Begitu banyak masalah bisa
timbul bila kita “kurang perhatian”. Para ahli jiwa sering membicarakan
anak-anak yang nakal atau punya masalah emosional akibat tidak mendapat
perhatian cukup dari orang tua. Dari sini kita sadar ternyata perhatian sangat
penting untuk perkembangan jiwa manusia. Dalam relationship, banyak
istri atau suami yang mengeluhkan kurangnya perhatian dari pasangannya sebagai
alasan rumah tangga yang tidak harmonis. Di perusahaan atau lembaga, kita
terbiasa melihat orang yang tidak menyimak atau sibuk sendiri ketika orang lain
sedang menyampaikan sesuatu sehingga terus menerus terjadi mis-komunikasi atau
informasi dan arahan kerap salah diterima. Banyak situasi saat pemimpin tidak
memperhatikan gerak-gerik dan cara anak buah melakukan pekerjaan sehingga yang
berprestasi tidak diapresiasi, permasalahan tidak cepat diselesaikan, bahkan
kepercayaan bisa luntur. Demikian banyaknya gejala kurang perhatian di sekitar
kita sehingga akhirnya kita sendiri cenderung memaklumi hal ini.
Dalam sebuah perusahaan,
gejala tidak menaruh perhatian terlihat dari tidak terbiasanya orang membaca
data dan menginterpretasikannya baik-baik, sebelum berkomentar. Sebagai akibat,
perusahaan kehilangan kultur “pendalaman” dan riset, banyak komunikasi tidak
menyentuh pokok persoalan utama, dan sering kali keputusan diambil dengan
meraba-raba, bahkan tanpa dasar sama sekali.
Banyak alasan kita untuk
tidak serius memberi perhatian atau mengupayakan pemahaman terhadap suatu isu,
salah satunya adalah tidak adanya cukup waktu untuk membaca, memahami dan
menganalisa suatu gejala. Padahal, Albert Einstein mengungkapkan, “We cannot work to
improve something we do dot understand. We first need to understand what makes
us tick”. Bayangkan bila kita menjadikan sikap tidak terbiasa memberi
perhatian sebagai suatu kebiasaan, betapa banyak kesempatan pengembangan yang
hilang, betapa “kering”-nya emosi kita dan betapa dangkalnya pemikiran bahkan
kehidupan kita. Apa jadinya masyarakat dan kehidupan bila kebiasaan tidak
memberi perhatian ini kita suburkan.
Bertanya vs Mempertanyakan
Banyak orang yang cukup
berpendidikan, bahkan menyandang gelar S2 atau S3 yang tampak tidak menggunakan
daya pikirnya dengan optimal. Hal ini sering terlihat dari tidak kuatnya mereka
dalam menjelaskan gejala dan kelemahan dalam menggunakan latar belakang
pendidikan, pengalaman atau pengetahuannya untuk menjelaskan dan mengaitkan
gejala baru dengan gejala yang baru dilihat dan dibacanya. Dalam debat atau
diskusi di media, kita kerap melihat jurnalis, panelis atau pakar yang lebih
banyak “mempertanyakan” sesuatu, daripada betul-betul “bertanya” untuk menambah
pemahamannya. Saat lawan bicara menjelaskan atau mempresentasikan sesuatu,
ungkapan mempertanyakan yang biasa kita dengar adalah: “Apakah data ini
valid?”, “Bukankah kebiasaannya tidak seperti ini?” Dialog atau konversasi yang
sifatnya hanya mengetes, mengevaluasi dan memberi penilaian membuat isi pikiran
kita terkuras. Kita bisa kehilangan kesempatan menambah wawasan bila setiap
informasi baru atau berbeda kita mentahkan dengan asumsi atau penilaian yang
sudah berakar atau usang.
Kita perlu memberi perhatian
dan mengecek, apakah pertanyaan yang kita ajukan betul-betul untuk tahu lebih
jauh dan berusaha untuk memahami dan menangkap esensi dari informasi yang
disampaikan, misalnya: “Apa alasan atau latar belakangnya?”, “Mengapa sampai
Anda mengambil kesimpulan seperti itu?” Bila kita tidak membuka pikiran dan
bersungguh-sungguh untuk menambah pemahaman, kita ujung-ujungnya hanya menjadi
orang yang sok tahu, bahkan keras kepala. Banyak orang juga tidak menyadari
bahwa kegiatan mengambil kesimpulan, menentukan mana yang lebih penting dan
memperbaiki pemahaman membutuhkan klarifikasi dan konfirmasi dan teman
bicaranya, tidak bisa dilakukan secara individu. Walaupun kita sudah dewasa,
kita harus sadar bahwa kita tetap harus memperbaharui dan mengasah pikiran.
Kita perlu membicarakan apa yang kita tangkap dan memperhatikan agar kita sadar
bila terjadi beda persepsi. Dengan masuknya pemahaman secara benar, kita bisa
mensintesiskan pengetahuan baru dengan yang lama.
Penajaman
Pemikiran
Banyak orang bertanya apakah
IQ seseorang bisa meningkat sejalan dengan pendidikan, latihan atau
bertambahnya usia. Hal yang sebenarnya perlu kita sadari adalah bahwa
inteligensi kita sering tidak diasah karena kita tidak menyadari bahwa pikiran
kita perlu diisi, ditata, di-refresh dan
diolah. Seorang ahli mengemukakan kiat praktis untuk mengasah pikiran, yaitu
dengan “4P”, yaitu possitive, process,
present, dan progress.
Sikap positif membuat kita
lebih proaktif dan melakukan pendekatan dan memperbesar keingintahuan kita,
sekaligus menghindari sikap defensif, serta sudut pandang pesimis dan negatif.
Hal yang kedua adalah process, yaitu
menyadari bahwa otak bekerja dengan cara memproses data yang masuk sehingga
kita lebih sadar bahwa mengenai kebutuhan kontinu akan data dan fakta. “P” yang
ketiga adalah present,
yaitu kita perlu memberi atensi atau secara aktif “hadir” dalam situasi
pertemuan, pembicaraan dan tatap muka yang sedang berlangsung. Bila kita sibuk
dengan gadget kita
saat berkomunikasi dengan orang lain, sudah pasti kita tidak bisa menyerap
pemahaman dan pengetahuan dengan total dan benar. Hal yang terakhir adalah progress, yaitu
menyadari apakah cara berpikir kita mengalami kemajuan, penambahan dan
pendalaman. Bila tidak, kita perlu mawas diri dan menelaah cara kita selama ini
memasukkan fakta ke dalam pemikiran kita.
diambil dari tulisan 8 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar