“Bersukacitalah senantiasa.” Demikianlah pernyataan Rasul Paulus kepada
jemaat di Tesalonika (1Tes 5: 16). Perlu disadari, Paulus terpanggil untuk
mewartakan Injil Yesus Kristus, dan Injil itu dimaknai dengan kabar sukacita. Karena
itulah, menerima Injil berarti menerima sukacita. Rasul Paulus tidak
henti-hentinya selalu menyerukan kepada umat untuk bersuka cita. Kepada jemaat
di Filipi, Paulus berkata, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali
lagi kukatakan: bersukacitalah!” (Filipi 4: 4).
Nada seruan Santo Paulus tadi sering terdengar
dalam berbagai kesempatan dengan makna profan. Misalnya, ungkapan sastrawan kenamaan Omar Khayyam, “Be
happy for this moment. This moment is your life.” Intinya adalah
orang perlu merasa bersukacita atau senantiasa berbahagia. Namun, beragam
masalah dalam hidup kerap membuat orang kehilangan kebahagiaannya. Tekanan
hidup juga membuat orang rentan terkena stress atau depresi. Meskipun demikian,
seseorang perlu tetap merasa bahagia karena segudang alasan.
Seseorang yang berbahagia akan memiliki hidup yang lebih sehat. Ada baiknya
kebiasaan bersukacita ini diawali dari masa muda. Riset dari Northwestern
University, Amerika Serikat, terhadap 10.000 remaja menunjukkan bahwa
remaja yang bahagia lebih sedikit cenderung mempunyai masalah perilaku pada
usia dewasa. Sebaliknya, remaja yang sering berbahagia cenderung mempunyai
kesehatan fisik dan emosional yang baik.
Sebenarnya, saat merasa gembira, tubuh akan memproduksi hormon seperti
serotin, relaksin dan dopamin. Saat masuk ke aliran darah, hormon-hormon ini
akan merangsang sel-sel kekebalan tubuh. Sel-sel imun ini akan bekerja untuk
memerangi penyakit dalam tubuh.
Riset di Inggris terhadap 3.000 lansia berumur di atas 60 tahun menunjukkan
responden yang lebih bahagia cenderung dapat melakukan aktivitas fisik yang
lebih baik pada usia tua. Sebaliknya, responden yang merasa tidak berbahagia
mengalami penurunan fungsi fisik yang lebih cepat (www.livescience.com).
Sebaliknya, saat stress, seseorang menjadi lebih mudah terserang penyakit.
Riset mengenai psikoneuroimunologi (PNI) menunjukkan bahwa
gejala stress, gelisah, takut atau marah akan merangsang tubuh untuk
memproduksi sejumlah hormon yang seperti epinefrin dan kortisol. Hormon yang
membantu mengendalikan aktivitas tubuh ini dapat membuat tekanan darah naik.
Bila hal ini berlangsung terus menerus, daya tahan tubuh menurun dan lebih
mudah terserang penyakit.
Untuk itulah seseorang perlu merasa berbahagia. Pertama, merasa
bersyukur. Mulailah mengucapkan rasa syukur dari hal-hal yang paling sederhana
dalam hidup. Satu helaan napas adalah pertanda kehidupan. Kita perlu merasa
bersyukur karenanya.
Kedua, lepaskanlah beban pikiran. Lepaskan emosi yang
tertekan dengan mengutarakan isi hati seperti berbicara dengan orang lain atau
menulis buku harian. Hindari menyimpan rasa dendam karena dendam merupakan
salah satu penghalang utama dalam merasa bahagia. Gantilah dendam dengan sikap
memaafkan. Lepaskanlah beban yang menghimpit hati dan pikiran. Buanglah pikiran
negatif, kegelisahan dan ketakutan. Biarkan oksigen dari nafas masuk dan
memenuhi paru-paru dan memberikan penghidupan.
Ketiga, lakukanlah hal-hal yang paling disukai. Pilihlah
pekerjaan yang sesuai dengan diri dan bakat. Bila dijalankan dengan tekun,
pemasukan akan datang dengan sendirinya. Hindari melakukan pekerjaan yang tidak
disukai.
Keempat, habiskan waktu dengan orang-orang
yang dikasihi. Orang tua, saudara, pasangan, anak dan teman akan membantu dalam
menciptakan rasa bahagia. Namun, jangan lupa luangkan waktu untuk diri sendiri.
Nikmatilah setiap momen dalam hidup karena satu momen tidak akan pernah
terulang.
Kelima, isilah benak kita dengan pikiran positif.
Isilah hari-hari dengan aktivitas yang bermanfaat. Ubahlah diri menjadi
pendengar yang lebih baik, optimistis, bersikaplah lebih sabar, hindari
berasumsi negatif, buanglah sikap iri hati dan cemburu dan bersikaplah tulus
pada orang lain. Cara-cara ini mungkin tidak mudah jika kita belum terbiasa.
Namun, bila dijalankan perlahan-lahan, akan terasa manfaatnya, tidak hanya
untuk kesehatan raga, tetapi juga jiwa diri sendiri.
Pada intinya, seseorang akan merasa bahagia jika mencintai dirinya sendiri,
dengan demikian, rasa dengki akan menghilang. Ketika mampu mengasihi diri
sendiri, seseorang perlu memperlakukan orang lain layaknya mengasihi seperti
diri sendiri. Bersikap tulus dan memberikan sesuatu tanpa pamrih akan membuat
rasa bahagia memenuhi diri.
Diolah kembali dari tulisan 5 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar