Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), pada 18 Juni 2018, telah menetapkan secara resmi
kecanduan bermain game sebagai penyakit gangguan mental, tak jauh beda dengan kecanduan alkohol dan narkoba. Tentulah
ketetapan WHO ini bukan tanpa dasar. Sudah sejak tahun 2013 ada banyak suara
yang menyatakan bahaya di balik gadget, sebagai media game, secara khusus untuk anak-anak. Blog budak-bangka sendiri, pada
tahun 2015, menurunkan tulisan dengan judul GADGET MENGANCAM ANAK KITA.
Sepertinya
warning yang telah diberikan dianggap
bagai angin lalu. Masih banyak orangtua menganggap sepele masalah ini, sehingga
ia tetap saja memberi keleluasaan pada anaknya untuk bermain gadget. Mungkin saat
itu orangtua belum melihat seperti apa dampak buruk kecanduan gadget.
Sekarang
ini ancaman gadget itu sudah nyata. Tempo Online, pada bulan Oktober menurunkan
2 tulisan fakta orang yang kecanduan gadget. Pada tulisan pertama diberitakan 2
remaja berusia 16 dan 17 tahun mengalami gangguan jiwa karena kecanduan ponsel.
Saat berita itu ditulis, kedua remaja itu telah berada setahun di panti
rehabilitasi mental di Tambun Selatan, Bekasi. Menurut keterangan orangtua,
kedua remaja itu diduga kecanduan bermain game
online. Keduanya dilaporkan bermain gadget hingga larut malam, bahkan
sampai dini hari.
Tulisan kedua menampilkan kejadian yang terjadi di Cina. Seorang remaja perempuan
berusia 16 tahun, mengalami buta warna. Ada dugaan buta warna yang dialami itu
diakibatkan konsumsi gadget yang berlebihan. Dilaporkan bahwa remaja ini
menghabiskan waktu lebih dari 10 jam per hari berinteraksi dengan gadgetnya. Dokter
yang memeriksa remaja itu mengatakan bahwa matanya terus-menerus terpapar sinar
biru hingga merusak sejumlah sel dalam kedua bola matanya. Kondisi ini
membuatnya buta warna dengan tidak bisa membedakan merah dan hijau.
Dapat
dikatakan bahwa penyakit yang didapat bukan lantaran menggunakan gadget dalam
hitungan bulan. Apa yang dialami oleh seorang remaja pelajar SMP dapat
dikatakan bahwa dia telah menggunakan gadget sejak usia SD, bahkan jauh
sebelumnya. Artinya, efek kecanduan lahir dari aktivitas yang telah lama
dilakukan dan dilakukan secara berlebihan.
Kepala
Pusat Layanan Psikologi Pradnyagama Retno IC Kusuma mengatakan remaja rentan
mengalami gangguan kejiwaan akibat kecanduan bermain game digital. “Gangguan jiwa atau gangguan perkembangan dan
gangguan emosi semakin tinggi terjadi pada anak-anak dan remaja akibat game online,” katanya sambil menambah, “(Kecanduan)
bisa berdampak pada malas belajar, prestasi menurun. Ketika tidak dituruti
permintaannya, mereka mengamuk dan menunjukkan perilaku-perilaku eksesif
lainnya.”
MetroTV, pada 28 Agustus 2019, menurunkan neswline
tentang bentuk kejahatan yang lahir dari kecanduan game online. Ada 4 anak di bawah umur di Pangkalpinang mencuri di
sebuah rumah. Diketahui bahwa hasil curian itu untuk bisa bermain game online di warnet. Di Pekanbaru, 2
remaja menjambret agar dapat uang untuk biaya bermain game online. Sementara di Tanggerang 3 remaja nekat merampok mini market
dengan menggunakan golok dan penyekapan. Tujuannya agar dapat uang untuk bisa bermain
game online. Seorang remaja di Medan nekat
mencuri HP dan laptop milik tetangganya. Hasil curian itu dijual dan uangnya
digunakan untuk bermain game online. Seorang
pelajar kelas 1 SMP di Malang terpaksa mencuri kotak amal di 20 masjid. Hasil curian
itu dipakai untuk bermain game online.
Apa yang
diungkap Metro TV ini bisa jadi merupakan fenomena pucak gunung es. Yang terlihat
hanya beberapa kasus saja, itu pun karena berhasil tertangkap. Bukan tidak
mustahil masih ada begitu banyak kasus serupa, berupa tindak kejahatan yang
dilakukan anak-anak dan remaja yang sudah kecanduan game online. Satu kejahatan, yang tidak terungkap namun bisa saja
sudah terjadi adalah sexting atau
prostitusi. Intinya, anak butuh uang untuk biaya dari kecanduannya bermain game online.
Pada
19 Oktober 2019, Kompas TV menayangkan 2 berita dengan topik yang sama, yaitu
soal kecanduan gadget. Pada berita pertama dilaporkan data dari Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Jawa Barat tentang pasien gangguan jiwa akibat kecanduan gadget. Antara
tahun 2016 hingga tahun 2019 ada tercatat 209 pasien, baik rawat inap maupun
rawat jalan. Rata-rata pasien yang datang berusia remaja.
Berita kedua mengisahkan tentang seorang bocah usia 7 tahun yang mengalami kerusakan
motorik halus dan keterlambatan kemampuan bicara akibat kecanduan gadget. Sejak
kecil, mungkin pada usia 3 – 4 tahun, anak diberi bermain dengan gadget. Hal ini
membuat anak tidak atau jarang sekali bersosialisasi dengan teman-temannya atau
orang lain sehingga perbendaharaan kata-katanya kurang dan motorik halusnya
lemah.
DEMIKIANLAH
fakta efek buruk dari kecanduan gadget. Efek tersebut sudah nyata di depan
mata. Remaja yang terganggu jiwanya bisa saja memulai bersentuhan dengan gadget
ketika berusia anak-anak, sedangkan anak-anak yang terganggu jiwanya bisa saja
sudah mulai bersentuhan dengan gadget sejak usia balita. Semua ini tak lepas
dari tanggung jawab orangtua. Anak balita bisa memegang gadget karena
orangtuanya memberikannya. Orangtua juga tidak tegas dalam membatasi anaknya
bersentuhan dengan gadget. Yang terjadi adalah pembiaran. Baru setelah anaknya
mengalami gangguan jiwa, orangtua buru-buru menyesal.
Karena
itu, sebelum terjadi hendaklah dicegah. Sedia payung sebelum hujan. Para orangtua
harus berani bersikap tegas terhadap anaknya agar anak tidak menghabiskan
waktunya bersama gadget. Anak harus dibiarkan bermain dan bersosialisasi dengan
orang lain. Pembatasan penggunaan gadget mutlak dibutuhkan agar anak tidak
kecanduan.
Dabo,
1 November 2019
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar