Qur’an dan hadis. Kasus perkosaan
sulit dibuktikan karena keterbatasan saksi. Korban perkosaan adalah wanita.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa kesaksian seorang wanita nilainya hanya setengah
dari kesaksian seorang pria. Dibutuhkan 2 orang wanita untuk senilai kesaksian
1 orang pria, sementara dalam pesidangan dibutuhkan 2 orang saksi (bdk. QS
al-Baqarah: 282). Dengan kata lain, kesaksian seorang wanita tidaklah penuh,
berbeda dengan kesaksian seorang pria yang dinyatakan penuh. Hukum islam
sepertinya tidak memberi peluang pada ilmu pengetahuan, misalnya lewat visum.
Maklum, metode ini tidak tertulis dalam Al-Qur’an dan hadis. Mengambil
kesaksian orang ketiga juga tetap akan menemui jalan buntu. Kesulitannya bisa
dipahami dengan mempelajari dan membandingkan yurisprudensi kasus perzinahan yang
terjadi pada tahun 17 Hijriah (638 Masehi). Berikut kisahnya.
Suatu hari dibawa ke hadapan
Umar sepasang anak manusia, al-Mughirah ibn Shu’bah dan Um Jamil, yang
kedapatan berbuat zinah. Tiga sahabat nabi, yakni Abi Bikra, Nafi ‘a bin
al-Harith dan Shibal bin Ma’abad mengaku telah menyaksikan kedua orang tersebut
berzinah. Ketika sahabat nabi yang keempat (Zaiad ibn Shamalah) muncul, Umar
meyakinkannya bahwa dia tidak akan mengecewakan al-Mughirah ibn Shu’bah. Umar
menanyakan apa yang dilihat Zaiad.
Zaiad menjawab: “Aku melihat
mereka, dan mendengar dengusan nafas yang kuat, dan kulihat dia telungkup di
atas perut dan payudara Um Jamil.”
Umar: “Apakah kau melihat
dia memasuk-keluarkan penisnya saat al-Mail masuk ke dalam al-Mukahal?”
Zaiad menjawab: “Tidak. Tapi
aku melihat dia mengangkat kedua kaki Um Jamil dan tubuhnya naik turun di
antara kedua kaki Um Jamil. Dan aku melihat dia melakukannya dengan sepenuh
tenaga dan aku mendengar dengusan nafas yang keras.”
Umar kembali bertanya:
“Apakah kau melihat dia memasuk-keluarkan penisnya saat al-Mail masuk ke dalam
al-Mukahal?”
Dengan tegas Zaiad menjawab,
“Tidak.”
Sontak Umar berkata, “Allahu
Akbar. Panggil al-Mughirah ibn Shu’bah kemari dan beri ketiga saksi delapan
puluh cambukan.”
Bayangkan kesulitan dan tantangan orang ketiga untuk membuktikan sungguh
adanya perkosaan. Dia harus sungguh yakin melihat penis majikan masuk ke dalam
lobang vagina pembantu rumah tangga (TKW). Jika tidak, maka dia sendiri akan
mendapat hukuman. Karena itulah, kasus perkosaan benar-benar sulit dibuktikan
dengan menggunakan hukum islam. Berhadapan dengan kasus perkosaan, korban hanya
berjuang sendiri, namun malangnya kesaksiannya tidak diakui karena dia seorang
wanita.
Selain itu, tidak adanya kasus perkosaan di Arab Saudi karena dalam arti
tertentu majikan boleh melakukan persetubuhan dengan pembantunya (TKW),
terlepas apakah TKW itu mau atau tidak. Hal ini dinyatakan Allah dalam
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, ….., yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki (QS
al-Mukminun: 1, 5 – 6).
Wahyu Allah SWT ini kembali ditegaskan dalam QS al-Ma’arij: 29 – 30,
dimana mereka yang melakukan hal tersebut dikatakan tidak tercela.
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka tidak tercela.
Wahyu Allah ini dimaknai bahwa seorang majikan boleh melakukan persetubuhan
dengan istri dan juga hamba sahayanya. Sekalipun ia tidak terikat perkawinan
dengan hambanya, namun ia bisa bersetubuh dengannya; dan ini bukan dosa zinah.
Malah, menurut surah al-Mukminun, ia adalah orang yang sungguh beruntung. Jika
majikan bersetubuh dengan hambanya, entah hambanya suka atau tidak, berarti
majikan telah melakukan kehendak Allah SWT.
Siapa itu hamba sahaya? Memang hamba sahaya, dalam kutipan Al-Qur’an di
atas, adalah konteks masa lalu. Untuk saat ini, hamba sahaya dapat dimaknai
sebagai pembantu atau pelayan rumah tangga. Mereka itulah TKW. Karena itu,
wahyu Allah ini bisa diterjemahkan dengan “Sungguh beruntung ………, orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau pembantu rumah
tangga yang mereka miliki.”
Wahyu Allah inilah yang meloloskan majikan yang melakukan pemaksaan bersetubuh
dengan pembantunya, sekaligus membuat tidak adanya kasus perkosaan di Arab
Saudi. Semua umat islam, temasuk hakim yang menjalankan proses pengadilan harus
tunduk pada hukum Allah. Majikan yang melakukan persetubuhan dengan
pembantunya, tak peduli apakah itu dilakukan atas dasar sukarela atau paksaan,
dilihat sedang menjalankan kehendak Allah SWT. Masak orang yang melakukan
kehendak Allah dihukum? Allah sendiri telah menyebut mereka yang melakukan hal
itu adalah sungguh beruntung.
Muthiah Alhasany, dalam
tulisannya, menyebut alasan ini sebagai bentuk feodalisme. Alhasany menulis,
“Masih banyak orang Arab yang menganggap bahwa TKW tak lebih dari budak belian
yang bebas diperlakukan apa saja. Jadi, mereka merasa sah-sah saja menggauli
TKW yang bekerja di rumahnya.” Mungkin Alhasany tidak menyadari bahwa mental
feodalisme yang disebutnya itu berakar dari wahyu Allah SWT yang tertulis dalam
Al-Qur’an. Orang Arab yang menggauli TKW telah melaksanakan kehendak Allah SWT.
Jadi, kasus majikan menyetubuhi pembantunya, yang bagi mata publik
(termasuk Indonesia) dinilai sebagai perkosaan, adalah lumrah di Arab Saudi.
Hal itu merupakan pelaksanaan kehendak Allah SWT. Tindakan tersebut tidak
melanggar hokum, malah “sesuai” dengan hukum.
Lingga, 1 Okt 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar