Yesus pernah
berkata bahwa Dia datang untuk membawa pertentangan. “Jangan kamu menyangka
bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk
membawa damai melainkan pedang.” (Mat 10: 34). Pedang di sini bukanlah simbol
dari kekerasan, melainkan pemisahan.
Apa yang
dikatakan Yesus ini sudah banyak terbukti kebenarannya. Salah satunya adalah
pengalaman Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Al-Azhar, Mesir. Berikut ini
kisah pengalaman hidupnya.
Latar Belakang
Sejak umur 5 tahun saya
sudah belajar menghafal Al-Qur’an. Paman saya yang mengajar dan membimbing saya
hampir setiap hari. Ia menjadi penasihat saya. Ketika saya berumur enam tahun,
ia memasukkan saya ke sekolah dasar Al-Azhar. Sekolah bergengsi ini difokuskan
pada pendidikan agama Islam.
Hampir setiap pagi, saya
pergi bersama ayah dan paman ke mesjid untuk shalat subuh, yang dimulai sekitar
pukul 03.30 pagi dan berakhir sekitar pukul 04.30. Setelah sembahyang, saya
biasanya menunggu di mesjid dengan salinan Al-Qur’an saya. Sebelum saya mulai
menghafal ayat-ayat baru, saya menguji diri saya sendiri akan ayat-ayat yang
telah saya hafalkan dua hari sebelumnya. Setelah saya yakin bahwa hafalan saya
benar, saya mulai dengan materi yang baru.
Saya sangat berhati-hati
mempertahankan apa yang telah saya pelajari, jadi saya menghabiskan waktu dua
atau tiga hari dalam sebulan untuk meninjau ulang. Jika Anda bertanya kepada
saya tentang sebuah ayat yang telah saya hafalkan beberapa bulan sebelumnya,
ayat itu telah ada di dalam pikiran saya.
Paman bukan hanya membantu
saya untuk menghafal, tetapi ia juga memastikan bahwa saya memahami bahasa Arab
kuno – bahasa di dalam Al-Qur’an. Orang yang berbahasa Arab rata-rata tidak
akan dapat membaca atau mengerti jenis bahasa Arab seperti ini dengan baik,
dengan demikian mempelajari bahasa ini menjadi suatu hal yang penting dalam
pendidikan agama.
Selama tujuh tahun, paman
mengajari saya, ayat demi ayat dan pasal demi pasal. Ketika saya berusia dua
belas tahun, saya telah berhasil menghafal Al-Qur’an seluruhnya.
Berhasil mempelajari Al-Qur’an
menempatkan saya pada posisi yang sangat terhormat bagi seorang anak kecil.
Orang-orang memperlakukan saya seperti orang kudus karena saya membawa buku
kudus di dalam pikiran saya. Sejak saat itu, saya secara berurutan membaca dan
meninjau kembali Al-Qur’an untuk memastikan bahwa saya tidak melupakan apa yang
telah saya pelajari.
Ketika saya masuk Sekolah
Menengah Al-Azhar, satu dari empat tugas utama kami adalah mengingat
cerita-cerita yang paling penting dalam hadits. Hadits adalah catatan yang
berisi ajaran dan tindakan dari Muhammad. Terdapat lebih dari setengah juta
hadits.
Tetapi sekolah kami memiliki
hadits-hadits tertentu yang harus dihafal tiap semester. Setelah tamat dari
SMA, saya perkirakan saya telah menghafal antara lima sampai enam ribu hadits.
Setelah lulus dari SMA saya
mendaftar ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan memilih untuk bersekolah di
Jurusan Bahasa Arab, seperti yang paman saya lakukan.
Pada hari pertama di kelas,
saya memperoleh pengantar pelajaran yang mengejutkan. Sheikh yang mengajar pada
pelajaran pertama di hari itu memberitahukan kami, “Apa yang saya sampaikan
kepada kalian harus diterima sebagai sebuah kebenaran. Saya tidak akan
mengijinkan diskusi dalam bentuk apapun di dalam kelas. Apa yang tidak saya
katakan, tidak pantas untuk dipelajari. Dengar dan taati, dan jangan bertanya
tentang apapun.”
Saya terganggu dengan
filosofi seperti ini. Kami bersitegang. Masalah ini sampai ke dekan fakultas.
Peristiwa ini mengajarkan saya untuk berdiam dan tunduk seperti yang diminta
oleh universitas. Metode belajar kami adalah membaca buku yang ditulis oleh ahli-ahli
agama Islam terbesar, baik yang modern maupun kuno. Kemudian kami akan membuat
daftar poin-poin penting dari setiap buku dan menghafalkan daftar tersebut.
Walaupun saya tahu,
seringkali saya mengajukan pertanyaan yang tidak disukai oleh guru-guru saya.
Sebagai contoh, saya bertanya pada salah satu profesor, “Mengapa pada awalnya
Muhammad mengajarkan kita untuk berteman dengan orang-orang Kristen tetapi
kemudian meminta kita untuk membunuh mereka?”
Profesor itu menjawab, “Apa
yang telah nabi perintahkan kepadamu untuk dilakukan, lakukanlah itu. Apa yang
dilarangnya, maka itu terlarang untukmu. Apa yang ia ijinkan, maka itu
diijinkan untukmu. Kamu bukanlah umat Islam yang sebenarnya jika kamu tidak
tunduk kepada kata-kata Muhammad.”
Saya bahkan bertanya pada
Sheikh Omar Abdel, salah satu profesor di kelas penafsiran Al-Qur’an. Saya
bertanya, “Mengapa setiap saat Anda mengajarkan kami semua tentang jihad?
Bagaimana dengan ayat-ayat lain di dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang
damai, kasih dan pengampunan?”
Wajahnya langsung memerah.
“Saudaraku,” katanya, “ada surat (pasal) yang disebut ’Rampasan Perang’. Tetapi
tidak ada surat yang dinamakan ’Damai’. Jihad dan membunuh adalah inti dari
agama Islam. Jika kamu menghapusnya, maka kamu memotong inti dari Islam.”
Jawaban yang saya dapat darinya dan profesor-profesor lainnya tidak memuaskan
saya.
Saya lulus dengan peringkat
kedua terbaik dari enam ribu siswa. Setelah selesai saya kembali di Al-Azhar.
Saya memutuskan bahwa tidak ada profesor atau sheikh yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya. Saya harus menjawab pertanyaan saya sendiri. Tetapi,
bukannya menemukan jawaban, saya malah menjadi kecewa dengan Islam. Tetapi saya
menyimpannya sendiri.
Tesis master saya
menimbulkan banyak keributan karena saya menyentuh salah satu isu yang
kontroversial. Namun pemerintah mendukung saya. Universitas meminta saya untuk
mulai mengajar bidang yang saya kuasai – sejarah dan budaya Islam. Pada usia
dua puluh delapan tahun, saya menjadi salah satu dosen termuda yang pernah ada.
Saya juga memimpin doa dan ceramah di sebuah mesjid di pinggiran kota Kairo. Namun,
di dalam hati saya, saya masih terus mencari kebenaran.
Tidak masuk akal untuk
meninggalkan semua pendidikan ini. Saya tidak punya pilihan lain selain
melanjutkan perjalanan ini. Saya pun mulai melanjutkan gelar doktor. Saya
menghabiskan waktu dua tahun melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktor.
Saat mengajar, saya
membangun semangat baru dalam kelas. Saya buka kesempatan untuk bertanya. Saya
ingin mahasiswa saya berpikir bebas dan menggunakan otak mereka tanpa merasa
takut karena adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Beberapa mahasiswa
mendatangi pemimpin universitas dan berkata, “Ini adalah dosen yang berbahaya.
Kami tidak tahu apakah ia masih seorang muslim atau telah berpaling.”
Al-Azhar sangat takut akan
adanya kekuatan asing yang menyerangnya dari dalam. Ketua departemen, memanggil
saya untuk menemuinya. Dalam pertemuan itu, ketua departemen memahami
perkembangan pemikiran saya. Ia menjadi takut karenanya dan menyadari bahwa
saya perlu ditangani.
Kemudian saya dipanggil
dalam pertemuan lainnya dengan komite penegakan peraturan universitas.
Pertemuan ini awalnya berjalan dengan baik. Mereka tidak ingin saya keluar dari
universitas tetapi juga saya tidak boleh mengritik Islam.
Sampai di sini, saya punya
pilihan. Saya dapat menyangkal semua kesalahan saya, setuju untuk mengajar
dengan cara lama, dan saya akan baik-baik saja. Atau, saya memberitahu mereka
apa yang saya pikirkan. Pertemuan dengan komite itu sangat panas.
Keesokan harinya, pagi-pagi
benar ayah saya mendengar suara ketukan di depan pintu. Ketika ia membuka
pintu, lima belas sampai dua puluh orang pria dengan cepat melewatinya sambil
membawa senjata Kalashnikov. Mereka naik ke atas dan mencari saya.
Mereka mendorong saya ke
bagian belakang mobil dan pergi. Saya terkejut, tetapi saya tahu, inilah hasil
dari apa yang telah terjadi di universitas sehari sebelumnya. Saya ditaruh di
tempat yang mirip dengan penjara dimana saya ditempatkan di dalam sel dengan
tahanan lainnya.
Keesokan paginya, orangtua
saya dengan gelisah mencoba mencari tahu apa yang telah terjadi kepada saya.
Segera saja mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya tentang keberadaan saya.
Tetapi tak seorangpun tahu Kalau saya ada di tangan polisi rahasia Mesir.
Dituduh Menjadi Seorang
Kristen
Selama tiga hari, para
penjaga tidak memberi saya makan ataupun minum. Pada hari keempat, interogasi
dimulai. Selama empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia ini adalah untuk
membuat saya mengaku bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan menjelaskan
bagaimana hal itu terjadi. Cara mereka adalah dengan meninggalkan saya
sendirian sepanjang hari dan mengeluarkan saya dari sel pada malam hari untuk
diinterogasi.
Pada malam pertama,
pertanyaan dimulai di dalam sebuah ruangan dengan meja besar. Orang yang menanyakan
saya duduk di belakang meja dengan sebatang rokok di tangannya, dan saya duduk
di sisi lainnya. Ia yakin bahwa saya telah murtad dan menjadi seorang Kristen.
Saya memiliki bekas luka
bakar pada tangan, lengan dan muka saya akibat sundutan rokok dan alat pemanas
dari besi untuk menunjukkan kesungguhannya.
Ia ingin saya mengaku bahwa
saya telah murtad, tetapi saya menjawab, “Saya tidak mengkhianati Islam. Saya hanya
mengatakan apa yang saya percayai. Saya adalah seorang akademisi. Saya seorang
pemikir. Saya punya hak untuk membahas topik apapun di dalam agama Islam. Ini
adalah bagian dari pekerjaan dan kehidupan akademik saya. Saya bahkan tidak
pernah bermimpi untuk murtad dari Islam – Islam adalah darah saya, budaya,
bahasa, keluarga dan hidup saya. Tetapi jika Anda menuduh saya telah murtad
dari Islam karena apa yang saya katakan kepadamu, maka keluarkanlah saya dari
Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari Islam.”
Para penjaga menarik saya
dan mengembalikan saya ke sel sepanjang hari itu itu. Teman satu sel saya yang
berpikir saya dihukum karena saya adalah seorang pengkaji agama Islam,
memberikan saya makanan dan minumannya.
Keesokan malamnya, saya dibawa
ke dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur besi di dalamnya. Para penjaga
selalu mengucapkan sumpah serapah atas saya dan menghina saya, mencoba untuk
mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di tempat tidur dan
mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.
Ketika saya bangun, mereka
membawa sebuah tangki kecil berisi air dingin. Mereka memaksa saya untuk
bangun, dan itu tidak lama sebelum akhirnya saya pingsan kembali. Ketika
bangun, saya tergeletak di atas tempat tidur di mana mereka mencambuki saya,
masih dengan pakaian yang basah.
Saya menghabiskan satu hari
lagi di dalam sel. Malam berikutnya saya dibawa keluar, ke bagian belakang
bangunan itu. Saya melihat ada sebuah ruangan kecil, tanpa jendela ataupun
pintu. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah melalui jendela di bagian
atasnya. Para penjaga itu memaksa saya untuk masuk. Saya merasakan air di
seluruh tubuh saya, tetapi kemudian saya merasakan kaki saya berpijak di atas
tanah. Air menutupi tubuh saya sampai sebatas bahu. Kemudian saya melihat
sesuatu berenang di atas air – tikus.
Mereka menutup pintu atas,
dan saya tidak dapat melihat apapun. Saya berdiri di air dan menunggu di dalam
kegelapan. Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam. Keesokan paginya para
penjaga datang kembali untuk melihat apakah saya masih hidup. Saya tidak akan
pernah melupakan sinar matahari yang terlihat ketika pintu atas ruangan itu
dibuka. Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus menaiki kepala dan bahu
saya, tetapi tidak satu ekorpun yang mengigit saya. Para penjaga kemudian
membawa saya kembali ke dalam sel dengan heran.
Malam harinya, para penjaga
membawa saya ke depan sebuah ruangan kecil dan mengatakan bahwa ada seseorang
yang sangat mencintai saya dan ingin bertemu. Saya berharap itu adalah salah
satu anggota keluarga atau teman saya yang mengunjungi atau membawa saya keluar
dari penjara itu. Mereka membuka pintu ruangan, dan di dalamnya saya melihat
seekor anjing besar. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu. Mereka
mendorong saya masuk ke dalam dan menutup pintu.
Saya berjalan ke tengah
ruangan yang kosong itu dan duduk bersila di atas lantai. Anjing itu lalu
menghampiri saya dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu sementara anjing
itu memandangi saya.
Anjing itu kemudian berdiri
dan mulai berjalan mengelilingi saya, seperti seekor binatang yang hendak
memakan sesuatu. Ia lalu berjalan ke sisi kanan saya, menjilati telinga saya
dan duduk. Saya sangat lelah. Tidak lama setelah ia duduk di sebelah kanan
saya, saya pun tertidur. Ketika saya bangun, anjing itu duduk di sudut ruangan.
Lalu berlari ke arah saya dan duduk kembali di sebelah kanan saya. Ketika para
penjaga membuka pintu mereka melihat saya sedang berdoa dengan anjing duduk di
sebelah saya. Mereka mulai benar-benar bingung karena saya.
Selama ini keluarga saya
terus mencoba mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka tidak berhasil.
Paman saya memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari setelah saya diculik,
ia datang ke penjara itu seorang diri dengan surat jaminan pembebasan dan
membawa saya pulang ke rumah.
Saya kembali ke rumah orang
tua saya untuk mencari tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Kemudian
seorang polisi memberikan laporan kepada ayah saya:
“Kami telah
menerima fax dari Universitas Al-Azhar yang menuduh anak Anda meninggalkan
agama Islam, tetapi setelah interogasi selama lima belas hari kami tidak
menemukan bukti-bukti yang mendukung pernyataan itu.”
Berjumpa dengan Yesus
Saya keluar dari penjara
dengan rasa marah terhadap agama Islam tetapi tetap meyakini bahwa ada kuasa
yang luar biasa yang telah menjaga saya hingga tetap hidup. Setiap hari,
keingintahuan saya akan “Tuhan” itu menjadi semakin besar. Saya tidak pernah
berpikir tentang Tuhannya orang Yahudi atau orang Kristen, karena saya masih
dipengaruhi oleh Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Muhammad, yang mengatakan orang
Kristen menyembah tiga Tuhan. Sedangkan saya mencari Tuhan yang satu. Selain
itu Al-Qur’an mengatakan bahwa orang Yahudi telah menyelewengkan Kitab Suci
mereka.
Hal ini mendorong saya untuk
melihat agama-agama di Timur Jauh – Hindu dan Budha. Saya telah mendengar
tentang agama-agama ini ketika saya menempuh kuliah S-1, dan saat itu saya
telah menemukan banyak buku untuk mempelajari tentang agama-agama tersebut. Tetapi
setelah mempelajari semuanya itu, kesimpulan saya adalah: Tidak.
Saya mulai mengalami sakit
kepala akut. Saya pergi ke dokter untuk melakukan scan terhadap otak saya.
Dokter kemudian memberikan obat penghilang sakit yang diminum setiap malam.
Suatu hari sakit kepala
menyerang begitu hebat, sehingga saya pergi ke apotek untuk membeli pil lagi.
Apoteker yang saya datangi adalah orang Kristen. Saya sudah biasa bertemu
dengannya sehingga saya merasa nyaman untuk berbicara dengannya. Saya mulai
mengeluh, “Pil-pil ini tidak lagi membantu saya seperti sebelumnya.”
Ia menjawab, “Kamu
sepertinya sudah pada tahap berbahaya. Kamu mulai menjadi terbiasa dengan
tablet-tablet itu. Kamu meminumnya bukan untuk menghilangkan rasa sakit tetapi
karena kamu tidak bisa menghentikannya sekarang.” Lalu ia berkata dengan
lembut, “Apa yang terjadi dalam hidupmu?”
Saya memberitahukannya bahwa
saya sedang mencari Tuhan. Ia terkejut. Saya menceritakan kisah saya kepadanya.
Ia kemudian mengeluarkan
sebuah buku dari bawah mejanya dan berkata perlahan-lahan, “Saya akan memberimu
buku ini. Sebelum kamu meminum pilmu malam ini, cobalah untuk membaca sesuatu
dari buku itu. Kemudian lihat apa yang kamu rasakan.”
Saya membawa pil-pil ini di
tangan yang satu sementara tangan yang lainnya memegang buku itu. Buku itu
adalah Kitab Suci.
Lalu saya pulang ke rumah
dan masuk ke dalam kamar. Ini adalah saat pertama dalam hidup saya membawa
sebuah Alkitab. Saya berusia tiga puluh lima tahun pada saat itu.
Saat itu malam di musim
panas, sekitar pukul 10.00. Sakit kepala saya begitu hebat, tetapi saya tidak
meminum obat saya. Saya hanya menaruhnya di atas meja dan melihat pada Alkitab
itu. Saya tidak tahu harus membaca dari mana. Jadi saya menjatuhkannya dan terbuka
begitu saja. Buku itu jatuh dan terbuka di Matius 5.
Saya mulai membaca tentang
khotbah Yesus di atas gunung. Kemudian saya melihat sebuah gambaran – Yesus di
atas gunung sedang mengajar kerumunan orang di sekitarnya. Sementara saya
membaca, saya lupa kalau saya sedang di rumah. Saya tidak merasakan apa-apa di
sekitar saya. Kitab Matius itu membawa saya dari satu cerita kepada cerita yang
lain.
Saya terus membaca Alkitab
tanpa menyadari waktu, sampai akhirnya saya mendengar panggilan sembahyang pagi
dari mesjid. Saya terkejut melihat jam di tempat tidur di samping saya.
Waktu telah menunjukkan pukul empat pagi. Saya mendengar anggota keluarga
berjalan-jalan di sekitar rumah, bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Tapi pagi
ini saya tidak memiliki hasrat untuk berdoa: Saya merasa damai luar
biasa dan saya hanya ingin beristirahat.
Saya bahkan tidak menyadari
bahwa sakit kepala saya telah hilang sepenuhnya. Pada jam tujuh pagi, saya
bangun dan merasa segar sekali. Saya siap untuk mengambil keputusan saya. Saya
telah menemukan Tuhan Maha Kuasa penguasa surga yang saya cari selama ini.
Tanpa keraguan sedikitpun
saya berdoa. Kemudian saya kembali ke Alkitab. Saya telah selesai membaca
keempat Injil, Kisah Para Rasul dan Roma. Saya tidak tahu apa lagi yang akan
saya baca, sehingga saya membiarkan Alkitab apoteker itu terbuka. Kali ini saya
sampai di Mazmur 91. Saya membacanya. Itu seperti pesan pribadi untuk saya dan
situasi yang saya alami!
Sekitar jam sebelas siang
saya kembali ke apotek dengan obat di satu tangan dan Alkitab di tangan yang
lain. Apoteker itu bertanya apakah saya sudah membaca Alkitab? Saya menjawab
bahwa saya memutuskan menjadi Kristen.
Dia melompat dan mulai
memuji Tuhan dengan nyaring, kemudian memeluk saya. Ia langsung menelpon
suaminya. Setengah jam kemudian suaminya tiba. Kemudian mereka membawa saya ke
gereja, karena mau memperkenalkan saya dengan pendeta.
Setelah berbicara beberapa
saat dengan pendeta di kantornya, maka ia sampai pada sebuah kesimpulan yang
mengagetkan kami semua. Pendeta itu menolak saya. Ia takut islam radikal akan
menyerang gereja ketika mendengar bahwa seorang muslim telah murtad dan
menghadiri kebaktian mereka. Ketika kami meninggalkan kantornya, saya berkata
kepadanya: ”Dengar, saya tidak khawatir tentang apa yang telah anda lakukan
sekarang. Juruselamat saya akan membantu saya dan akan menjaga saya. Walaupun
kamu menolak saya, Ia tetap setia menemani saya ke mana saja. Tetapi
anda memerlukan bantuan.”
Selama setahun kemudian,
saya tinggal sebagai ”Orang Kristen Rahasia” di Mesir. Saya tidak memberitahu
keluarga. Saya mengalami banyak kesulitan dalam mencari gereja yang menerima
saya. Tiga orang pendeta mengatakan kepada saya bahwa saya tidak diterima di
gereja mereka. Pada akhirnya saya naik taksi untuk pergi ke biara yang berada
jauh di gurun di luar Kairo. Seorang biarawan bicara dengan saya di luar tembok
biara yang menyampaikan hal yang sama. Tetapi saya diberi nama seorang pendeta
yang mungkin dapat membantu.
Pada hari berikutnya saya
tiba di gereja tersebut. Pendetanya awalnya sangat keras, ia mencoba untuk
memastikan bahwa saya jujur. Ia menerima saya, dan saya datang ke gereja itu
dengan berhati-hati selama setahun. Saya berhati-hati untuk
tidak menarik perhatian orang. Saya naik bus ke gereja, alih-alih membawa mobil
untuk menghindari diikuti oleh muslim radikal. Saya tidak menceritakan kisah
saya kepada anggota gereja yang lain. Gereja besar di Mesir biasanya
menempatkan polisi orang Mesir untuk menjaga keamanan di pintu masuk. Sampai
polisi terbiasa melihat saya, saya bersembunyi di antara sekelompok orang untuk
masuk dan keluar dari gereja, saya harus yakin bahwa saya tidak akan dihentikan
dan ditanyai siapa saya.
Akhirnya keluarga saya tahu.
Suatu hari, tanpa rencana, saya mengatakan yang sebenarnya pada ayah saya.
Segera ayah saya mengambil pistol revolver dari bahunya dan menembakkan lima
peluru pada saya. Dalam beberapa hari, saya meninggalkan rumah dan Mesir untuk
selamanya. Itu adalah awal dari sebuah perjalanan panjang.
Saya ke Afrika Selatan dan
akhirnya Amerika Serikat. Saya membawa Alkitab apoteker bersama saya dan
memilikinya hingga hari ini. Perempuan itu membayar harga untuk menolong saya.
Setelah saya meninggalkan Mesir, muslim radikal membakar apoteknya, mencoba
untuk membunuh dia. Beberapa kristen Koptik di Mesir memberitahu saya bahwa ia
dan suaminya meninggalkan Mesir dan berimigrasi ke Kanada.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar