Senin, 17 Agustus 2020

MENEMUKAN KEBENARAN SABDA YESUS


Yesus pernah berkata bahwa Dia datang untuk membawa pertentangan. “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang.” (Mat 10: 34). Pedang di sini bukanlah simbol dari kekerasan, melainkan pemisahan.
Apa yang dikatakan Yesus ini sudah banyak terbukti kebenarannya. Salah satunya adalah pengalaman Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Al-Azhar, Mesir. Berikut ini kisah pengalaman hidupnya.
Latar Belakang
Sejak umur 5 tahun saya sudah belajar menghafal Al-Qur’an. Paman saya yang mengajar dan membimbing saya hampir setiap hari. Ia menjadi penasihat saya. Ketika saya berumur enam tahun, ia memasukkan saya ke sekolah dasar Al-Azhar. Sekolah bergengsi ini difokuskan pada pendidikan agama Islam.
Hampir setiap pagi, saya pergi bersama ayah dan paman ke mesjid untuk shalat subuh, yang dimulai sekitar pukul 03.30 pagi dan berakhir sekitar pukul 04.30. Setelah sembahyang, saya biasanya menunggu di mesjid dengan salinan Al-Qur’an saya. Sebelum saya mulai menghafal ayat-ayat baru, saya menguji diri saya sendiri akan ayat-ayat yang telah saya hafalkan dua hari sebelumnya. Setelah saya yakin bahwa hafalan saya benar, saya mulai dengan materi yang baru.
Saya sangat berhati-hati mempertahankan apa yang telah saya pelajari, jadi saya menghabiskan waktu dua atau tiga hari dalam sebulan untuk meninjau ulang. Jika Anda bertanya kepada saya tentang sebuah ayat yang telah saya hafalkan beberapa bulan sebelumnya, ayat itu telah ada di dalam pikiran saya.

Paman bukan hanya membantu saya untuk menghafal, tetapi ia juga memastikan bahwa saya memahami bahasa Arab kuno – bahasa di dalam Al-Qur’an. Orang yang berbahasa Arab rata-rata tidak akan dapat membaca atau mengerti jenis bahasa Arab seperti ini dengan baik, dengan demikian mempelajari bahasa ini menjadi suatu hal yang penting dalam pendidikan agama.
Selama tujuh tahun, paman mengajari saya, ayat demi ayat dan pasal demi pasal. Ketika saya berusia dua belas tahun, saya telah berhasil menghafal Al-Qur’an seluruhnya.
Berhasil mempelajari Al-Qur’an menempatkan saya pada posisi yang sangat terhormat bagi seorang anak kecil. Orang-orang memperlakukan saya seperti orang kudus karena saya membawa buku kudus di dalam pikiran saya. Sejak saat itu, saya secara berurutan membaca dan meninjau kembali Al-Qur’an untuk memastikan bahwa saya tidak melupakan apa yang telah saya pelajari.
Ketika saya masuk Sekolah Menengah Al-Azhar, satu dari empat tugas utama kami adalah mengingat cerita-cerita yang paling penting dalam hadits. Hadits adalah catatan yang berisi ajaran dan tindakan dari Muhammad. Terdapat lebih dari setengah juta hadits.
Tetapi sekolah kami memiliki hadits-hadits tertentu yang harus dihafal tiap semester. Setelah tamat dari SMA, saya perkirakan saya telah menghafal antara lima sampai enam ribu hadits.
Setelah lulus dari SMA saya mendaftar ke Universitas Al-Azhar di Kairo dan memilih untuk bersekolah di Jurusan Bahasa Arab, seperti yang paman saya lakukan.
Pada hari pertama di kelas, saya memperoleh pengantar pelajaran yang mengejutkan. Sheikh yang mengajar pada pelajaran pertama di hari itu memberitahukan kami, “Apa yang saya sampaikan kepada kalian harus diterima sebagai sebuah kebenaran. Saya tidak akan mengijinkan diskusi dalam bentuk apapun di dalam kelas. Apa yang tidak saya katakan, tidak pantas untuk dipelajari. Dengar dan taati, dan jangan bertanya tentang apapun.”
Saya terganggu dengan filosofi seperti ini. Kami bersitegang. Masalah ini sampai ke dekan fakultas. Peristiwa ini mengajarkan saya untuk berdiam dan tunduk seperti yang diminta oleh universitas. Metode belajar kami adalah membaca buku yang ditulis oleh ahli-ahli agama Islam terbesar, baik yang modern maupun kuno. Kemudian kami akan membuat daftar poin-poin penting dari setiap buku dan menghafalkan daftar tersebut.
Walaupun saya tahu, seringkali saya mengajukan pertanyaan yang tidak disukai oleh guru-guru saya. Sebagai contoh, saya bertanya pada salah satu profesor, “Mengapa pada awalnya Muhammad mengajarkan kita untuk berteman dengan orang-orang Kristen tetapi kemudian meminta kita untuk membunuh mereka?”
Profesor itu menjawab, “Apa yang telah nabi perintahkan kepadamu untuk dilakukan, lakukanlah itu. Apa yang dilarangnya, maka itu terlarang untukmu. Apa yang ia ijinkan, maka itu diijinkan untukmu. Kamu bukanlah umat Islam yang sebenarnya jika kamu tidak tunduk kepada kata-kata Muhammad.”
Saya bahkan bertanya pada Sheikh Omar Abdel, salah satu profesor di kelas penafsiran Al-Qur’an. Saya bertanya, “Mengapa setiap saat Anda mengajarkan kami semua tentang jihad? Bagaimana dengan ayat-ayat lain di dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang damai, kasih dan pengampunan?”
Wajahnya langsung memerah. “Saudaraku,” katanya, “ada surat (pasal) yang disebut ’Rampasan Perang’. Tetapi tidak ada surat yang dinamakan ’Damai’. Jihad dan membunuh adalah inti dari agama Islam. Jika kamu menghapusnya, maka kamu memotong inti dari Islam.” Jawaban yang saya dapat darinya dan profesor-profesor lainnya tidak memuaskan saya.
Saya lulus dengan peringkat kedua terbaik dari enam ribu siswa. Setelah selesai saya kembali di Al-Azhar. Saya memutuskan bahwa tidak ada profesor atau sheikh yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Saya harus menjawab pertanyaan saya sendiri. Tetapi, bukannya menemukan jawaban, saya malah menjadi kecewa dengan Islam. Tetapi saya menyimpannya sendiri.
Tesis master saya menimbulkan banyak keributan karena saya menyentuh salah satu isu yang kontroversial. Namun pemerintah mendukung saya. Universitas meminta saya untuk mulai mengajar bidang yang saya kuasai – sejarah dan budaya Islam. Pada usia dua puluh delapan tahun, saya menjadi salah satu dosen termuda yang pernah ada. Saya juga memimpin doa dan ceramah di sebuah mesjid di pinggiran kota Kairo. Namun, di dalam hati saya, saya masih terus mencari kebenaran.
Tidak masuk akal untuk meninggalkan semua pendidikan ini. Saya tidak punya pilihan lain selain melanjutkan perjalanan ini. Saya pun mulai melanjutkan gelar doktor. Saya menghabiskan waktu dua tahun melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktor.
Saat mengajar, saya membangun semangat baru dalam kelas. Saya buka kesempatan untuk bertanya. Saya ingin mahasiswa saya berpikir bebas dan menggunakan otak mereka tanpa merasa takut karena adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Beberapa mahasiswa mendatangi pemimpin universitas dan berkata, “Ini adalah dosen yang berbahaya. Kami tidak tahu apakah ia masih seorang muslim atau telah berpaling.”
Al-Azhar sangat takut akan adanya kekuatan asing yang menyerangnya dari dalam. Ketua departemen, memanggil saya untuk menemuinya. Dalam pertemuan itu, ketua departemen memahami perkembangan pemikiran saya. Ia menjadi takut karenanya dan menyadari bahwa saya perlu ditangani.
Kemudian saya dipanggil dalam pertemuan lainnya dengan komite penegakan peraturan universitas. Pertemuan ini awalnya berjalan dengan baik. Mereka tidak ingin saya keluar dari universitas tetapi juga saya tidak boleh mengritik Islam.
Sampai di sini, saya punya pilihan. Saya dapat menyangkal semua kesalahan saya, setuju untuk mengajar dengan cara lama, dan saya akan baik-baik saja. Atau, saya memberitahu mereka apa yang saya pikirkan. Pertemuan dengan komite itu sangat panas.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar ayah saya mendengar suara ketukan di depan pintu. Ketika ia membuka pintu, lima belas sampai dua puluh orang pria dengan cepat melewatinya sambil membawa senjata Kalashnikov. Mereka naik ke atas dan mencari saya.
Mereka mendorong saya ke bagian belakang mobil dan pergi. Saya terkejut, tetapi saya tahu, inilah hasil dari apa yang telah terjadi di universitas sehari sebelumnya. Saya ditaruh di tempat yang mirip dengan penjara dimana saya ditempatkan di dalam sel dengan tahanan lainnya.
Keesokan paginya, orangtua saya dengan gelisah mencoba mencari tahu apa yang telah terjadi kepada saya. Segera saja mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya tentang keberadaan saya. Tetapi tak seorangpun tahu Kalau saya ada di tangan polisi rahasia Mesir.
Dituduh Menjadi Seorang Kristen
Selama tiga hari, para penjaga tidak memberi saya makan ataupun minum. Pada hari keempat, interogasi dimulai. Selama empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia ini adalah untuk membuat saya mengaku bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. Cara mereka adalah dengan meninggalkan saya sendirian sepanjang hari dan mengeluarkan saya dari sel pada malam hari untuk diinterogasi.
Pada malam pertama, pertanyaan dimulai di dalam sebuah ruangan dengan meja besar. Orang yang menanyakan saya duduk di belakang meja dengan sebatang rokok di tangannya, dan saya duduk di sisi lainnya. Ia yakin bahwa saya telah murtad dan menjadi seorang Kristen.
Saya memiliki bekas luka bakar pada tangan, lengan dan muka saya akibat sundutan rokok dan alat pemanas dari besi untuk menunjukkan kesungguhannya.
Ia ingin saya mengaku bahwa saya telah murtad, tetapi saya menjawab, “Saya tidak mengkhianati Islam. Saya hanya mengatakan apa yang saya percayai. Saya adalah seorang akademisi. Saya seorang pemikir. Saya punya hak untuk membahas topik apapun di dalam agama Islam. Ini adalah bagian dari pekerjaan dan kehidupan akademik saya. Saya bahkan tidak pernah bermimpi untuk murtad dari Islam – Islam adalah darah saya, budaya, bahasa, keluarga dan hidup saya. Tetapi jika Anda menuduh saya telah murtad dari Islam karena apa yang saya katakan kepadamu, maka keluarkanlah saya dari Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari Islam.”
Para penjaga menarik saya dan mengembalikan saya ke sel sepanjang hari itu itu. Teman satu sel saya yang berpikir saya dihukum karena saya adalah seorang pengkaji agama Islam, memberikan saya makanan dan minumannya.
Keesokan malamnya, saya dibawa ke dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur besi di dalamnya. Para penjaga selalu mengucapkan sumpah serapah atas saya dan menghina saya, mencoba untuk mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di tempat tidur dan mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.
Ketika saya bangun, mereka membawa sebuah tangki kecil berisi air dingin. Mereka memaksa saya untuk bangun, dan itu tidak lama sebelum akhirnya saya pingsan kembali. Ketika bangun, saya tergeletak di atas tempat tidur di mana mereka mencambuki saya, masih dengan pakaian yang basah.
Saya menghabiskan satu hari lagi di dalam sel. Malam berikutnya saya dibawa keluar, ke bagian belakang bangunan itu. Saya melihat ada sebuah ruangan kecil, tanpa jendela ataupun pintu. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah melalui jendela di bagian atasnya. Para penjaga itu memaksa saya untuk masuk. Saya merasakan air di seluruh tubuh saya, tetapi kemudian saya merasakan kaki saya berpijak di atas tanah. Air menutupi tubuh saya sampai sebatas bahu. Kemudian saya melihat sesuatu berenang di atas air – tikus.
Mereka menutup pintu atas, dan saya tidak dapat melihat apapun. Saya berdiri di air dan menunggu di dalam kegelapan. Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam. Keesokan paginya para penjaga datang kembali untuk melihat apakah saya masih hidup. Saya tidak akan pernah melupakan sinar matahari yang terlihat ketika pintu atas ruangan itu dibuka. Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus menaiki kepala dan bahu saya, tetapi tidak satu ekorpun yang mengigit saya. Para penjaga kemudian membawa saya kembali ke dalam sel dengan heran.
Malam harinya, para penjaga membawa saya ke depan sebuah ruangan kecil dan mengatakan bahwa ada seseorang yang sangat mencintai saya dan ingin bertemu. Saya berharap itu adalah salah satu anggota keluarga atau teman saya yang mengunjungi atau membawa saya keluar dari penjara itu. Mereka membuka pintu ruangan, dan di dalamnya saya melihat seekor anjing besar. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu. Mereka mendorong saya masuk ke dalam dan menutup pintu.
Saya berjalan ke tengah ruangan yang kosong itu dan duduk bersila di atas lantai. Anjing itu lalu menghampiri saya dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu sementara anjing itu memandangi saya.
Anjing itu kemudian berdiri dan mulai berjalan mengelilingi saya, seperti seekor binatang yang hendak memakan sesuatu. Ia lalu berjalan ke sisi kanan saya, menjilati telinga saya dan duduk. Saya sangat lelah. Tidak lama setelah ia duduk di sebelah kanan saya, saya pun tertidur. Ketika saya bangun, anjing itu duduk di sudut ruangan. Lalu berlari ke arah saya dan duduk kembali di sebelah kanan saya. Ketika para penjaga membuka pintu mereka melihat saya sedang berdoa dengan anjing duduk di sebelah saya. Mereka mulai benar-benar bingung karena saya.
Selama ini keluarga saya terus mencoba mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka tidak berhasil. Paman saya memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari setelah saya diculik, ia datang ke penjara itu seorang diri dengan surat jaminan pembebasan dan membawa saya pulang ke rumah.
Saya kembali ke rumah orang tua saya untuk mencari tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Kemudian seorang polisi memberikan laporan kepada ayah saya:
“Kami telah menerima fax dari Universitas Al-Azhar yang menuduh anak Anda meninggalkan agama Islam, tetapi setelah interogasi selama lima belas hari kami tidak menemukan bukti-bukti yang mendukung pernyataan itu.”
Berjumpa dengan Yesus
Saya keluar dari penjara dengan rasa marah terhadap agama Islam tetapi tetap meyakini bahwa ada kuasa yang luar biasa yang telah menjaga saya hingga tetap hidup. Setiap hari, keingintahuan saya akan “Tuhan” itu menjadi semakin besar. Saya tidak pernah berpikir tentang Tuhannya orang Yahudi atau orang Kristen, karena saya masih dipengaruhi oleh Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Muhammad, yang mengatakan orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Sedangkan saya mencari Tuhan yang satu. Selain itu Al-Qur’an mengatakan bahwa orang Yahudi telah menyelewengkan Kitab Suci mereka.
Hal ini mendorong saya untuk melihat agama-agama di Timur Jauh – Hindu dan Budha. Saya telah mendengar tentang agama-agama ini ketika saya menempuh kuliah S-1, dan saat itu saya telah menemukan banyak buku untuk mempelajari tentang agama-agama tersebut. Tetapi setelah mempelajari semuanya itu, kesimpulan saya adalah: Tidak.
Saya mulai mengalami sakit kepala akut. Saya pergi ke dokter untuk melakukan scan terhadap otak saya. Dokter kemudian memberikan obat penghilang sakit yang diminum setiap malam.
Suatu hari sakit kepala menyerang begitu hebat, sehingga saya pergi ke apotek untuk membeli pil lagi. Apoteker yang saya datangi adalah orang Kristen. Saya sudah biasa bertemu dengannya sehingga saya merasa nyaman untuk berbicara dengannya. Saya mulai mengeluh, “Pil-pil ini tidak lagi membantu saya seperti sebelumnya.”
Ia menjawab, “Kamu sepertinya sudah pada tahap berbahaya. Kamu mulai menjadi terbiasa dengan tablet-tablet itu. Kamu meminumnya bukan untuk menghilangkan rasa sakit tetapi karena kamu tidak bisa menghentikannya sekarang.” Lalu ia berkata dengan lembut, “Apa yang terjadi dalam hidupmu?”
Saya memberitahukannya bahwa saya sedang mencari Tuhan. Ia terkejut. Saya menceritakan kisah saya kepadanya.
Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku dari bawah mejanya dan berkata perlahan-lahan, “Saya akan memberimu buku ini. Sebelum kamu meminum pilmu malam ini, cobalah untuk membaca sesuatu dari buku itu. Kemudian lihat apa yang kamu rasakan.”
Saya membawa pil-pil ini di tangan yang satu sementara tangan yang lainnya memegang buku itu. Buku itu adalah Kitab Suci.
Lalu saya pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Ini adalah saat pertama dalam hidup saya membawa sebuah Alkitab. Saya berusia tiga puluh lima tahun pada saat itu.
Saat itu malam di musim panas, sekitar pukul 10.00. Sakit kepala saya begitu hebat, tetapi saya tidak meminum obat saya. Saya hanya menaruhnya di atas meja dan melihat pada Alkitab itu. Saya tidak tahu harus membaca dari mana. Jadi saya menjatuhkannya dan terbuka begitu saja. Buku itu jatuh dan terbuka di Matius 5.
Saya mulai membaca tentang khotbah Yesus di atas gunung. Kemudian saya melihat sebuah gambaran – Yesus di atas gunung sedang mengajar kerumunan orang di sekitarnya. Sementara saya membaca, saya lupa kalau saya sedang di rumah. Saya tidak merasakan apa-apa di sekitar saya. Kitab Matius itu membawa saya dari satu cerita kepada cerita yang lain.
Saya terus membaca Alkitab tanpa menyadari waktu, sampai akhirnya saya mendengar panggilan sembahyang pagi dari mesjid. Saya terkejut melihat jam di tempat tidur di samping saya. Waktu telah menunjukkan pukul empat pagi. Saya mendengar anggota keluarga berjalan-jalan di sekitar rumah, bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Tapi pagi ini saya tidak memiliki hasrat untuk berdoa: Saya merasa damai luar biasa dan saya hanya ingin beristirahat.
Saya bahkan tidak menyadari bahwa sakit kepala saya telah hilang sepenuhnya. Pada jam tujuh pagi, saya bangun dan merasa segar sekali. Saya siap untuk mengambil keputusan saya. Saya telah menemukan Tuhan Maha Kuasa penguasa surga yang saya cari selama ini.
Tanpa keraguan sedikitpun saya berdoa. Kemudian saya kembali ke Alkitab. Saya telah selesai membaca keempat Injil, Kisah Para Rasul dan Roma. Saya tidak tahu apa lagi yang akan saya baca, sehingga saya membiarkan Alkitab apoteker itu terbuka. Kali ini saya sampai di Mazmur 91. Saya membacanya. Itu seperti pesan pribadi untuk saya dan situasi yang saya alami!
Sekitar jam sebelas siang saya kembali ke apotek dengan obat di satu tangan dan Alkitab di tangan yang lain. Apoteker itu bertanya apakah saya sudah membaca Alkitab? Saya menjawab bahwa saya memutuskan menjadi Kristen.
Dia melompat dan mulai memuji Tuhan dengan nyaring, kemudian memeluk saya. Ia langsung menelpon suaminya. Setengah jam kemudian suaminya tiba. Kemudian mereka membawa saya ke gereja, karena mau memperkenalkan saya dengan pendeta.
Setelah berbicara beberapa saat dengan pendeta di kantornya, maka ia sampai pada sebuah kesimpulan yang mengagetkan kami semua. Pendeta itu menolak saya. Ia takut islam radikal akan menyerang gereja ketika mendengar bahwa seorang muslim telah murtad dan menghadiri kebaktian mereka. Ketika kami meninggalkan kantornya, saya berkata kepadanya: ”Dengar, saya tidak khawatir tentang apa yang telah anda lakukan sekarang. Juruselamat saya akan membantu saya dan akan menjaga saya. Walaupun kamu menolak saya, Ia tetap setia menemani saya ke mana saja. Tetapi anda memerlukan bantuan.”
Selama setahun kemudian, saya tinggal sebagai ”Orang Kristen Rahasia” di Mesir. Saya tidak memberitahu keluarga. Saya mengalami banyak kesulitan dalam mencari gereja yang menerima saya. Tiga orang pendeta mengatakan kepada saya bahwa saya tidak diterima di gereja mereka. Pada akhirnya saya naik taksi untuk pergi ke biara yang berada jauh di gurun di luar Kairo. Seorang biarawan bicara dengan saya di luar tembok biara yang menyampaikan hal yang sama. Tetapi saya diberi nama seorang pendeta yang mungkin dapat membantu.
Pada hari berikutnya saya tiba di gereja tersebut. Pendetanya awalnya sangat keras, ia mencoba untuk memastikan bahwa saya jujur. Ia menerima saya, dan saya datang ke gereja itu dengan berhati-hati selama setahun. Saya berhati-hati untuk tidak menarik perhatian orang. Saya naik bus ke gereja, alih-alih membawa mobil untuk menghindari diikuti oleh muslim radikal. Saya tidak menceritakan kisah saya kepada anggota gereja yang lain. Gereja besar di Mesir biasanya menempatkan polisi orang Mesir untuk menjaga keamanan di pintu masuk. Sampai polisi terbiasa melihat saya, saya bersembunyi di antara sekelompok orang untuk masuk dan keluar dari gereja, saya harus yakin bahwa saya tidak akan dihentikan dan ditanyai siapa saya.
Akhirnya keluarga saya tahu. Suatu hari, tanpa rencana, saya mengatakan yang sebenarnya pada ayah saya. Segera ayah saya mengambil pistol revolver dari bahunya dan menembakkan lima peluru pada saya. Dalam beberapa hari, saya meninggalkan rumah dan Mesir untuk selamanya. Itu adalah awal dari sebuah perjalanan panjang.
Saya ke Afrika Selatan dan akhirnya Amerika Serikat. Saya membawa Alkitab apoteker bersama saya dan memilikinya hingga hari ini. Perempuan itu membayar harga untuk menolong saya. Setelah saya meninggalkan Mesir, muslim radikal membakar apoteknya, mencoba untuk membunuh dia. Beberapa kristen Koptik di Mesir memberitahu saya bahwa ia dan suaminya meninggalkan Mesir dan berimigrasi ke Kanada.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar